Korupsi yang dilakukan oleh sejumlah ketua umum partai politik atau elite partai merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Pimpinan atau elite partai seharusnya menjadi contoh baik bagi semua kader.
Bentuk korupsi yang dilakukan oleh ketua umum parpol umumnya adalah penyuapan dan korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Sedangkan modus korupsi antara lain menerima suap atau komisi (fee) dari proyek yang didanai APBN atau penggunaan dana operasional sebagai pejabat untuk kepentingan pribadi.
Selain memperkaya diri, korupsi oleh ketua umum parpol juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti tak adanya pedoman etik di internal partai, fungsi pengawasan tak berjalan, proses perekrutan kader tak berkualitas dan berintegritas, serta kaderisasi belum terlembaga dengan baik. Selain itu, kebutuhan akan biaya politik yang tinggi. Jika politisi melakukan korupsi untuk kepentingan politik dirinya pribadi, maka korupsi oleh ketua umum disinyalir untuk kepentingan biaya operasional parpol.
Biaya politik ini tidak saja untuk menghadapi pemilu ataupun pilkada, tetapi juga untuk kegiatan internal partai, seperti sosialisasi, kaderisasi, rapat kerja, konsolidasi, ataupun kongres partai.
Kebutuhan biaya politik sebuah partai pastinya akan meningkat menjelang pemilu, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden. Untuk menutup biaya politik yang besar, ternyata tak cukup hanya mengandalkan iuran anggota atau sumbangan simpatisan. Ketua umum dituntut dengan segala cara mencari dana, termasuk korupsi, guna memenuhi kebutuhan operasional partai.
Perilaku korupsi yang melibatkan ketua umum atau elite partai tak bisa dilepaskan dari rendahnya komitmen mereka dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Indikatornya, bisa dilihat dari mayoritas partai yang masih mengusung mantan terpidana kasus korupsi jadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 meski para ketua umum parpol sudah menandatangani Pakta Integritas. Ketua umum partai juga melakukan pembiaran atau tak memberikan teguran keras kepada kadernya di DPR ataupun DPRD yang malas melaporkan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mayoritas koruptor
Dalam kondisi saat ini keberadaan partai politik justru berkontribusi pada parahnya korupsi di Indonesia. Berdasarkan data KPK, mayoritas pelaku korupsi yang ditangani berasal dari kalangan politisi, jumlahnya 322 orang atau 61,17 persen. Perinciannya, 69 anggota DPR, 149 anggota DPRD, dan 104 kepala daerah yang berasal dari unsur parpol.
Upaya menyelesaikan persoalan korupsi oleh kader ataupun elite parpol tak cukup dengan langkah penindakan atau penegakan hukum, tetapi juga harus diikuti langkah pencegahan.
Penangkapan elite parpol seharusnya jadi momentum bagi semua parpol ataupun pemerintah untuk melakukan pembenahan dan mencegah praktik korup serupa terjadi di masa mendatang. Parpol sebaiknya melakukan evaluasi serta perbaikan tata kelola dan keuangan parpol, kode etik, pengawasan, kaderisasi, dan perekrutan. Akuntabilitas dan keterbukaan keuangan partai sangat krusial dibenahi agar parpol mendapat kepercayaan besar dari publik.
KPK sendiri sudah berupaya keras mendorong upaya pencegahan korupsi oleh parpol. Selain sosialisasi, KPK pada Desember 2018 juga mengusulkan gagasan Sistem Integritas Parpol sebagai upaya meminimalkan praktik korupsi oleh kader atau petinggi partai. Dari 16 partai yang maju di Pemilu 2019, sebanyak 13 parpol di antaranya bersedia menandatangani pakta integritas yang disiapkan KPK.
Pada sisi lain, pemerintah juga perlu segera menaikkan dana bantuan parpol yang berasal dari APBN. Saat ini dana bantuan negara untuk parpol dinilai belum memadai dan masih minim, hanya Rp 1.000 per suara. KPK telah mengusulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan dana bantuan parpol menjadi Rp 10.000 per suara.
Menambah dana untuk partai dipercaya dapat mengurangi hasrat korupsi di internal partai sekaligus mencegah ketua umum melakukan pengumpulan dana politik dengan cara yang bertentangan dengan hukum. Agar penggunaan dana dapat dipertanggungjawabkan, maka kenaikan anggaran biaya partai harus diikuti proses audit ketat dan mendalam.
Emerson Yuntho Pegiat Antikorupsi; Wakil Direktur Visi Integritas