Rabu, 8 Mei ini, tepat setahun AS mundur dari kesepakatan nuklir Iran. Selama setahun ini, dan akan terus berjalan, ketegangan antara AS dan Iran terus meningkat.
Kekhawatiran bahwa ketegangan itu akan bereskalasi menjadi konflik mencuat setelah Minggu (5/5/2019), AS mengerahkan gugus serbu kapal induk USS Abraham Lincoln dan gugus tugas pengebom ke Timur Tengah. Hal ini, menurut Pentagon, untuk merespons apa yang mereka sebut ”ancaman nyata oleh pasukan rezim Iran”. Dalam term Washington, istilah itu juga mencakup kekuatan proksi Iran yang saat ini makin kokoh di beberapa negara di Timur Tengah.
Sejak dipimpin Presiden Donald Trump, dari awal AS sudah memperlihatkan permusuhan sengitnya terhadap Iran. Tahun lalu, Trump menarik mundur AS dari kesepakatan nuklir Iran, lalu kembali menjatuhkan sanksi ke negara itu. Bulan lalu, dispensasi bagi delapan negara pengimpor minyak Iran pun dicabut, membuat Iran secara resmi tak bisa menjual minyak. Padahal, 64 persen devisa Iran berasal dari ekspor minyak.
Informasi pengerahan kapal induk ke Timur Tengah itu pertama kali dilansir Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton. Ia menyebut tujuan pengerahan armada laut dan pesawat pengebom itu adalah kawasan di bawah Komando Sentral AS, yakni kawasan Timur Tengah, bisa ke Laut Merah atau mungkin berlanjut ke Laut Arab atau Teluk Persia.
Gugus serbu USS Abraham Lincoln kerap dikerahkan ke Timur Tengah, termasuk saat AS menginvasi Irak pada 2003. Bertahun-tahun AS mempertahankan kehadiran kapal induknya di kawasan Teluk Persia dan Timur Tengah. Saat berkecamuk perang di Irak dan Afghanistan, AS mengerahkan dua kapal induk.
Tahun lalu, pemerintahan Donald Trump mengakhiri kehadiran kapal induk di Timur Tengah dan hanya mengerahkan sewaktu-waktu. Saat ini, Angkatan Laut AS bahkan tidak menempatkan kapal induknya di Teluk Persia. Karena itu, ketika kapal induk tersebut kembali dikerahkan di kawasan panas itu, yang butuh waktu beberapa hari lagi untuk mencapai Timur Tengah, suasana kawasan bakal memanas.
Sejumlah hal menjadi pertanyaan terkait keputusan Pentagon mengerahkan kapal induk dan armada pengebomnya, yang dikaitkan dengan ancaman Iran. Misalnya, bagaimana metode pengumpulan data intelijen itu dilakukan, seberapa relevan data intelijen itu, dan bagaimana pula apa yang disebut ”ancaman Iran” itu berbeda dari aktivitas militer Iran lain.
Orang belum lupa dengan kasus invasi AS ke Irak pada 2003. Saat itu, Presiden George W Bush dan para pejabat Gedung Putih mendasarkan alasan invasi itu atas data intelijen bahwa Presiden Irak Saddam Hussein mempunyai hubungan dengan Al Qaeda dan mengembangkan nuklir serta senjata kimia dan biologi. Belakangan, dua klaim itu terbukti salah.
Akankah situasi ini bakal berujung perang AS dan Iran? Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif tak percaya akan hal itu. Sengitnya permusuhan AS terhadap Iran saat ini lebih karena provokasi oleh pihak yang kerap disebut ”Tim B”, termasuk Bolton dan PM Israel Benjamin Netanyahu.