Ancaman Terbaru Trump Tak Berarti Apa-apa
Ancaman pengenaan tarif terbaru dari Amerika Serikat tidak akan menggetarkan China. Bahkan, China terkesan santai saja. Di permukaan China terlihat terus membujuk AS agar rujuk soal perang dagang.
Akan tetapi, kenyataannya China tidak akan mau mendengar apa pun tuntutan AS. Kekuatan pasar domestik China dan ambisi menjadi negara maju tidak akan membuat gamang pada setiap tekanan.
Sebaliknya, adalah AS yang sering bingung, bagaimana menekan China soal perekonomian sehingga sering mutung? Pada Minggu (5/5/2019), Presiden AS Donald Trump kembali mutung. Dia mengancam akan mengenakan kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen atas 200 miliar dollar AS impor China. AS juga sudah mengenakan 25 persen tarif atas 50 miliar dollar AS impor China.
Ekspor barang dan jasa China ke AS sebesar 557,9 miliar dollar AS pada 2018, sedangkan impor China dari AS sebesar 179,3 miliar dollar AS. Defisit sebesar 378,6 miliar dollar AS terjadi untuk pihak AS.
Trump mengenakan tarif tambahan pada impor dari China pada 2018 dengan alasan surplus dagang telah membuat China merampok hak AS. Tuduhan lain, China telah mencuri teknologi AS.
Baca juga: Mengembalikan Jiwa Amerika
Bukan hanya itu, AS lewat Kanada telah menangkap Direktur Keuangan Huawei Meng Wanzhou saat transit di Kanada dengan alasan adanya pelanggaran terhadap sanksi atas Iran. AS juga telah mengajak sekutu seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara di Eropa untuk memboikot penggunaan teknologi Huawei dengan alasan teknologi itu akan dipakai untuk menyadap.
Di bawah Trump, begitu banyak tekanan yang diarahkan kepada China dan menuduh pemerintahan AS sebelumnya terlalu lembek terhadap ”Negeri Tirai Bambu”. AS menyatakan dukungan kuat kepada Taiwan dan mengirimkan kapal perang mendekati fasilitas militer China di Laut China Selatan.
AS juga terus menuduh China melakukan pelanggaran soal hak asasi manusia. Ini dibalas China dengan mengatakan agar AS berkaca pada catatan hak asasi manusia di kelompok minoritas.
Ambiguitas hak cipta
China tidak akan tunduk pada tekanan AS. China yang sekarang sudah jauh berbeda sejak reformasi 1978. Ancaman terbaru Trump dikenakan karena China dianggap tidak serius melindungi hak cipta. ”China telah mengingkari janjinya soal perlindungan hak cipta. Ini tidak bisa diterima,” kata Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer.
Baca juga: China Akan Menetralkan Tekanan AS
Lighthizer sangat lugu. Bagaimana dia bisa menekan China soal perubahan hukum tentang perlindungan hak cipta, yang bagi China sama sekali tidak merugikan siapa pun. Bagi AS, China adalah pencuri teknologi. Bagi beberapa pihak, perlindungan hak cipta adalah sebuah isu yang kompleks.
”Ini isu yang kompleks,” kata Nicholas Lardy, peneliti dari Peterson Institute for International Economics, sebuah lembaga di AS. ”Proteksi atas hak kekayaan intelektual mendorong inovasi, tetapi harus berimbang dan sebaiknya tidak melanggengkan monopoli,” tambah Lardy.
Apabila inovasi di satu negara terhambat karena inovasi tersebut merupakan modifikasi dari temuan di negara lain, dalam hal ini AS, kekuatan dan kepemilikan teknologi adalah abadi dan monopolis. Ini bertentangan dengan niat China dengan program ”Made in China 2025”.
Kasatmata, produk-produk China yang semakin berkualitas merupakan jiplakan dari temuan negara lain. Hanya saja, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak melarang sama sekali proses transfer teknologi.
Tidak akan tunduk
Tekanan AS kepada China bukanlah sebuah preseden baru. Secara empiris, China akan tunduk jika tekanan eksternal bertujuan memberikan perbaikan kepada negaranya. Akan tetapi, tidak demikian jika tekanan itu menyebabkan kemunduran.
”Jika tekanan eksternal bertujuan melemahkan, AS tak mungkin mendapatkan keinginannya dari China,” demikian Yeling Tan, seorang profesor politik di University of Oregon, AS, dalam tulisannya berjudul Will U.S. trade pressure actually change China’s industrial policy? seperti dimuat di harian The Washington Post.
Tekanan Lighthizer mirip dengan membatalkan program Made in China 2025. ”Pemerintahan China secara agresif berupaya melemahkan kepemimpinan AS dalam teknologi tinggi lewat praktik tidak fair dan kebijakan industri,” kata Lighthizer pada 15 Juni 2018.
Baca juga: Jangan Menua Sebelum Kaya
Atas dasar inilah, Lighthizer mencoba menekan China untuk mengubah program Made in China 2025. Anasir perlindungan hak cipta asing harus menjadi prioritas China, demikian lebih kurang tuntutan Lighthizer. Dari perspektif sejarah, abad ke-18 dan ke-19 diwarnai dengan isu pencurian kekayaan intelektual oleh AS dari Inggris.
Pasar besar
Bukan hanya debat soal perlindungan hak cipta yang membuat posisi China kuat. Cara AS bernegosiasi pun jauh dari sopan. Freya Beamish dari Pantheon Macroeconomics mengingatkan taktik berunding Trump yang agresif bisa menjadi bumerang. ”Jauh lebih sulit bagi para pemimpin China menurut, apalagi jika senjata diarahkan ke kepala mereka,” kata Beamish kepada Reuters, 6 Mei.
Tekanan apa pun, tidak saja tarif, tak akan membuat China menyerah. Dan lagi, magnitudo perekonomian China sekarang sudah jauh di atas AS. China kini merupakan lokasi bagi 25 persen kegiatan sektor manufaktur global, diikuti AS dengan porsi 16 persen.
Perekonomian China tidak lagi bergantung pada surplus ekspor, tetapi pada kekuatan pasar domestik. Bahkan, untuk pasar bagi produk mahal dan merek terkenal, China mendominasi dunia. China adalah pemilik pangsa pasar 30 persen dari total penjualan produk mewah di seluruh dunia. Merek mahal ini termasuk Gucci dan lainnya. AS ada di urutan kedua, yakni 22 persen.
China kini mengandalkan pasar domestik ketimbang ekspor. Pada 2008, surplus ekspor China menyumbang 8 persen terhadap produksi domestik bruto (PDB). Pada 2018, sumbangsih itu tinggal 1,3 persen, lebih kecil daripada Jerman dan Korea Selatan.
Pertumbuhan konsumsi domestik China sebesar 8 persen per tahun sepanjang 2008-2018, sementara di AS hanya 2,2 persen. Konsumsi domestik menyumbang 60 persen terhadap PDB. Maka dari itu, China tidak khawatir bahkan rileks saja soal perang dagang.
”Bahkan, China tetap bersedia berbicara dengan AS. Dalam kasus Trump tetap jalan dengan ancamannya soal tarif, pembicaraan akan gagal. Kita harus siap dengan itu,” kata Lu Xiang dari Chinese Academy of Social Sciences di Beijing.
Pemerintahan China tidak suka bombastis seperti Trump. Hanya saja, corong pemerintah, harian berbahasa Inggris The Global Times, edisi Selasa (7/5/2019), menuliskan, ”China siap dengan segala potensi, termasuk negosiasi yang terhenti sementara. Pembicaraan tak akan berhenti walau tarif dinaikkan”.
Sebuah studi menunjukkan tarif justru menimpa konsumen AS itu sendiri. Hal ini dinyatakan para ekonom AS, yakni Mary Amiti dari Bank Sentral New York, Stephen Redding dari Princeton University, dan David Weinstein dari Columbia University. Jadi tidak benar pernyataan Trump bahwa tarif telah menyebabkan peralihan kemakmuran dari China ke AS. (AP/AFP/REUTERS)