Aset atau Komoditas?
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia baru-baru ini menyebutkan,40 persen jumlah pemilih dalam Pemilu 2019 adalah generasi milenial. Jumlahnya sekitar 90 juta dari total pemilih 192 juta.
Data ini mendekati hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperkirakan 35-40 persen pemilih Pemilu 2019 adalah kaum muda. Selain itu, ada hasil survei Litbang Kompas pada rentang September-Oktober 2018, yang mengungkapkan masih ada 20,4 persen pemilih milenial belum menentukan pilihan. Kelompok inilah yang tengah dibidik oleh dua pasangan calon presiden-wakil presiden.
Generasi milenial adalah kaum muda yang lahir pada era 1980-2000. Mereka memiliki karakter sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, yakni sangat akrab dengan media komunikasi, terutama via teknologi digital.
Karena kemampuannya ini, kelompok milenial bisa lebih obyektif dalam melihat dan menilai sesuatu, tak mudah dikecoh berbagai isu yang tidak didasari fakta dan data valid. Dengan demikian, tidak mudah menaklukkan kelompok ini jika isu yang dikembangkan usang, tak berkonten kekinian. Mereka bisa mengakses data untuk membandingkannya dengan isu bias atau meragukan.
Generasi milenial adalah wajah Indonesia masa depan. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 menjadi tantangan para pasangan calon untuk membawa dan mengantarkan mereka pada proses politik berkeadaban. Mereka tak cukup disuguhi retorika-retorika politik konfrontatif dan manipulatif, tanpa contoh dan keteladanan.
Pilpres dan Pileg 2019 adalah pintu gerbang generasi milenial untuk memasuki babak baru politik Indonesia yang harus memberikan ruang pada kebinekaan, toleransi, dan perbedaan.
Adalah sebuah kemuliaan bagi para elite politik saat ini jika mampu mendorong dan mewujudkan generasi milenial sebagai aset dan kekuatan masa depan bangsa, bukan sekadar komoditas politik untuk kepentingan sesaat. Mereka pintar, cerdas, dan merdeka. Oleh karena itu, rangkullah mereka dengan cara berpolitik yang santun, berkeadaban, berbasis data, bebas dari ujaran kebencian.
Budi Sartono
Graha Bukit Raya, Cilame,
Bandung Barat
Tiket Pesawat dan Persatuan Bangsa
Gemas melihat niat maskapai penerbangan membuat peraturan bagasi berbayar, padahal sebelumnya telah menaikkan harga tiket.
Niatan ini tidak sejalan dengan usaha pemerintah yang gencar menghubungkan seluruh wilayah Nusantara dan menggerakkan roda perekonomian di tiap daerah.
Moda transportasi adalah salah satu alat pendukung integrasi bangsa bahwa warga negara Indonesia dapat leluasa berkunjung ke daerah-daerah lain di Nusantara. Kemudahan mobilisasi akan membawa dinamika dalam banyak segi kehidupan masyarakat.
Itu sebabnya, pemerintah gencar membangun sarana transportasi di tiap pulau. Tol laut telah berjalan sehingga harga barang di tiap wilayah Indonesia relatif sama.
Lalu tiba-tiba transportasi udara menaikkan harga tiket, hendak pula membuat peraturan bagasi berbayar. Sepertinya ada yang tidak nyambung di sini. Bagasi berbayar, membuat para pelintas berpikir ulang membeli oleh-oleh di daerah yang dikunjungi. Naiknya harga tiket mengurungkan niat sesama saudara untuk saling berkunjung.
Bukankah transportasi yang berbiaya murah, aman, dan nyaman akan sangat berdampak bagi ekonomi rakyat dan integrasi bangsa, yang sedang terus kita galakkan?
Jangan sampai orang Indonesia malah lebih mudah dan murah ke Singapura, Malaysia, ketimbang mengenal saudara sebangsanya di banyak kepulauan Nusantara. Verdy Ramayanat
SMA Talenta,
Jl TKI,Kopo, Bandung