Epidemi ”Post-truth”
Pernahkah Anda menonton film The Year of Living Dangerously? Film produksi tahun 1982 yang dibintangi Mel Gibson dan Sigourney Weaver ini dibuat berdasarkan novel tahun 1978 yang ditulis Christopher Koch.
Kisahnya tentang percintaan wartawan Guy Hamilton (Gibson) dengan diplomat Inggris, Jill Bryant (Weaver), di Jakarta 1965-1966, dengan latar politik Indonesia yang sedang genting hingga tersingkirnya Presiden Soekarno.
Entah disengaja atau tidak, judul novel dan film The Year of Living Dangerously sebenarnya ”menjiplak” judul pidato 17 Agustus 1964 Presiden Soekarno yang berjudul ”Tahun Vivere Pericoloso” atau disingkat TAVIP. Vivere pericoloso sendiri diambil Soekarno dari bahasa Italia yang artinya ”Hidup yang menyerempet bahaya”. Pidato yang seolah menjadi self fulfilling prophecy bagi Soekarno.
Dalam perkembangan sejarah Indonesia sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebenarnya ada beberapa TAVIP bagi negara-bangsa ini, yaitu ketika pada tahun-tahun tersebut kita hidup menyerempet bahaya. Selain tahun 1965 yang kemudian menghantar pada berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno, tentu tahun 1998 dapat dikatakan sebagai TAVIP juga yang ditandai dengan lengsernya Soeharto.
Apakah tahun 2019 ini bakal juga menjadi TAVIP bagi Indonesia? Jawabnya ditentukan oleh pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) 17 April lalu. Saat ini kita masih menunggu hasil penghitungan manual (real count) dari tingkat desa/kelurahan hingga nasional, yang dijadwalkan paling lambat akan diumumkan KPU pada 22 Mei mendatang. Sudah ada hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei termasuk oleh Litbang Kompas. Muncul resistansi dari salah satu kubu capres-cawapres.
Sabtu (20/4) lalu, Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) sampai khusus mengadakan Expose Data Hasil ”Quick Count” Pemilu 2019 oleh Anggota Persepi yang dihadiri amat banyak wartawan/media. Ketua Umum Persepi Philips J Vermonte menegaskan bahwa hitung cepat itu sah dilakukan dan disiarkan hasilnya karena diatur oleh Undang-Undang Pemilu, selain direstui oleh KPU dan didukung keputusan Mahkamah Konstitusi.
Yang jelas pilpres tahun ini jauh lebih menegangkan dibanding 2014. Tahun ini, kita menyaksikan adanya racikan mesiu maut yang siap meluluhlantakkan negara dan bangsa ini: politik identitas/SARA, demagogi ultranasionalisme/fasisme, populisme kanan, post-truth (penyangkalan terhadap kebenaran) hingga propaganda firehose of falsehood (semburan dusta). Detonatornya adalah maraknya hoaks, fitnah, pelintiran kebencian, hingga pembunuhan karakter, yang dipantik oleh banalnya media sosial dan nyaris tak terkontrolnya dark social atau jejaring sosial, seperti WhatsApp.
Gejala menguatnya politik identitas dan manipulasi informasi tampak amat kasat mata pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, terutama putaran kedua. Kasus Pilkada Jakarta ini secara khusus dicantumkan dalam buku Information Manipulation– A Challenge for Our Democracies yang diterbitkan Agustus 2018 oleh CAPS (Kementerian Urusan Eropa dan Luar Negeri) dan IRSEM (Kementerian Pertahanan) Perancis.
Berkah sekaligus bencana
Bagaikan Dewa Janus yang bermuka dua, internet itu berkah sekaligus bencana bagi peradaban. Penetrasi internet yang tinggi terbukti membuat bangsa Amerika Serikat harus menerima kenyataan memiliki presiden bernama Donald Trump, demagog ultranasionalis yang berslogan ”Make America Great Again”. Ia juga mengeksploitasi politik identitas/SARA dan populisme kanan.
Berkat media daring rasis, Breitbart News, yang dipimpin Stephen Bannon plus microtargeting terhadap jutaan akun Facebook warga AS serta agitasi daring, Trump bisa terpilih sebagai presiden. Ia mengolok-olok akurasi liputan media arus utama, sembari mencibir data Badan Pusat Statistik AS tentang penurunan angka kemiskinan pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama. Fakta dan kebenaran disangkali. Inilah ciri khas bekerjanya post-truth.
Tentu demagogi dan agitasi Trump—yang memanfaatkan post-truth dan psikologi elektoral warga WASP (White Anglo-Saxon Protestants) yang tak jarang penuh semburan dusta (firehose of falsehood/FoF)— amat berperan untuk menaklukkan Hillary Clinton pada pilpres akhir 2016. Apalagi, Trump amat tega melakukan pembunuhan karakter terhadap Hillary, yang kebetulan juga kurang disukai sebagian konstituen Partai Demokrat yang lalu memilih jadi golput.
Kita dapat melakukan kilas balik untuk Indonesia tahun 2014. Kalau seandainya tabloid Obor Rakyat yang terbit ketika berlangsung proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 tidak hanya diedarkan sebagai media cetak, tetapi juga berwujud media daring. seperti Breitbart News, tidak mustahil Joko Widodo tidak terpilih sebagai presiden.
Waktu itu tingkat penetrasi internet Indonesia masih terkendala digital divide, baru mencapai sekitar 28 persen. Saat ini penetrasi Internet sudah melampaui 50-an persen, tetapi tetap saja literasi media di Indonesia masih belum begitu menggembirakan.
Brexit, Trump, dan Bolsonaro adalah tiga contoh nyata betapa masyarakat dunia telah memasuki era post-truth. Kebohongan yang dinarasikan berulang kali lewat propaganda, demagogi dan ujaran kebencian yang mengaduk-aduk emosi dan nalar sehat, akhirnya memenangkan kontestasi wacana sehingga seolah menjadi suatu kebenaran. Trump menang karena memakai resep Joseph Goebbels. Menurut Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Hitler, kebohongan yang diulang-ulang akan diterima masyarakat sebagai kebenaran. post truth berkelindan dengan teknik proganda FoF.
”Post-truth” dan FoF
Tak dapat dimungkiri bahwa politik identitas yang berbaur dengan populisme (kanan) dan post-truth telah hadir di Indonesia. Pemanasannya telah kita rasakan sejak putaran pertama Pilkada Jakarta 2017 dan terus berlangsung hingga saat ini. Pada era post-truth, orang tidak mencari kebenaran yang berdasarkan fakta, tetapi mencari afirmasi, konfirmasi, dan dukungan terhadap keyakinan yang mereka miliki.
Lee McIntyre dalam buku kecilnya, Post-truth (MIT Press, 2018) dengan sederhana menyatakan bahwa fakta dan kebenaran terancam dalam arena politik. Kebenaran bukan cuma ditantang dan dilecehkan oleh penegasan adanya dominasi politik. Sebenarnya Ralph Keyes sudah menulis buku The Post-truth Era–Dishonesty and Deception in Contemporary Life tahun 2004. Belakangan, selain buku McIntyre ada sejumlah buku tentang post-truth baik dari yang populer (seperti Weaponized Lies–How to Think in the Post-truth Era oleh Daniel J Levitin, 2016, dan Post-truth– Why We Have Reached Peak Bullshit and What We Can Do About It oleh Evan Davis, 2017) hingga yang akademis, seperti dua buku terbitan Palgrave Macmilan tahun 2019, yaitu A Political Theory of Post-truth oleh Ignas Kalpokas, dan Post-truth and Political Discourse oleh David Block.
Hampir berbareng dengan populernya kosa kata post-truth, muncul istilah model propaganda Rusia firehose of falsehood (FoF) yang dirumuskan oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews dari Rand Corporation tahun 2016, menyusul kampanye oleh Presiden Rusia Vladimir Putin ketika melakukan aneksasi Semenanjung Krimea menjadi wilayah Rusia tahun 2014.
Metode propaganda FoF atau semburan dusta ini yang diberi lahan subur oleh post-truth diyakini berhasil di Inggris dan Pilpres AS tahun 2016, serta terpilihnya Bolsonaro sebagai Presiden Brasil pada 2018 (Bolsonaro terpilih jadi presiden diuntungkan oleh Whatsapp). Namun, Le Pen gagal di Perancis walaupun menggunakan metode propaganda ini. Begitu pula propaganda SARA gagal pada Pemilu di Malaysia tahun 2018.
Setidaknya ada empat karakteristik metode propaganda FoF, yaitu (1) suara yang bising; (2) multikanal, cepat, kontinu dan repetitif; (3) tanpa komitmen terhadap realitas obyektif; dan (4) tanpa komitmen terhadap konsistensi. Dua ciri yang terakhir ini bermanifestasi pada diri Donald Trump, tetapi anehnya justru ia berhasil terpilih menjadi Presiden AS.
Jika kita tidak bias pada politik yang partisan yang saat ini membelah Indonesia, kita tentu dapat menilai apakah fenomena post-truth dan metode propaganda firehose of falsehood berlangsung di negeri ini. Kebetulan terbetik informasi bahwa Cambridge Analytica sempat meneliti tipologi psikografi pemilih Indonesia. Hanya hasilnya tidak jadi dipublikasikan karena heboh skandal penyedotan data jutaan akun Facebook oleh perusahaan Inggris ini untuk kepentingan microtargeting elektoral di Amerika Serikat.
Hoaks dan ”dark social”
Selama April 2019 ini, harian Kompas cukup banyak menurunkan berita dan tulisan opini tentang hoaks, misalnya berita utama ”Hoaks Mengancam Pemilu” (11/4). Lalu dua tulisan opini yang dimuat pada 15 April, yaitu ”Wot Ogal-Agil” oleh Sindhunata, dan ”Gelombang Hoaks Jelang Pemilu”.
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sudah ratusan orang menjadi tersangka dan terpidana akibat menciptakan dan mendistribusikan hoaks hingga ujaran kebencian. Namun, hoaks makin marak. Kementerian Kominfo bulan Januari lalu membuat laporan isu hoaks mingguan 27 halaman. Namun, Laporan Isu Hoaks Bulanan Maret 2019 tebalnya mencapai sebanyak 478 halaman!
Ada pula berita bahwa Facebook di Indonesia sudah menutup ribuan akun yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Twitter pun melakukan hal serupa. Belum ada data resmi soal Instagram dan Youtube yang lebih populer di kalangan generasi milenial yang cenderung lebih apolitis.
Namun, sebenarnya yang lebih banal dan liar dibandingkan dengan media sosial adalah platform percakapan seperti Whatsapp dan Line. Jumlah penggunanya di Indonesia sekitar 150 juta atau lebih, jauh lebih banyak dibandingan dengan seluruh pemilik akun media sosial. Percakapan di jejaring sosial, seperti grup Whatsapp praktis sulit dipantau. Wartawan Alexis C Madrigal menamai aplikasi percakapan ini dark social.
Tak dapat dimungkiri dark social adalah lahan subur bagi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang susah dijamah hukum. Pada era post-truth dan masyarakat yang tersungkup ruang gaung (echo chamber) tertentu serta basah kuyup tersemprot semburan dusta, jejaring sosial ini menjadi ancaman serius bagi terpecah belahnya bangsa.
Irwan Julianto Wartawan dan Dosen Fikom Universitas Multimedia Nusantara, Serpong