Intervensi Tarif Penerbangan
Keluhan seperti ini terdengar nyaris di semua destinasi wisata, mulai dari Padang di Sumatera Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, hingga Raja Ampat di Papua Barat.
Tingginya harga avtur menjadi salah satu faktor utama yang memicu melejitnya harga tiket pesawat. Namun, Pertamina berkilah bahwa naiknya harga avtur adalah akibat kenaikan kurs dollar AS, biaya transportasi, biaya investasi infrastruktur distribusi, dan biaya-biaya lain di bandara. Di pihak lain, maskapai berkilah tiket pesawat mahal untuk menjaga keberlangsungan usaha karena biaya bahan bakar dan leasing membengkak akibat naiknya kurs dollar AS.
Dus, polemik harga tiket pesawat pada saat ini sama sekali bukan masalah sederhana dan melibatkan tarik-menarik atau kait-mengait antar-kepentingan. Maka, solusi harus bersifat lintas sektoral. Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika akhirnya Menteri Perhubungan menyerahkan polemik harga tiket tersebut kepada Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian.
Opsi intervensi
Dengan turun tangannya Kemenko Perekonomian, maka opsi intervensi atas harga tiket pesawat kini terbentang lebih luas, termasuk dengan menyinergikan kementerian/lembaga dan sektor yang terkait.
Berbagai opsi intervensi ini dapat meliputi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, peningkatan efisiensi pengelolaan avtur, penggunaan instrumen subsidi dan pajak, hingga penyesuaian tarif batas atas atau bawah (TBA/TBB) serta reformulasi harga avtur. Stabilisasi nilai tukar rupiah amat penting dan fundamental, tidak hanya bagi industri penerbangan dan pariwisata, tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Bagi industri penerbangan, terus terdepresiasinya nilai tukar rupiah memicu mahalnya biaya BBM dan biaya
leasing.
Stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dapat dilakukan, antara lain, dengan mengendalikan impor barang dan jasa, meningkatkan ekspor, serta menarik lebih banyak investasi dari luar negeri untuk memperbaiki posisi neraca berjalan dan neraca pembayaran. Pemerintah perlu lebih selektif dalam membelanjakan devisa dan mengendalikan utang luar negeri.
Opsi berikutnya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan avtur sejak dari hulu (produksi pada kilang atau jalur impor) hingga hilir, yakni distribusi melalui terminal BBM dan depot pengisian pesawat udara (DPPU) di semua bandara yang dilayani. Saat ini sekitar sepertiga kebutuhan avtur nasional masih impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor avtur pada 2018 mencapai 1,22 ton (1,525 miliar liter) dengan nilai 861,1 juta dollar AS, sedangkan pada 2017 impor avtur 1,54 juta ton (1,925 miliar liter) senilai 825,3 juta dollar AS.
Jika direrata, harga perolehan impor tahun 2018 adalah 56,47 sen dollar AS per liter, sedangkan tahun 2017 hanya 42,87 sen dollar AS per liter.
Potensi bahan baku sejatinya cukup berlimpah, yakni kerosin (minyak tanah) untuk diolah menjadi bahan bakar turbin (jet) konvensional (avtur) atau minyak sawit mentah untuk diolah menjadi green avtur. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia tidak perlu mengimpor avtur, justru harus mampu ekspor. Dengan demikian, percepatan pembangunan kilang pemurnian avtur atau bioavtur, baik yang bersifat pengembangan maupun pembangunan kilang baru adalah mutlak.
Regionalisasi basis produksi dan distribusi avtur diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, misalnya kilang Cilacap sebagai kilang induk dan kilang Balongan serta (nantinya) Tuban untuk wilayah Jawa dan Nusa Tenggara, kilang Dumai untuk wilayah Sumatera bagian utara, dan kilang Plaju/Sungai Gerong untuk Sumatera bagian selatan, kilang Balikpapan dan (nantinya) Bontang untuk wilayah Kalimantan dan sekitarnya, serta kilang Sorong untuk wilayah Papua. Titik-titik strategis lain, seperti di sekitar Makassar dan Maluku, juga perlu percepatan pembangunan kilang baru, termasuk dengan kilang mini. Dengan regionalisasi ini, biaya produksi dan distribusi avtur serta BBM lainnya bisa ditekan.
Koordinasi antar-kementerian/lembaga terkait dibutuhkan untuk merumuskan dan merealisasikan langkah peningkatan efisiensi dan percepatan peningkatan kapasitas produksi avtur paling tidak sesuai dengan tingkat konsumsi nasional (sekitar 4 juta kiloliter lebih per tahun). Pemerintah perlu membantu mencarikan solusi aspek pembiayaan sehingga pembangunan dan pengembangan kilang dapat berjalan serentak di setiap wilayah.
Dengan efisiensi pengelolaan avtur, maka harga avtur di seluruh Indonesia, bukan mustahil, dapat diset jauh lebih rendah daripada harga di Singapura. Avtur merupakan komoditas bernilai strategis karena berpengaruh besar terhadap industri penerbangan dan pariwisata nasional. Dengan harga avtur yang lebih rendah dan berkualitas, sejumlah penerbangan internasional akan tertarik untuk transit dan mengisi BBM di Jakarta.
Subsidi dan pajak
Instrumen intervensi lainnya yang dapat dimainkan adalah subsidi
dan pajak. Sebagaimana diketahui, penjualan avtur untuk penerbangan
domestik dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak
Penghasilan (PPh) 0,3 persen, di samping pungutan-pungutan lain. Hal ini menjadikan harga avtur kurang kompetitif karena di Bandara Changi di Singapura avtur tidak dikenai PPN atau PPh.
Untuk membantu mengatasi ”situasi darurat” harga tiket pesawat yang telah berlangsung 10 bulan terakhir, pemerintah via Kementerian Keuangan bisa saja memberlakukan pembebasan sementara PPN dan PPh avtur hingga situasi normal kembali.
Opsi-opsi lainnya, yakni menurunkan TBA (jika terpaksa) serta menurunkan harga tiket Garuda sebagai BUMN dan market leader, tentu harus memperhatikan perkembangan harga avtur dan kurs dollar AS. Di antara berbagai opsi di atas, jika kurs dollar AS sulit beranjak turun dari kisaran Rp 14.000 ke atas, tampaknya pembebasan sementara PPN dan PPh avtur (misal tiga bulan) menjadi pilihan logis dalam jangka segera.
Reformulasi harga avtur dengan mempertimbangkan porsi impor avtur yang hanya sepertiga kebutuhan nasional menjadi alternatif lain.
Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB UGM