Mengatur Penggunaan Media Sosial Selama Pemilu
Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara juga resah dengan keberadaan media sosial ketika menjelang pemilihan umum. Masalah di sejumlah negara sama, yaitu beredarnya konten-konten fitnah dan kabar bohong.
Keadaan ini sangat meresahkan masyarakat. Untuk itulah ada beberapa ide yang pada intinya mengatur media sosial agar tidak digunakan untuk kepentingan sesaat, yaitu meraih kemenangan saat pemilu yang cenderung memecah belah.
Masalah di sejumlah negara sama, yaitu beredarnya konten-konten fitnah dan kabar bohong.
India akan mengadakan pemilihan umum mulai 11 April sampai 19 Mei. Mereka telah membuat pengaturan penggunaan media sosial dengan menyebut sebagai panduan resmi cara-cara bermedia sosial yang baik dan benar. Di dalam situs BBC, akun-akun para pengurus partai politik dan politisi tidak diperkenakan mengandung konten politik yang memengaruhi calon pemilih. Pemerintah mengatakan, penyebaran kabar bohong dan fitnah mulai terjadi sehingga menyebabkan kecemasan.
Akan tetapi, langkah ini dinilai sulit dilaksanakan di lapangan karena banyak akun-akun yang seolah tidak terkait dengan kepentingan partai politik atau politisi tertentu, tetapi membawa pesan-pesan mereka. Ketegangan muncul ketika politisi saling tuduh telah menyebarkan fitnah dan menyebabkan keresahan di kalangan masyarakat. Lembaga semacam KPU India berupaya menjadi wasit dalam pengaturan media sosial semasa pemilu dan mereka bisa meminta perusahaan media sosial untuk menurunkan berbagai konten yang dinilai meresahkan publik.
Di Provinsi Ontario, Kanada, komisi pemilihan setempat juga sudah beberapa waktu yang lalu mengatur penggunaan media sosial untuk pemilihan umum. Secara umum, pengaturannya adalah unggahan dari akun media sosial personal tidak termasuk di dalam kampanye politik. Sementara konten-konten yang berasal dari akun partai politik, pimpinan partai, dan juga kandidat yang berisi tentang isu-isu kebijakan publik adalah termasuk ke dalam kampanye politik dan komisi pemilihan umum mengharuskan registrasi akun-akun politik.
Di Filipina, pengendalian penggunaan media sosial selama pemilu dilakukan dengan mengatur pengeluaran belanja iklan politik dari parpol dan politisi. Di dalam situs Rappler, otoritas setempat mengatakan, mereka tidak akan membatasi kebebasan berpendapat, tetapi mereka mewaspadai konten atau material kampanye politik yang bisa meresahkan dengan mengendalikan jumlah iklan di media sosial.
Otoritas juga memantau akun-akun dari orang berpengaruh (influencer) di media sosial. Orang berpengaruh itu diminta melaporkan pendapatan dari aktivitas mereka, afiliasi partai politik, afiliasi dengan kandidat, dan lain-lain. Mereka juga memantau keterkaitan mereka dengan orang lain di media sosial.
Aturan di Filipina juga mensyaratkan agar perusahaan dan kontraktor yang terlibat di dalam kampanye media sosial melaporkan layanan yang diberikan, alat yang digunakan, nama partai politik atau kandidat yang membayar iklan, dan jumlah pengeluaran. Semua harus disertai bukti pengeluaran, seperti kuitansi atau nota pembayaran. Aturan ini merupakan aturan paling baru. Pada pemilu sebelumnya, mereka hanya mengatur iklan di media daring, belum mengatur iklan di media sosial.
Di Indonesia, sebenarnya secara sporadis sudah mulai dilakukan, tetapi tidak dalam kerangka aturan dari otoritas. Di sebuah grup media sosial alumni perguruan tinggi, pengelola grup mensyaratkan agar mereka yang mengunggah materi dukungan terhadap salah satu calon presiden membayar Rp 500.000 kepada pengelola. Dana ini kemudian disalurkan untuk beasiswa. Jika tidak membayar, unggahan itu akan dihapus. Cara ini telah menurunkan unggahan-unggahan yang berisi fitnah ataupun ujaran kebencian.
Debat
Debat mengenai pengaturan penggunaan media sosial mulai banyak dilakukan sejak tahun lalu. Sebagian besar pendukung pengaturan ini mengatakan bahwa unggahan-unggahan di media sosial telah mengancam demokrasi dan juga meresahkan masyarakat.
Kalangan akademisi di Amerika Serikat dan Kanada juga sudah mulai mengusulkan pengaturan penggunaan media sosial selama pemilihan umum. Di Amerika Serikat, mereka meramalkan pada tahun ini akan terjadi debat yang bakal ramai mengenai pengguanaan media sosial setelah pemilihan yang lalu diketahui terjadi banyak skandal, yaitu pengaturan komputasional yang mempengaruhi calon pemilih.
Beberapa akademisi mengusulkan pengaturan, seperti mencegah penggunaan data yang tidak terkait dengan bisnis inti mereka. Perusahaan teknologi harus menolak order bisnis penggunaan data yang tidak terkait dengan operasi perusahaan selama ini. Mereka mengusulkan agar perusahaan teknologi tidak menerima iklan-iklan konten politik.
Pemerintah juga harus membuat aturan tegas mengenai penyebaran ujaran kebencian. Mereka tidak perlu takut dengan ancaman bahwa aturan itu akan mengekang kebebasan berpendapat karena niat awal pengaturan itu adalah mencegah ujaran kebencian di media sosial.
Di Amerika Serikat, sebuah organisasi nirlaba membangun sistem yang bisa menjejak iklan-iklan politik di media sosial. Mereka juga menganalisis target dari iklan politik itu. Sistem ini sangat bermanfaat untuk mencegah penyebaran berita bohong dan fitnah karena mereka bisa mengetahui sumbernya dan aliran berita itu.
Dengan sistem ini, otoritas dan juga perusahaan teknologi bisa mengambil tindakan. Lembaga ini mengaku resah dengan penyebaran berita bohong karena telah menyebabkan polarisasi di masyarakat dan yang dinilai merusak bisnis media yang dijalankan dengan laku jurnalisme.