Hingga Senin (22/4/2019), sekitar 90 petugas Kelompok Penyeleng- gara Pemungutan Suara mening- gal dan sebagian dari mereka meninggal karena kelelahan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan, jumlah petugas KPPS yang gugur dalam menjalankan tugas demokrasi itu kemungkinan akan bertambah karena hingga Senin lalu masih 374 petugas lainnya sakit atau dirawat (Kompas, 23/4/2019). Jumlah petugas yang meninggal belum termasuk 14 pengawas pemilu yang meninggal, 74 orang kecelakaan, dan 15 orang lainnya dianiaya. Selain itu, ada 15 anggota Polri yang meninggal dalam pengamanan Pemilu 2019.
Jumlah petugas KPPS yang meninggal hingga Selasa (23/4) diperkirakan lebih dari 100 orang. Angka ini, jikalau diperbandingkan dengan jumlah pemilih yang terdaftar pada Pemilu 2019, yang mencapai lebih dari 192 juta orang, memang terlihat amat kecil. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, jumlah petugas KPPS pada setiap tempat pemungutan suara (TPS) adalah tujuh orang, dengan 30 persen di antaranya perempuan.
Pemilu 2019 memerlukan 811.118 TPS yang tersebar di luar negeri dan di dalam negeri. Jika setiap TPS ditangani tujuh pe- tugas KPPS, berarti terdapat tak kurang dari 5.677.826 petugas KPPS. Pasal 72 UU Pemilu mensyaratkan, petugas KPPS, antara lain, mampu secara jasmani dan rohani. Lebih dari 100 petugas KPPS yang meninggal memang kurang dari 0,002 persen dari seluruh petugas KPPS. Mereka bukan sekadar angka.
Mereka juga bukan bilangan, jumlah semata. Petugas KPPS adalah warga negara yang mencintai negeri ini, rela berkorban dalam mewujudkan demokrasi. Mereka terlibat dalam mewujudkan kemerdekaan bagi warga yang lain. Bersama penyelenggara pemilu lainnya, meskipun ada banyak persoalan dalam pesta demokrasi tahun ini, termasuk keterlambatan gaji petugas KPPS, mereka tetap melayani warga yang menggunakan hak pilihnya. KPPS merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemilu, bersama saksi, pengawas, dan aparat.
Penyelenggara pemilu di tingkat nasional, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pembuat UU: pemerintah dan DPR, serta Mahkamah Konstitusi (MK) perlu belajar dari pengorbanan petugas KPPS. Pasal 383 UU Pemilu semula me- negaskan, penghitungan suara dalam Pemilu 2019 harus ram- pung sebelum pukul 24.00 pada hari yang sama dengan waktu pemungutan suara. MK mengubah aturan itu dengan memberikan keleluasaan hingga pukul 12.00 pada hari berikut.
Selain pemilih di DKI Jakarta serta luar negeri, ada lima kertas suara yang harus dihitung di setiap TPS. Penghitungan memerlukan konsentrasi tinggi. Petugas KPPS tidak bisa menghindari tanggung jawab menggelar pemilu serentak itu. Mereka wajar mengalami kelelahan. Apalagi, di antara petugas KPPS itu ada yang tak muda lagi atau kurang sehat.
Tak cukup santunan bagi petugas KPPS, pengawas pemilu, dan aparat yang meninggal atau sakit dalam penyelenggaraan pemilu kali ini. Penyelenggaraan pemilu serentak perlu dikaji lagi, lebih banyak mudarat atau manfaatnya. Demokrasi harus diperjuangkan, tetapi tak perlu ada korban berjatuhan....