Bangsa adalah buatan sejarah. Dengan kata lain, dia bisa hilang dalam sejarah. Entitas ”bangsa” pun baru dikenal sejak Perjanjian Westphalia tahun 1648. Sebelumnya, hubungan internasional dijalankan antara campuran bangsa, kerajaan dan kekaisaran, dengan batas yang cair.
”Indonesia” sendiri baru lahir secara politik tahun 1945. Sejak kelahirannya, banyak guncangan terjadi dari yang ringan sampai yang paling keras. Meski demikian, kita menyaksikan bagaimana Indonesia bertahan tujuh dekade lebih. Ada kebahagiaan sekaligus kekhawatiran. Bahagia karena bangsa ini sudah melampaui banyak ujian sejarah.
Sebaliknya, kita khawatir karena menguatnya politik identitas berbasis sektarianisme yang berpotensi mengoyak kain kebangsaan kita. Kita selalu dihinggapi kecemasan, apakah bangsa ini mampu mencapai usia seratus bahkan seribu tahun. Artikel ini berusaha menjawab syarat dan tantangan seribu tahun Indonesia Raya.
Ketegangan identitas
Bangsa adalah entitas politik. Syarat mungkin politik adalah keragaman identitas. Tanpa keragaman identitas, tidak ada ketegangan dan artinya tidak ada negosiasi, diskusi, dan keputusan kolektif. Politik memerlukan keragaman identitas.
Dari identitas itu kemudian turun menjadi ide dan program politik sehingga ruang publik pun diisi beraneka kekuatan politik identitas, baik formal maupun nonformal.
Sejak awal berdiri, bangsa ini sudah multi-identitas. Sebagian identitas bertahan di kebudayaan, sebagian memformulasikan diri secara politik. Identitas politik memformulasikan diri dalam bentuk ideologi. Kita mengenal beraneka ragam ideologi yang bertarung secara politik.
Sejarah republik awalnya diwarnai ini berbagai ideologi besar: komunisme, sosialisme demokrasi, Islam, dan nasionalisme radikal. Berbagai ideologi tersebut mengental secara kelembagaan menjadi PKI, PSI, Masyumi, NU, dan PNI.
Politik Indonesia pada rentang 1945-1965 adalah politik multi-aksial. Pertama, perbedaan antara politik kiri dan kanan yang diukur berdasarkan afinitasnya dengan komunisme. Kedua, perbedaan antara politik modern dan tradisional yang diukur dari sejauh mana partai mengadopsi ideologi Barat atau sebaliknya, sejauh mana partai mengadopsi tradisi. Ketiga, perbedaan antara politik Islam dan non-Islam yang diukur berdasarkan sejauh mana partai menjadikan Islamisme sebagai inspirasi politiknya.
Pertarungan politik antar-aksis mengeras sehingga membahayakan bangunan bangsa yang baru berdiri. Berbagai eksperimen politik pun dicoba. Mulai dari konsep Nasakom hingga demokrasi terpimpin. Berbagai eksperimen itu mengalami kesulitan sebab segregasi politik sudah turun menjadi segregasi sosial.
Pertarungan bukan hanya di lembaga-lembaga politik, melainkan juga akar rumput. Segregasi politik berubah menjadi segregasi sosial yang pada akhirnya berpotensi menjadi segregasi nasional.
Seluruh eksperimen itu pun hancur ketika G30S terjadi dan Orde Baru berkuasa. Keragaman identitas politik pun diringkas menjadi tiga kekuatan formal yang distabilisasi oleh prinsip pembangunanisme. Bangsa ini pun dijaga kelangsungannya dengan tangan besi dan totalitarianisme. Tiga dekade metode ini cukup berhasil, tetapi ini menyimpan api dalam sekam. Siasat tangan besi lupa betapa identitas itu mengakar secara sosial sekaligus kultural.
Ideologi tidak mati, dia hanya mati suri. Pemaksaan keseragaman dengan dalih pembangunan terkutuk untuk kolaps. Keragaman adalah syarat politik, jika dimatikan, dia akan mencari kanalisasinya sendiri. Tak jarang kanalisasi itu berwujud sektarianisme yang akut. Tanda bahaya pun selalu berbunyi di jantung republik ini.
Seribu tahun?
Kembali ke pertanyaan awal. Apakah Indonesia Raya mampu bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ke depan. Mampukah bangsa ini tidak mati muda di tangan anak-anak politiknya sendiri.
Sebelum menjawab, kita coba tengok dinamika bangsa ini pasca-reformasi. Reformasi dan demokratisasi membuka keran politik identitas kembali. Namun, berbeda dengan masa mula-mula bangsa ini, keragaman politik identitas pasca-reformasi tidak mewujud dalam bentuk yang matang.
Pragmatisme politik membuat keragaman tersebut tidak menjadi fitur diskriminatif antarkekuatan politik. Semua kekuatan politik berebut kekuasaan tanpa peduli ideologi. Ideologi kalah oleh transaksi.
Di tengah kevakuman ini, sektarianisme menguat dan mengambil bentuk politik. Politik sektarian mulai mewarnai satu demi satu pemilihan politik di republik ini. Sebenarnya, politik identitas tidak bermasalah dari kacamata kebangsaan. Demokrasi memberi ruang gerak sejauh politik identitas bermain dalam batas kewajaran dan kewarasan publik. Persoalannya, politik sektarian tidak sekadar bersengketa, tetapi bertarung hidup mati. Pertarungan politik sektarian bukan semata perkara kalah menang. Lebih dari itu, pertarungan politik sektarian adalah pertarungan hidup mati cara hidup tertentu. Dan ini bersifat zero sum game. Atau kami atau mereka. Tidak ada pilihan ketiga.
Politik sektarian ini berpotensi merobohkan bangsa ini. Apa yang kita lihat di Suriah, Sudan, dan Libya bisa terjadi di Indonesia. Sayangnya, sebagian kekuatan politik formal melihat politik sektarian memiliki fungsi elektoral. Berpolitik dengan mencampur yang duniawi dan ukhrawi dirasa manjur dalam sebuah pertarungan politik. Eksesnya: keterbelahan, keterpecahan, dan potensi chaos. Saya ingat sampul majalah Times yang menyambut kemenangan Trump memasang judul ”Divided States of America”
Amerika sudah berusia ratusan tahun. Bangsa itu memiliki daya tahan kulturalnya sendiri. Sementara Indonesia masih perlu banyak belajar. Politik sektarian yang dimainkan secara brutal dan direspons kekuatan politik demokratis sangat berbahaya. Kita harus menghentikannya secara legal sekaligus melumpuhkannya secara kultural. Kekuatan politik formal harus menyadari betapa sektarianisme mungkin ampuh secara elektoral, tetapi mampu mematikan denyut kebangsaan kita. Mereka harus ingat betapa kita memiliki rambu ideologis bernama Pancasila.
Sektarianisme bertentangan dengan seluruh prinsip utama Pancasila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan.
Jika kita menginginkan Indonesia berumur panjang, politik sektarian harus disudahi sekali untuk selamanya. Tidak ada jalan lain. Kita perlu menghentikan segenap upaya membelah bangsa secara ras, etnis, dan keyakinan. Kita harus menyudahi politik identitas pengusung tirani mayoritas yang berdalih ”melindungi minoritas”. Kesepakatan yang sudah dibuat sejak bangsa ini lahir harus dihormati. Kita tidak mau bangsa ini dihancurkan dari dalam. Akhir kata, pemerintah datang dan pergi, tetapi ”bangsa” seharusnya abadi.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia