Bali. Jumat 1 Maret 2019. Jalan menuju airport. Di dalam mobil Daihatsu.
”Apakah sebagai manusia modern kita harus optimistis? Apakah kita tetap bisa memikirkan masa depan seperti cenderung kita lakukan selama ini, paling sedikit sejak 70 tahun, yaitu sebagai sesuatu yang menjanjikan, yang senantiasa memperluas ruang kemungkinan-kemungkinan kita. Atau apakah kita harus melihat masa depan secara pesimistis sebagai umat manusia yang bakal semakin sibuk menunda-nunda penghancuran Bumi. Sebesar apa kekuatan-kekuatan kita untuk menundanya”.
Bukan saya yang berbicara begini, melainkan teman saya, GB, bekas anggota Partai Ekologi pada Dewan Kota Geneva di Swiss. Dia tumben seserius ini. Teman saya ini biasanya datang ke Bali untuk beristirahat saja. Setiap dua atau tiga bulan. Setiap kali selama dua minggu atau lebih.
Tetapi kini nadanya lain: ”Kalian di Indonesia masih bersikap enteng saja, merasa tetap boleh membuang bekas baterai di mana-mana, mengotori sungai hingga sungai itu menjadi aliran sampah dan sebagainya. Tidak bertanggung jawab.”
Ia melanjutkan, ”Sikap kami lain: kami jauh lebih tertata. Danau Geneva benar-benar diawasi ekosistemnya. Demikian pula Sungai Rhone. Itulah hasil perjuangan generasi saya dan saya sendiri. Dan sampai baru-baru ini, saya cukup berbangga karena itu. Tetapi bagi aktivis generasi muda Swiss, dan Eropa pada umumnya, hasil itu tidak ada artinya. Tidak cukup.
”Mereka merasa dirinya berjuang bukan sekadar untuk mempertahankan kecantikan lingkungan hidup mereka, seperti kalian di Bali, tetapi demi keberlanjutan proses hidup sendiri. Agar perusakan ekologi tidak mempercepat kiamatnya umat manusia.”
Ya! Jean, kau mendengar istilah itu: Kiamat! Bukanlah sedikit di antara mereka yang meyakini bahwa pesatnya perusakan Bumi bakal menjadikan Bumi ”tidak lagi layak” dihuni manusia, kata GB. ”Itu bukan di dalam dua atau tiga puluh ribu tahun, tetapi sebelum akhir abad ini, yaitu dalam jangkauan hidup mereka.”
Saya berdiam mendengarnya, tidak bisa berkutik. Kini kami sudah masuk jalan tol. Saya memang tengah mengantar teman saya ini ke pesawat yang akan membawanya pulang ke Geneva.
Lalu, saya bertanya, ”Bagaimana?”
”Protes mereka masih lunak,” katanya,
”Kini mereka baru berdemo biasa. Demo anak remaja. Namun saya yakin protes itu akan mengambil bentuk semakin radikal. Akan menjadi gejala pokok kehidupan politik kita mendatang. Karena mereka betul-betul marah sama kami, para baby-boomers itu, yang selama puluhan tahun merusak alam atas nama ”hak konsumsi” kami. Tetapi bukan itu yang sebenarnya saya khawatirkan: jangan-jangan mereka benar; jangan-jangan, tanpa kita menyadarinya, Bumi kita sudah hampir-hampir tidak layak hidup.”
Kini GB sudah pergi, tetapi kata-katanya masih berdengung di telinga saya. Lalu kenangan atas berbagai tulisan yang saya baca baru-baru ini datang menghantam pikiran saya secara bertubi-tubi.
Ya! sebagian besar dari serangga kini sudah dipastikan terancam musnah. Lalu, bila kemusnahan tersebut memang terjadi, bagaimana proses penguraian tanah dan penyerbukan kuntum bunga bisa terjadi? Selain itu, bagaimana kelak bila gletser pegunungan Asia-Eropa mencair? Bukankah semua daratan rendah China, India, Pakistan, Bangladesh, Asia Tenggara, Eropa Barat bakal dilanda banjir raksasa sebelum dihantam kekeringan mematikan.
Selain itu, bagaimana bila di seluruh Bumi awan-awan rendah menghilang, seperti dikhawatirkan bakal terjadi oleh penelitian mutakhir? Konon suhu akan naik lebih dari 8 derajat celsius. Dibandingkan itu semua, bukankah kenaikan air laut, yang selama ini dianggap fenomena paling mengkhawatirkan, sebenarnya tak lebih dari hal sepele!
Apakah terlampau pesimistis? Memang bukan semua malapetaka ekologi itu akan terjadi dalam 50 atau 100 tahun. Tetapi bila pun hanya 10 persen saja nyatanya terjadi, sudah cukup membuat akibat mahadahsyat. Dan kini sudah dapat dipastikan bahwa 10 persen itu bakal terjadi!
Adakah harapan? Mungkin. Menurut The Guardian, tanggal 15 Maret ini para ”Pemogok Muda untuk Iklim” (Young Climate Strikers) merencanakan suatu gerakan massal. Apa tujuan mereka? ”Mengubah nasib manusia!!!”
Bukankah cukup simpatik anak muda itu, dibandingkan dengan Trump, Putin, dan Xi Jin Ping. Akhirnya ada yang betul-betul membela hak kita untuk bernapas dan menginjak Bumi! Bravo anak muda.