Filipina resmi keluar dari Mahkamah Kriminal Internasional. Hal ini merupakan bagian dari respons Manila atas tekanan internasional selama ini.
Ketika Rodrigo Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina pada 2016, ia berjanji untuk mengakhiri problem narkoba yang sangat akut di negara tersebut. Kini dilaporkan, ada lebih dari 5.000 orang meninggal akibat operasi polisi, yang disebut sebagai pemberantasan besar-besaran peredaran narkoba.
Kecaman datang dari mana-mana, termasuk pihak asing, terhadap Duterte. Sejumlah laporan menyebutkan, tak sedikit mereka yang tewas akibat operasi ini adalah korban salah sasaran. Niat mengakhiri problem narkoba tampaknya berujung pada lingkaran setan kekerasan. Praktik kekerasan oleh jaringan pengedar zat terlarang diikuti oleh kekerasan aparat. Warga tak bersalah tidak terhindarkan menjadi korban.
Pada Agustus lalu, pengaduan diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC) oleh kerabat dari delapan orang yang tewas dalam operasi memerangi narkoba. Duterte dituduh terlibat dalam pembunuhan ini. Sebelumnya, ditulis The New York Times, pengaduan diajukan pengacara Filipina yang mewakili dua pria yang mengaku bertugas sebagai ”pembunuh” di Davao, tempat Duterte menjadi wali kota akhir 1980-an. ICC lalu menggelar penyelidikan awal.
Mulai berfungsi 1 Juli 2002 di atas fondasi Statuta Roma, ICC berwenang menuntut seseorang atas kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Hingga Maret ini, ICC yang beranggotakan 124 negara, dengan Filipina sebagai satu dari 19 negara Asia Pasifik yang menjadi bagian dari Statuta Roma. Indonesia belum tercatat sebagai anggota ICC.
Pemerintahan Duterte tampaknya sadar tekanan internasional tak bisa diabaikan. Pada November, proses hukum dijalankan atas tiga polisi yang dituduh membunuh remaja korban salah sasaran. Meski demikian, pada 17 Maret 2018, Manila mengumumkan kehendak mereka keluar dari ICC. Sesuai aturan, setahun kemudian, atau pada Minggu, Filipina resmi keluar dari keanggotaan ICC. ICC menyatakan, meski Manila hengkang, penyelidikan atas dugaan kejahatan kemanusiaan tetap sah digelar. Langkah Filipina keluar dari ICC dikritik pegiat hak asasi. Dicemaskan, korban salah sasaran tak lagi memiliki pembela yang disegani seperti ICC.
Di tengah situasi ini, tak ada pilihan bagi Duterte selain membuktikan negara yang dipimpinnya berpihak pada kaum miskin tak berdaya yang menjadi korban peredaran narkoba. Pemberantasan narkoba adalah sesuatu yang positif, tetapi operasi perlu dilakukan terukur, terarah, dan menghargai hukum. Setelah keluar dari ICC, Duterte harus bisa membuktikan Filipina adalah negara hukum yang tegas terhadap kejahatan narkoba dan melindungi hak warga negaranya.