Pilpres Milik Kita
Detik-detik pencoblosan dalam pemilu serentak yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba.
Ketiga, ada sebagian rakyat yang meragukan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menegakkan pemilu yang jujur dan adil (jurdil), salah satunya berkenaan dengan persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang masih kontroversial.
Islam vs non-Islam?
Sebagai penduduk mayoritas, bisa dipahami jika dalam setiap pemilu ceruk suara umat Islam selalu menjadi rebutan. Isu Islam vs non-Islam pun selalu menjadi trending topic. Demikian juga saat ini. Yang menarik, kedua pasangan calon (paslon) yang berkontestasi dalam Pilpres 2019 saling mengklaim paling direstui ulama. Di satu sisi, paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengklaim dirinya sebagai paslon yang dihasilkan dari ijtimak ulama.
Di sisi lain, klaim sama juga dilakukan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Selain mengklaim diri hasil ijtihad Munas Alim Ulama, secara de facto paslon ini didukung ormas Nahdlatul Ulama (NU). Dipilihnya Amin sebagai cawapres Jokowi sekaligus merupakan sanggahan langsung tentang ketakbenaran dugaan bahwa capres petahana anti-Islam.
Dukungan NU kepada Jokowi bisa dipahami karena secara ideologis dan historis NU cenderung dekat dengan kelompok nasionalis ketimbang kelompok Islam modernis dan kelompok Islam yang dicitrai ”radikal” yang ditengarai jadi pendukung utama capres penantang. Namun, lepas dari hal itu, perbedaan pilihan politik tersebut merupakan hal biasa. Sebab, sebagaimana di komunitas agama lain, Islam Indonesia juga warna-warni, mulai dari yang moderat hingga radikal serta dari yang sinkretis hingga fundamentalis.
Agama dalam pilpres
Indonesia memang bukan negara agama. Juga bukan negara sekuler. Namun, negara bangsa yang berketuhanan sebagaimana tersurat dalam sila pertama Pancasila. Atas dasar itu, tak ada yang salah jika agama dibawa dalam ranah pilpres selama yang dibawanya adalah agama dalam bentuk ”nilai” dan bukan sekadar dalam bentuk ”simbol”. Sebagai nilai, agama bersifat universal yang mewujud dalam perilaku sosial yang baik, seperti amanah, tertib, jujur, dan adil. Sementara sebagai simbol agama sering terjerumus dalam politisasi di mana simbol-simbol agama dimanipulasi sedemikian rupa dalam bentuk propaganda, indoktrinasi, dan kampanye untuk kepentingan politik sempit.
Sebagai salah satu ”roh” penting Pancasila, sudah seharusnya pilpres berjalan sesuai dengan nilai-nilai agama, yakni luber dan jurdil yang juga menjadi asas pemilu. Dengan demikian, idealnya pilpres dilakukan secara sportif.
Sebagai bagian penting dalam pilpres, kampanye seyogianya menjadi arena adu argumentasi tentang visi, misi, dan program serta saling kritik dengan dukungan data dan fakta. Bukan arena kampanye hitam untuk menstigma lawan tanpa dasar. Emosi adalah hal yang manusiawi selama terkendali dan tetap bersifat substantif. Kampanye yang tidak sportif dan tak beradab justru akan merugikan diri sendiri karena kampanye pada dasarnya adalah cara dan strategi untuk memasarkan ”barang” politik kepada pembeli (pemilih). Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah kampanye yang informatif dan simpatik.
Hal tersebut penting disadari semua pihak karena ceruk suara dari swing voters jumlahnya sangat signifikan, yakni 10-25 persen. Demikian juga jumlah pemilih yang kurang loyal (yang pilihannya belum mantap) pada partai pilihannya. Berdasarkan survei Kompas (22 Februari-5 Maret 2019), misalnya, jumlah pemilih PDI-P yang kurang loyal diperkirakan 23,5 persen, Gerindra 18,24 persen, Golkar 43,4 persen, Demokrat 54,9 persen, PKS 40,3 persen, dan PKB 38,2 persen.
Akan tetapi, jauh dari harapan tersebut, selama ini rakyat banyak dipertontonkan cara-cara kampanye yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya, seperti tindakan persekusi, intimidasi, saling ejek, dan unggahan hoaks serta ujaran kebencian. Akibatnya, bukan saja tidak sedikit yang berurusan dengan hukum, suasana pilpres pun menjadi cukup mencekam. Pilpres tak ubahnya seperti pertandingan sepak bola antarkampung, padahal berbeda dengan sepak bola, kemenangan yang dihasilkan dalam pilpres adalah kemenangan untuk semua rakyat, bukan hanya untuk para pendukungnya.
Milik kita
Adalah sudah seharusnya pemilu yang dilakukan Indonesia secara rutin naik kelas menjadi pemilu yang substantif, bukan sekadar prosedural. Hal ini penting disadari semua pihak, khususnya jelang pencoblosan dan masa-masa kritis tahapan pemilu berikutnya, seperti penghitungan suara, yang akan jadi barometer utama substantif tidaknya sebuah pemilu. Apalagi sejatinya pemilu adalah milik rakyat karena pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat guna memilih pemimpin terbaiknya secara demokratis. Dengan kata lain, rakyatlah yang sesungguhnya paling berkepentingan dengan pemilu.
Untuk itu, rakyat dituntut menjadi garda terdepan dalam menentang politik uang karena hal tersebut identik dengan menggadaikan kedaulatan/kekuasaan yang dimilikinya. Partisipasi aktif rakyat merupakan keniscayaan, termasuk dalam mengontrol peserta dan penyelenggara pemilu serta pemerintah.
Para elite berhentilah memberikan uang-uang receh kepada rakyat untuk memenangkan dirinya. Tanpa semangat menegakkan kebenaran dan keadilan dalam pemilu, maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur hanya tinggal menjadi ”kata” tanpa makna. Mengharap perubahan dari dalam (change from within) melalui birokrasi dan pemerintahan tak ubahnya seperti mengharap siput berlari.
Karena itu, peran pers sebagai salah satu pilar demokrasi juga sangat penting. Pers tak semestinya bersikap partisan karena pers memiliki tanggung jawab besar sebagai penjaga stabilitas sosial dan politik. Lebih-lebih di tengah derasnya arus informasi, khususnya dari dunia medsos, yang kerap sarat dengan berita hoaks. Tanggung jawab sama semestinya dilakukan lembaga survei. Sebagai kajian ilmiah, kejujuran merupakan kewajiban. Kebohongan (penyelewengan dalam dunia ilmu pengetahuan) tak ubahnya sebuah ”pelacuran” ilmiah.
NKRI dibangun secara bersama dengan tumpahan ”darah” untuk kesejahteraan bersama. Namun, ”tumpahan darah” tersebut tak seharusnya terjadi dalam pemilu karena pemilu milik bersama. Maka, jika ada wacana people power, hal tersebut cukup dijawab dengan kerja nyata dan profesional dari penyelenggara pemilu, pemerintah, birokrasi, dan aparat penegak hukum. Biarkan rakyat memilih calon pemimpinnya dengan bebas dan rahasia tanpa tekanan, arahan, serta mobilisasi.
Kemerdekaan adalah rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, pemilu wajib disukseskan dengan meramaikan TPS dan setelah itu mengawalnya secara bersama hingga tuntas. Sebagai warga negara semestinya bangga menggunakan hak politik untuk memilih pemimpin dan bukan golput karena itu merupakan sikap dari orang yang tidak tahu bersyukur. Selama ini Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang berhasil melakukan pemilu dengan damai. Insya Allah pemilu serentak 2019 juga bisa karena pemilu milik kita dan tidak sepatutnya dicederai.
R Siti Zuhro Profesor Riset LIPI