Mengelola Residu Kontestasi Ideologi
Instrumentasi politik identitas dalam Pemilu (khususnya Pilpres) 2019 mesti diakui salah satu yang paling pekat dalam sejarah elektoral Indonesia. Kepekatan politisasi identitas ini barangkali setara Pemilu 1955 atau bahkan lebih parah sebab distimulasi polarisasi kekuatan politik poros Joko Widodo versus Prabowo Subianto yang membelah, sedangkan pada Pemilu 1955 kekuatan politik kontestan terfragmentasi di minimal empat kekuatan utama: nasionalis sekuler, Islam moderat, Islam konservatif, dan komunis.
Kontestasi laten
Secara numerik, obyektif adanya, bahwa Alumni 212 terfragmentasi ke kedua kubu koalisi. Namun, hal itu tak menjelaskan realitas utuh mengenai pertarungan ideologi. Pun halnya dengan pernyataan verbal setiap kubu bahwa tiap-tiap mereka berada dalam Pancasila. Hal itu tak dengan sendirinya menjelaskan bahwa pertarungan ideologi dalam koalisi Pilpres 2019 hanya berlangsung dalam kerangka sesama pengusung Pancasila. Figur Jokowi dan Prabowo penulis yakini keduanya Pancasilais tulen. Namun, mereka bukan petarung satu-satunya dalam palagan Pilpres 2019.
Pertarungan ideologi yang secara faktual berlangsung tak hanya kongruen dengan bipolaritas kekuatan politik elektoral setiap kandidat. Di lapis paling inti konfigurasi koalisi politik para kontestan, pertarungan ideologi juga terjadi di setiap kubu.
Dengan demikian, momen kritis pertarungan ideologi itu bukan saja menjelang dan saat pemilu, melainkan juga setelah kontestasi sudah menghasilkan pemenang definitif.
Harus diakui, titik lemah terbesar dua koalisi Pilpres 2019 adalah kuatnya pragmatisme politik, meneruskan tren perilaku politik elektoral kita sejak liberalisasi politik 1998. Pragmatisme memberikan ruang akomodasi besar bagi kelompok konservatif keagamaan yang punya kapasitas penghimpun suara signifikan, tetapi dalam DNA entitas mereka tersimpan potensi gangguan serius atas Pancasila, sebagai ideologi plural. Dengan demikian, ketegangan ideologis terhadap Pancasila, pluralisme, dan pandangan keislaman moderat akan selalu hadir di kedua kubu.
Politisasi identitas yang dimainkan elite politik kedua kubu, padahal tak memiliki faedah elektoral signifikan (Saidiman Ahmad, ”Faedah Elektoral Politik Agama”, Kompas, 11/4), menunjukkan bahwa yang sedang berlangsung bukan semata-mata soal teknikalitas politik elektoral, melainkan juga pertarungan ideologi.
Identitas, dalam konteks itu, merupakan instrumen strategis untuk menegaskan bipolaritas diri (self) dan liyan (other) demi konsolidasi identitas kelompok. Karena itu, politisasi identitas hanyalah instrumen politik yang bersifat manifes dari kontestasi ideologi yang berwatak laten.
Penguatan konservatisme
Dengan cara pandang tersebut, pekerjaan rumah paling kritis kita sebagai bangsa adalah bagaimana mengelola residu kontestasi ideologi pasca-pilpres. Pertama, penguatan konservatisme oposisional kontra Pancasila. Sebelum riuh rendah Pilpres 2019, sudah terjadi penguatan identitas sekaligus resistansi atas liyan, bahkan oposisi atas Pancasila dan pluralisme. Data begitu banyak lembaga riset mengonfirmasi situasi mengkhawatirkan ini.
Survei Setara Institute (2016) di DKI dan Bandung Raya menunjukkan, 5,8 persen pelajar mendukung upaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Survei Alvara Research Centre (2017) di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar menunjukkan, 19,4 persen PNS anti-Pancasila. Survei LSI pada 2018 menjelaskan signifikansi penurunan dukungan publik terhadap Pancasila, yaitu di angka 75,3 persen, padahal 13 tahun sebelumnya masih di angka 85,2 persen.
Kuatnya politisasi identitas keagamaan pada Pilpres 2019 oleh kedua kubu akan menjadi stimulan bagi pengentalan konservatisme dan konsolidasi kelompok kontra Pancasila. Fragmentasi satu hal, tetapi konfrontasi biner hal lain. Dalam situasi tersebut, garis demarkasi diri dan liyan semakin tegas. Oposisi ”kami” versus ”mereka” semakin membelah.
Kedua, banalisasi ujaran kebencian dan kebiadaban. Dinamika Pilpres 2019 secara benderang merusak keadaban kita, yang semakin mudah memaki, mencela, dan merendahkan. Dalam laporan terbaru kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang dirilis Setara Institute, Maret lalu, terjadi dua kali lipat peningkatan ujaran kebencian berbau KBB di tahun politik. Pada 2017, hanya terjadi empat tindakan ujaran kebencian, sedangkan pada 2018 terjadi delapan tindakan.
Dalam situasi itu, banalitas kebiadaban kian menegas. Bahkan, yang mengklaim kaum cerdik cendekia—yang mestinya arif bijaksana—dengan mudah melabeli pendukung kontestan ”sebelah” sebagai ”dungu”, ”tidak waras”, ”buta”, ”bebal” dan serupanya. Kontestasi politik pilpres membuat kita kehilangan role model dan figur panutan bagi kekitaan. Hampir seluruh etalase ketokohan kita tampak buruk. Jokowi serba jelek di hadapan pendukung Prabowo. Sebaliknya Prabowo buruk di mata pendukung Jokowi.
Pun halnya dengan elemen sosial pendukung keduanya—kiai, ulama, ustaz, akademisi, dan profesi ”pendulang suara” lain. Dengan justifikasi keagamaan, pilpres membuat pendukung kompetitor berkualifikasi buruk secara keagamaan; munafik, kafir, sesat, murtad, penista ulama, penista agama, dan lain-lain.
Kerentanan sosial
Dalam konteks itu, Pilpres 2019 juga menyisakan residu yang ketiga, yaitu kerentanan sosial (social vulnerability). Ketahanan komunal dan sosial yang dengan susah payah kita bangun, dengan mudahnya koyak sebab pilpres. Dalam indeks kemajuan sosial (social progress index) 2018, dari 10 dimensi yang diukur, inclusiveness kita mendapat skor rendah, yaitu 38,77 dalam skala 10-100—hanya lebih baik dari dimensi access to advanced education yang mendulang skor 30,25. Politisasi identitas dan kontestasi ideologi dalam pilpres akan melahirkan kerentanan, menggerus resiliensi (ketahanan) sosial, dan memperkuat inklusivitas berdasarkan identitas keagamaan kelompok.
Jadi, bagi presiden hasil Pilpres 2019, agenda paling mendesak bagi republik ini bukan semata-mata soal komposisi kabinet, distribusi kekuasaan bagi suporter politik, dan perumusan fokus pembangunan. Yang penting untuk kita ingatkan adalah soal bagaimana presiden terpilih mempersempit ruang negosiasi dan transaksi politik dengan kelompok-kelompok yang kontra Pancasila serta anti-NKRI dan kebinekaan—termasuk anti-kesetaraan dan inklusi bagi minoritas, terutama yang selama ini dihimpun dalam gerbong politiknya.
Halili Pengajar Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial UNY; Direktur Riset Setara Institute