Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Begitulah bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan kedudukan pers di negeri ini. UU Pers adalah perwujudan Pasal 28F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan, setiap orang berhak berkomunikasi dan mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan memakai segala jenis saluran.
Selama masa Pemilu 2019 terjadi tarik-menarik yang sangat kuat terhadap pers. Tidak hanya media arus utama, tetapi juga media sosial, sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan politik sesaat itu. Akibatnya, terjadi pula polarisasi di kalangan media. Media di negeri ini belum bisa sepenuhnya membantu masyarakat dalam mewujudkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Kegaduhan selama pesta demokrasi tergambar jelas pula di media. Media benar-benar menjadi ”cermin” masyarakat yang terbelah. Kondisi itu diperburuk dengan narasi sejumlah elite politik, termasuk pejabat negara, yang menyudutkan media, bahkan mengancam media, tanpa membedakan antara media arus utama dan media sosial. Hal ini memperlihatkan, masyarakat dan elite masih sering kali kesulitan membedakan antara media arus utama dan media sosial.
Tahun 2011, konferensi advokat sedunia, International Bar Association (IBA) Conference di Dubai, menyepakati, media sosial bukanlah media massa (Kompas, 2/11/2011). Media sosial bukanlah pers, seperti yang diatur dalam UU Pers. Pers, sesuai UU No 40/1999, adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik serta menyampaikan informasi itu kepada publik melalui tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik ataupun bentuk lain dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Menurut UU Pers, media massa wajib mengabarkan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, dan asas praduga tak bersalah. Media massa melakukan verifikasi, validasi, ataupun konfirmasi atas informasi yang diperolehnya.
Pernyataan dari elite politik, termasuk penyelenggara negara, terhadap pers selalu menarik perhatian rakyat Indonesia dan warga dunia. Kemerdekaan pers adalah salah satu ukuran demokratisasi di sebuah negeri. Indeks kemerdekaan pers di Indonesia tahun 2018, menurut Reporters Without Borders, berada di peringkat ke-124 dari 180 negara. Tak terlalu menggembirakan.
Pers pun berfungsi sebagai kontrol sosial, pendidikan, dan hiburan serta harus mengutamakan kepentingan bangsa. Tak ada untungnya bagi siapa pun mengekang kemerdekaan pers. Namun, di sisi lain, pers juga harus mawas diri, apakah benar-benar sudah menjadi wujud dari kedaulatan rakyat.