Debat kedua calon presiden-calon wakil presiden digelar 17 Februari. Energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup menjadi topik dalam debat ini. Akan tetapi, debat bukan kebijakan. Debat selama 90-120 menit mustahil mampu menjawab berbagai masalah migas. Bahkan, belum tentu akan menjadi kebijakan presiden terpilih.
Debat capres-cawapres atas migas kita letakkan sebagai tes saja. Rakyat menantikan kemampuan capres dalam menjawab isu strategis dan harus dijawab dalam waktu terbatas. Kita sebatas menilai capres mana yang kita anggap cerdas dalam mengolah kata dan gagasan sehingga dengan kemampuan konstruksi berpikirnya diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah migas, khususnya untuk kepentingan ketahanan energi nasional. Inilah yang rakyat nilai.
Setelahnya, kebijakan migas adalah langkah dan pilihan politik yang penuh pertimbangan berbagai aspek. Debat dan janji capres atas energi kita letakkan saja sebatas pertimbangan dalam ruang pencoblosan, siapa yang harus kita pilih untuk memimpin negeri ini.
Menyelesaikan masalah migas bukan pekerjaan ringan, apalagi dalam satu periode presiden terpilih. Sebagai petahana, Jokowi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah atas sektor ini. Ini pun telah diperkuat dengan posisi Presiden Jokowi sebagai Ketua Dewan Energi Nasional (DEN).
Namun, harus diakui, pada era Joko Widodo-Jusuf Kalla, terjadi kemajuan berarti di sektor energi. Akses energi masyarakat di kawasan Indonesia timur dan daerah terpencil bertambah baik. Rasio elektrifikasi nasional meningkat pesat. Jumlah desa berlistrik mendekati 100 persen. Kualitas pasokan dan keandalan listrik di seluruh wilayah dinilai membaik, sekaligus tarif dasar listrik terkendali.
Untuk pasokan dan distribusi BBM, mampu menjangkau seluruh Nusantara secara cukup merata. Terpenting bagi rakyat, khususnya harga BBM relatif terkendali walaupun harga minyak dunia bergejolak. BBM dapat dinikmati dengan harga seragam di sejumlah daerah terpencil dan terpelosok dengan kebijakan satu harga. Bahkan, sejak September 2018, kebijakan B-20 mulai berjalan. Selama tiga bulan, kebijakan B-20 mampu menyubstitusi 1,6 juta kiloliter minyak diesel dan mengurangi impor BBM. Bicara hulu migas, reserve replacement ratio (RRR) mampu mencapai 105 persen pada akhir 2018 dari persetujuan plan of development (POD) migas.
Pekerjaan rumah presiden terpilih
Siapa pun presiden terpilih, PR pada industri migas menjadi pekerjaan berat selama lima tahun pemerintahannya. Bisa jadi dalam hitungan hari pasca-pilpres, presiden terpilih harus disibukkan untuk menemukan ”kunci” dalam mengelola industri pertambangan dan energi. RUU Migas menjadi ”kunci” untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah migas. RUU yang disusun sejak 2016 tak mudah diselesaikan. Benturan antara pemerintah dan DPR dalam membahas RUU Migas menjadi ruang setiap lembaga dalam mempertahankan komitmen politiknya.
Kegiatan eksplorasi migas terus turun sejak 2014. Bahkan, pengeboran sumur eksplorasi migas di 2018 berada pada level terendah. Sebatas 21 sumur dari target 105 sumur. Rasio cadangan terhadap produksi (R/P) pun terus menurun sejak 2014. Di akhir 2015, R/P minyak bumi mencapai 12, sebaliknya pada akhir 2017 turun menjadi 9,6. Jelas, penurunan ini sebagai tanda kegiatan eksplorasi minyak bumi semakin berkurang.
Dinamika atas harga minyak, konsistensi kebijakan, kualitas regulasi juga telah menurunkan investasi di sektor migas sejak 2014. Sebaliknya, impor minyak mentah dan BBM justru mengalami kenaikan seiring naiknya permintaan BBM di dalam negeri dan kian turunnya produksi minyak mentah. Impor minyak meningkat, dari 24,3 miliar dollar AS di 2017 menjadi 29,8 miliar dollar AS di 2018. Kenaikan impor minyak inilah penyebab utama terjadinya defisit perdagangan terburuk sepanjang berdirinya Republik.
Presiden terpilih harus mampu mempercepat implementasi refinery development master plan (RDMP) agar pengembangan kilang bisa menekan impor BBM. Tanpa ini, pasokan energi berpotensi terganggu. Presiden terpilih harus menetapkan kilang sebagai infrastruktur ekonomi dan bukan berkutat pada internal rate of return (IRR) semata. Ketergantungan bertahun-tahun pada impor dari berbagai kilang di luar negeri secepatnya diperkecil. Perubahan dari skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC) menjadi gross split harus diperbaiki.
Diskresi pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM atas persentase split yang dapat ditambah dan dikurangi menjadi wilayah subyektif Menteri ESDM sewaktu-waktu. Ini justru memunculkan ketidakpastian investasi migas.
Kebanggaan Kementerian ESDM atas naiknya pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) semestinya dihilangkan. Apalagi Indonesia telah menjadi importir neto minyak sejak 2004. Sekadar memacu PNBP justru bertentangan dengan UU Energi dan PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang jelas-jelas menempatkan migas sebagai modal dasar pembangunan dan bukan sebatas penghasil penerimaan semata. Naiknya PNBP migas di 2018 lebih didorong oleh kenaikan harga minyak bumi dunia yang melebihi patokan target APBN. Ini bukan prestasi Kementerian ESDM. Sebaliknya, produksi minyak bumi sendiri hanya mencapai 778.000 barel dari target 800.000 barel per hari.
Enhanced oil recovery (EOR) belum berjalan baik meskipun kebijakan pengadaan telah direvisi untuk mempermudah EOR dan bahkan telah dimasukkan ke dalam Perpres ESDM No 22/2017 tentang
RUEN. Tidak berjalannya EOR ditengarai akibat minimnya insentif pada rezim fiskal yang berlaku untuk menerapkan teknologi, baik di PSC gross split maupun di skema PSC konvensional. Bagi Pertamina, mengingat EOR perlu investasi yang cukup besar dan tenggang waktu yang lama, tanpa diperkuat Kementerian BUMN, bisa jadi akan berat bagi Pertamina dan rencana program nasional EOR pun hanya sebatas sebagai rencana semata.
Akhirnya, harus diakui, memperdebatkan industri migas dan apalagi mengarah untuk kepentingan ketahanan energi nasional bukan hal yang mudah. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya energi akan berdampak pada pembangunan dan kemakmuran bangsa. Debat kedua capres-cawapres terlalu berat untuk diberi beban menjawab semua permasalahan migas mengingat banyak aspek teknik di dalamnya.
Yang jauh lebih penting, setelah presiden terpilih ditetapkan, rakyat perlu aktif mendorong, mengawasi, dan memberikan saran kepada para pemimpin bangsa serta para pembuat kebijakan secara bersama-sama. Jelas, agar kebijakan migas tetap dan terus patuh terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam KEN sekaligus mempertegas bahwa rakyatlah pemilik sumber daya alam di negeri ini.
Singgih Widagdo Ketua Umum Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF)