Populisme, Keteledoran, dan Gengsi Penyebab Resesi
Populisme dan gengsi kosong menjadi sumber utama resesi global kali ini. Tarif yang dikenakan AS ke dunia termasuk China telah menghambat perdagangan. Ketidakjelasan kapan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) juga mengacaukan sentimen bisnis di Uni Eropa (UE). Persaingan ideologi turut pula menghambat aliran jasa dan investasi global.
Penuturan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde pada 2 April kepada televisi CNBC memperlihatkan 70 persen perekonomian dunia rapuh. Ada gejala pertumbuhan pada 2020 akan tetapi ini tergantung pada penuntasan isu Brexit dan perang dagang AS-China. “Jika tidak ada kesepakatan, jelas berdampak negatif,” lanjut Lagarde.
Faktor utama penyebab resesi adalah ketegangan perdagangan dan keyakinan tentang kepastian iklim investasi. “Jika kemelut dagang tidak sirna maka keyakinan berinvestasi tidak terdorong. Kita sangat prihatin tentang hal ini dan dibutuhkan kebijakan menyeluruh,” kata Lagarde.
IMF telah melakukan simulasi tentang efek tarif terhadap kelancaran perdagangan. Jika ada 25 persen tarif oleh AS terhadap China, akan ada penurunan 6 persen untuk aktivitas perekonomian AS dan 1,5 persen untuk perekonomian China. Oleh karena AS dan China adalah dua perekonomian terbesar, penurunan aktivitas di dua negara itu akan berentet ke dunia.
Jika kemelut dagang tidak sirna maka keyakinan berinvestasi tidak terdorong
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga sudah menurunkan prospek pertumbuhan perdagangan global pada 2019 menjadi 2,6 persen dari 3,7 persen pada 2018. “Kemelut dagang membuat publik tidak kaget dengan perkiraan ini,” kata Dirjen WTO Roberto Azevedo di Geneva, Swiss, pada 2 April. Sebaliknya, perdagangan global akan naik pada 2020 jika kemelut dagang diakhiri.
Ekonom dari Moody\'s Analytics Mark Zandi juga menegaskan jika tensi AS-China tidak diakhiri maka resesi pasti terjadi. “Bisnis sedang di ujung jurang. Jika perang dagang tidak dibereskan dalam beberapa bulan ini resesi dimungkinkan,” kata said Zandi.
Sulitnya menemukan solusi
Persoalannya sekarang, bagaimana mencari solusi? Perdana Menteri Inggris Theresa May, pendukung Brexit, tidak mampu mengajak semua anggota parlemen dari partainya sendiri, Konservatif, menyetujui Brexit. Tidak semua rakyat Inggris, terutama Irlandia Utara dan Skotlandia, setuju dengan Brexit.
Inilah efek arogansi sebagian elite Inggris yang skeptis dengan Uni Eropa. Ketua Partai Buruh (oposisi) Jeremy Corbyn sudah buru-buru berkehendak menyatakan mosi tidak percaya pada PM May dengan memanfaatkan isu Brexit.
Inilah buah petualangan politik David Cameron, yang digantikan PM May. Sebelum referendum Brexit, Cameron menjanjikan Brexit dan terjadilah keputusan Brexit lewat referendum pada 23 Juni 2016.
Cameron langsung mundur usai referendum dan tidak memiliki penyesalan sedikitpun tentang Brexit. “Saya tidak menyesali dorongan tentang Brexit,” katanya pada 16 Januari 2019.
Cameron berharap PM May bisa menyelesaikan masalah Brexit. Nyatanya PM May tidak menemukan solusi selama tiga tahun. Tidak heran jika Presiden Komisi UE Jean Claud-Huncker pada 1 April 2019 menjuluki Cameron sebagai perusak di era modern.
PM Spanyol Pedro Sanchez juga menyampaikan pendapatnya. Dia menyamakan kampanye Brexit dengan kemerdekaan Catalonia, bagian dari Spanyol. Brexit dan isu Catalonia didasarkan pada kebohongan. Pandangan para politisi dan perpecahan politisi telah membawa kekisruhan pada negara dan kawasan.
Premis Brexit dan kemerdekaan Catalonia, menurut Sanchez, didasarkan pada tuduhan bohong bahwa UE telah mencuri dari Inggris dan Spanyol telah mencuri dari Catalonia. Ini membutakan masyarakat dengan efek kisruh dan mengganggu kepentingan lebih luas.
Keteledoran Trump
Kebohongan dan tuduhan tanpa fakta juga muncul dari Amerika Serikat, dimotori Presiden Donald Trump. Janji-janji palsunya selama kampanye telah membawa ekonomi AS pada kekisruhan. Untuk itu Trump mencanangkan program pengutamaan Amerika (America First) dengan program yang kacau balau.
Pengutamaan Amerika didasarkan pada premis palsu berupa tuduhan bahwa dunia dan China telah merampas kemakmuran AS. Kenyataannya adalah AS berkonsumsi lebih banyak ketimbang berproduksi dan terjadilah peningkatan defisit perdagangan serta penumpukan utang. Premis tidak pas inilah yang membuat Gary Cohn mundur sebagai penasihat ekonomi Trump.
Trump tetap tidak mengendor hingga menembaki China, Kanada, Meksiko, dan Eropa lewat tarif. Seperti dikatakan William Zarit, Ketua Kamar Dagang Amerika di China, konflik akan lebih parah. China tidak akan mengalah. Zarit mengatakan solusinya hanyalah dua negara bertemu dengan ide-ide akomodatif.
Ini tidak terjadi hingga sekarang. Trump tak terlihat berubah. China pun bertahan bahkan muncul dengan tantangan akan melawan. “Sulit bernegosiasi jika AS mengancam leher,” kata Wakil Mendag China. Dokumen kenegaraan "Tirai Bambu" menyebutkan, “China tidak ingin perang dagang tetapi tidak takut jika itu terjadi dan akan melawan jika diperlukan”.
Belum selesai soal perang dagang kini Trump menambah lagi kekisruhan baru. Pada 2 April, Trump mengancam perbatasan AS-Meksiko akan ditutup demi keamanan negara. Penutupan perbatasan AS-Meksiko mengerikan bagi industri otomotif AS yang mengimpor 37 persen suku cadang otomotif dari Meksiko. “Akan tercipta kekacauan jika perbatasan ditutup,” kata David Cole, Direktur Center for Automotive Research.
Trump dengan enteng saja menjawab itu. “Keamanan lebih penting dari perdagangan.”
Menolak pesaing ideologi
Hal lain yang juga turut membuat perekonomian Barat lesu adalah gengsi terhadap pertolongan dari pesaing sistem, dalam hal ini China. Harian The Globe and Mail pada 24 September 2011 menuliskan, saat krisis terjadi pada 2008 di AS, China datang dengan stimulus 570 miliar dollar AS. China menarik ekonomi dunia dari kedalaman resesi serta turut menolong Eropa dan Amerika Utara kembali ke jalur pertumbuhan.
Pimpinan umum General Motors, Mary Barra, pun menyebutkan kinerja perusahaan di pasar China sangat kuat. "Dengan melihat posisi kami di pasar China kami bisa melanjutkan kinerja yang kuat,” kata Barra.
Tidak semua bisa menerima posisi China sebagai penolong. Lalu siapa yang akan menolong ekonomi dunia selain China seperti peran Jepang pada dekade 1980-an?
“Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sendiri sedang menuju kematian,” kata profesor Walter Russell Mead, lulusan Yale University, di harian Wall Street Journal, 25 Maret 2019.
Ini merujuk pada fakta bahwa NATO sudah mulai jalan sendiri-sendiri. Hal itu tidak lepas dari pelemahan ekonomi. Hanya saja fanatisme NATO dicoba ditanamkan sehingga kesatuan NATO tidak pudar. Fanatisme diterjemahkan secara kaku termasuk dengan kampanye bahwa mendekat ke kawasan atau negara dengan beda sistem akan merusak NATO.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sendiri sedang menuju kematian.
Saat Italia mendapatkan bantuan dari China, mencuat kekhawatiran NATO ternoda oleh China. AS sangat kritis pada program One Belt One Road (OBOR) yang dilihat sebagai penantang agenda ekonomi internasional AS. Menlu AS Mike Pompeo pada hari Rabu, 27 Maret 2019, di hadapan Komite Urusan Luar Negeri DPR-AS menyatakan kecewa setiap kali ada negara yang terlibat dengan inisiatif China itu.
Italia tidak mau mendengar itu seperti dikatakan Wakil Menteri Pembangunan Ekonomi Italia Michele Geraci. Hipokritisme terjadi pada AS yang menyerang China tetapi berutang 1,3 triliun dollar AS dari China. “AS seharusnya lebih khawatir tentang utangnya kepada China,” kata Geraci.
Untungnya tidak semua bersikap seperti AS. Presiden Emanuel Macron malah menyebut Beijing sebagai mitra energi yang lebih bertanggung jawab ketimbang Washington. “Kekuatan dan efek kerja sama antara China dan Perancis bisa tergambarkan dalam kalimat ini: Membuat Planet Kita Kembali Hebat,” kata Macron.
Meski demikian, gengsi dan rivalitas masih bertahan. Dari pihak China sendiri seperti dikatakan Presiden Xi Jinping, sikap setara dan kemauan bekerja sama adalah solusi bagi dunia. Dalam konteks resesi yang sedang membayangi dunia, seperti diperingatkan IMF, mungkin tawaran Presiden Xi adalah yang terbaik. (AFP/AP/REUTERS)