Empat di Perempat Final, Bisakah Inggris Juara?
Ten years challenge.... Ya, itulah canda yang dilontarkan penggemar Liga Inggris manakala tim-tim favorit Britania Raya kembali menjadi mayoritas pada babak perempat final Liga Champions. Setelah tidak terlalu banyak bicara di konstelasi persaingan elite klub Eropa selama satu dekade, empat tim Premiership merangsek ke babak delapan besar. Mereka adalah Liverpool, Tottenham Hotspur, serta duet kota Manchester, United dan City.
Lantas, mengapa mereka melontarkan canda ”tantangan 10 tahun”?
Tepat 10 musim lalu, yakni musim 2008/2009, klub-klub Liga Inggris terakhir merajai babak perempat final dengan menempatkan empat klub, yakni Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Manchester United. Pencapaian pada musim ini sebenarnya hanya mengulang prestasi musim sebelumnya, 2007/2008 saat empat klub yang sama mencapai babak delapan besar.
Tim-tim Inggris Raya yang sering diejek sebagai liga terpopuler, tetapi tanpa prestasi tinggi, sebenarnya memasuki era keemasan pada pertengahan 2000-an.
Tim-tim Inggris Raya yang sering diejek sebagai liga terpopuler, tetapi tanpa prestasi tinggi, sebenarnya memasuki era keemasan pada pertengahan 2000-an. Laman BBC mencatat, setidaknya satu tim Inggris mencapai lima laga puncak Liga Champions (UEFA Champions League/UCL) secara beruntun, yakni pada musim 2004/2005 hingga 2008/2009, dan mencapai tujuh dari delapan final sampai dengan musim 2011/2012. Pada periode ini, Liverpool, Manchester United, dan Chelsea masing-masing merebut satu gelar, sementara Arsenal hanya mencapai runner-up.
Namun, setelah cukup mendominasi pada pertengahan 2000-an, kiprah klub-klub Inggris Raya memudar, terutama dalam tujuh musim terakhir. Hanya ada momen yang membuat Liga Primer masih bisa tersenyum, yakni musim 2011/2012, saat Chelsea mengalahkan Bayern Muenchen dalam final di Muenchen serta Liverpool yang mencapai final musim lalu meskipun harus kalah oleh aksi brutal bek Real Madrid, Sergio Ramos, terhadap Mohamed Salah dan kiper Loris Karius.
Dalam tahun-tahun terakhir, klub-klub La Liga yang giliran mendominasi, siapa lagi kalau bukan Real Madrid dan Barcelona. ”El Real” bahkan merebut tiga gelar beruntun pada musim 2016/2017 hingga 2018/2019 saat klub kaya raya itu dikendalikan oleh Zinedine Zidane. Real bahkan merebut empat dari lima piala terakhir, dengan satu didistribusikan kepada Barcelona. Begitu dominannya La Liga membuat 7 dari 10 final terakhir diisi oleh mereka dengan Atletico Madrid kalah di dua final, keduanya oleh Real Madrid.
Meski demikian, kejayaan Real Madrid berakhir musim ini setelah dipermalukan Ajax Amsterdam pada babak 16 besar. Berakhirnya era emas klub yang pernah menjadi penyokong diktator Jenderal Franco ini sejalan dengan hengkangnya mesin gol dan jimat mereka, Cristiano Ronaldo dan Zidane, pada awal musim 2018/2019. Real juga tersingkir dari Copa del Rey dan hanya keajaiban yang membuat mereka bisa menyusul Barcelona di puncak klasemen setelah kalah dalam ”El Clasico” terakhir.
Apa yang berubah?
Menilik fenomena persepakbolaan Eropa dalam 20 tahun terakhir, klub-klub Liga Primer menjadi primadona dalam bisnis miliaran euro ini berkat hak siar televisi dibandingkan dengan liga-liga utama lainnya. Dalam bisnis ini, harus diakui Liga Primer jauh lebih progresif dalam mengembangkan pasar, terutama pasar Asia yang memang tidak pernah lesu dalam dua dekade terakhir. Faktor bahasa yang jauh bisa diterima di pasaran Asia membuat bisnis hak siar Premiership berkembang sangat dinamis.
Tidak heran klub-klub Premieship secara relatif jauh lebih kaya dibandingkan dengan liga-liga lain. Liga Spanyol, misalnya, kekayaan hanya terkonsentrasi pada dua klub, Real Madrid dan Barcelona, karena hak siar televisi didistribusikan berdasarkan indeks popularitas tiap klub.
Italia setali tiga uang. Hak siar televisi lebih individual dan terpusat di beberapa klub kaya, seperti Juventus, Inter Milan, dan AC Milan.
Lantas, mengapa dengan rata-rata kekayaan yang lebih melimpah secara relatif, klub-klub Inggris mengalami kegagalan fatal dalam satu dekade terakhir ini?
Para pengamat mengatakan, sebenarnya tidak ada yang berubah secara signifikan dalam satu dekade terakhir ini. Ada beberapa kombinasi antara klub-klub yang memasuki masa transisi, banyaknya pemain kunci yang cedera, dan kesialan yang menghantui.
Yang terakhir, misalnya, musim lalu Tottenham mengalami kekacauan pada menit-menit akhir saat jumpa Juventus, atau kesialan yang menimpa Mohamed Salah dan blunder besar Karius setelah dia dihantam kepalanya oleh Ramos saat Liverpool kalah di tangan Real Madrid. Semuanya ini bersifat acak, tetapi tetap menunjukkan kegagalan besar klub-klub Inggris Raya.
Jadi, apa yang berubah? Barangkali tak ada. Yang jelas kali ini sejumlah kemujuran juga mengantarkan klub-klub Inggris ke delapan besar. Manchester United, misalnya, harus diakui mendapatkan kemujuran saat mengalahkan Paris St Germain, 3-1, setelah dihadiahi penalti menit terakhir. Terima kasih kepada sistem video asisten wasit alias VAR. Comeback United tercatat salah satu yang fenomenal dalam sejarah UCL setelah pasukan Ole Gunnar Solskjaer kalah 0-2 pada leg pertama di Old Trafford.
Keberuntungan undian 16 besar juga dialami Manchester City, tetapi Liverpool dan Spurs menunjukkan fenomena lain yang membuat Premiership boleh berbangga. ”Si Merah” bahkan menyingkirkan salah satu favorit UCL musim ini, raksasa Jerman, Bayern Muenchen, dengan kemenangan cukup telak, 3-1, di kandang lawan. Harus diakui, dari empat perempat finalis asal Inggris, Liverpool berada di peringkat teratas meski penampilan di liga domestik tidak stabil menjelang pengujung musim.
Pelatih legendaris Belanda, Louis van Gaal, saat menjadi juru latih di Old Trafford pernah mengatakan, klub-klub Inggris hanya punya pemain yang kelelahan saat berlaga di pentas Eropa akibat jadwal mereka yang kelewat padat. ”Rat race”, demikian van Gaal mengibaratkan.
Faktor kompetisi tanpa jeda musim dingin, yang dikenal dengan periode festival, yang memaksa para pemain bekerja keras hampir selama sebulan penuh dengan jadwal ekstra padat, barangkali menjadi salah satu penyebabnya. Namun, saat ini tampaknya kondisi sudah berubah.
The Guardian mencatat, kini intensitas laga, terutama bagi tim-tim elite, tak lagi seperti satu dekade lalu. Musim lalu ada 63 laga dengan satu tim mendominasi penguasaan bola (ball possession) lebih dari 70 persen. Faktor ini melejit lebih dari 200 kali dalam 15 tahun terakhir. Ini berarti banyak tim elite memenangi laga dengan upaya yang lebih sedikit, dan meskipun mereka tidak menang, upaya yang dikeluarkan tidaklah seintens beberapa belas tahun lampau.
Tim-tim Liga Primer juga mengalami kestabilan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Eropa. Paling tidak ada enam tim yang masuk dalam 10 tim terkaya versi Deloitte yang membuat mereka secara manajemen juga jauh lebih stabil dan mampu mendatangkan para pemain terbaik dari seluruh dunia.
Hal lain, tim-tim yang berada di perdelapan final kali ini juga mendapatkan stabilitas di kamar ganti dengan manajer yang tetap dalam tiga musim terakhir. Liverpool dengan Juergen Klopp, City dengan Pep Guardiola, dan Spurs dengan Mauricio Pochetino adalah contoh paling mutakhir. Sementara United justru mendapatkan kembali gairahnya setelah memecat Jose Mourinho.
Problemnya, apakah dengan empat tim saat ini Inggris Raya kembali bisa membawa pulang piala ”Si Kuping Lebar” tersebut? Jika mengacu pada peristiwa satu dekade lalu, tiga dari empat tim semifinalis adalah tim-tim Inggris, tetapi yang menjadi juara adalah Barcelona saat Pep Guardiola menangani tim Catalonia itu pada musim pertamanya.
Di antara empat tim Inggris di perempat final saat ini, klub yang dikendalikan Pep memang saat ini menjadi unggulan teratas untuk merebut juara pada final yang akan digelar di Wanda Metropolitano, Madrid, 1 Juni mendatang.
Meskipun Pep merendah dengan mengatakan, timnya masih ”yunior” dibandingkan dengan para pesaingnya, tidak bisa dimungkiri City memang tim paling konsisten di liga domestik. City bahkan berambisi merebut empat gelar musim ini setelah sukses dengan Piala Liga dan dalam jalur mulus untuk menjuarai Piala FA. Di Premiership, secara matematis City lebih unggul ketimbang Liverpool dalam persaingan gelar juara.
Jika skenario mulus, City diramalkan berhadapan dengan Barcelona pada laga pemuncak. Namun, City harus lebih dulu menyingkirkan Spurs, kemudian Juventus atau Ajax di semifinal. Sementara Barcelona harus melewati hadangan Manchester United, kemudian melangkahi Liverpool atau Porto di semifinal.
Sungguh tak sabar menunggu laga-laga ini!