Panitia Konferensi Nasional Reforma Agraria 2014 menitipkan agenda kepada Tim Transisi Jokowi- JK bahwa kalangan gerakan sosial ingin memastikan ”reforma agraria betul-betul dijadikan agenda prioritas” yang dijalankan kementerian dan lembaga pemerintah dari pusat hingga daerah dengan melibatkan partisipasi aktif rakyat. Secara khusus, sembilan hal dianjurkan agar reforma agraria dilaksanakan lewat beberapa langkah.
Keempat, menerbitkan Perpres Komisi Nasional Reforma Agraria atau Badan Otorita Reforma Agraria (KNRA/BORA) yang bertugas melaksanakan reforma agraria. Kelima, kelembagaan pertanahan diperkuat dengan menjadikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria.
Keenam, agar penyelesaian konflik agraria terfokus dan sistematis diterbitkan Perpres Komnas Penyelesaian Konflik Agraria. Ketujuh, dibentuk Pengadilan Agraria di Mahkamah Agung sebagai bagian dari peradilan umum yang bertugas menyelesaikan konflik agraria.
Kedelapan, segera merealisasikan komitmennya untuk meredistribusikan 9 juta hektar kepada rakyat yang membutuhkan. Kesembilan, memfasilitasi pembentukan badan usaha milik petani/koperasi yang dikelola petani agar tanahnya produktif.
Bagaimana menilai capaian reforma agraria yang 4,5 tahun dijalankan pemerintah, dengan menjadikan sembilan agenda di atas sebagai alat ukurnya?
Capaian strategis
Terdapat capaian strategis dan kelemahan mendasar. Sejauh ini, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960 dirujuk regulasi menyangkut pertanahan. Misalnya, Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria merujuk arah kebijakan yang dikandung TAP MPR dan UUPA. Perpres No 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan dan Inpres No 8/2018 tentang moratorium sawit semangatnya merujuk keduanya.
Yang masih kurang, pengkajian ulang peraturan perundang-undangan terkait tanah dan kekayaan alam. Ini pekerjaan rumah bagi badan legislasi yang akan dibentuk pemerintah agar regulasi tanah dan kekayaan alam kondusif bagi perwujudan keadilan agraria. Sementara itu, RUU PRA tak jadi pilihan pemerintahan Jokowi. Yang ditempuh adalah bersama DPR melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan yang di dalamnya memuat reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria.
Capaian pentingnya, Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria yang mengatur operasional reforma agraria. Jokowi juga memilih tak membentuk lembaga baru. Yang ditempuh, konsolidasi dan mengoordinasikan kelembagaan pelaksana dalam Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) seperti diatur Perpres No 86/2018. Meski nama dan dasar hukum berbeda, tugas dan fungsi GTRA mirip KNRA/BORA.
Usulan mentransformasi BPN menjadi Kementerian Agraria diadopsi Jokowi, bahkan menyambungkannya dengan tata ruang, sehingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN dibentuk. Tugas Kementerian ATR/BPN strategis karena memimpin operasional reforma agraria di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Kabinet Kerja juga dilengkapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai kementerian baru atau penggabungan yang saling terkait dalam Tim Reforma Agraria.
Konflik dan redistribusi
Diakui, konflik agraria masih terus terjadi. Maraknya konflik agraria tak sepadan dengan kemampuan kelembagaan pemerintah menyelesaikannya. Sementara Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria tidak jadi pilihan, Jokowi menempatkan tugas kementerian/lembaga yang ada agar diefektifkan untuk menangani konflik, misalnya Kementerian ATR/BPN dan Kementerian LHK. Kantor Staf Presiden juga membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria yang menampung, menganalisis, dan meneruskan pengaduan kasus konflik agraria kepada kementerian/lembaga yang bertugas menyelesaikannya.
Perihal usulan pembentukan Peradilan Agraria telah dimasukkan sebagai substansi yang diatur RUU Pertanahan. Hal ini butuh konsensus bersama wakil rakyat di parlemen. Singkatnya, penyelesaian konflik agraria masih menjadi agenda penting untuk mendapat perhatian besar dari pemerintahan baru hasil pemilu.
Adapun redistribusi 9 juta hektar tanah menjadi batu uji pokok dalam menilai capaian reforma agraria. Harus diakui, realisasi janji ini terbilang rendah, yakni 545.425 bidang seluas 412.351 ha. Ini kelemahan mendasar yang patut menjadi catatan bagi Menteri ATR/Kepala BPN untuk mengimbangi prestasi legalisasi yang mencapai lebih dari 12 juta bidang (2015-2019). Kenapa redistribusi tanah penting dikedepankan? Sebab ia kunci pengikis ketimpangan sebagai problem pokok agraria Indonesia. Ketimpangan adalah musuh utama arah kebijakan ekonomi berkeadilan berbasis pemerataan yang dicanangkan Jokowi.
Akselerasi
Sebagai bonus, reforma agraria juga dijalankan dengan memberikan akses pemanfaatan hutan kepada rakyat melalui lima skema perhutanan sosial. Per September 2018, ada 4.880 izin/ hak telah terbit untuk 476.113 kepala keluarga (KK), luas total 2.007.557 ha, termasuk di dalamnya pengakuan 27.950 ha hutan adat milik masyarakat adat.
Yang bolong, pembangkitan ekonomi di lapangan agraria. Pembentukan kelembagaan ekonomi rakyat untuk menyambut redistribusi dan sertifikasi tanah masih terbatas. Sinergi dengan Kementerian Pertanian serta Kementerian Koperasi dan UMKM perlu dibangun.
Secara strategis, capaian reforma agraria tidak boleh berhenti pada membanyaknya jumlah sertifikat yang dibagikan, atau pada luas tanah yang diredistribusikan, tetapi pada bangkitnya ekonomi rakyat atas penguasaan dan pengusahaan tanah di perdesaan. Ketika capaian reforma agraria mulai kelihatan, akselerasinya menjadi tantangan bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2019, terutama bagi presiden terpilih.
Usep Setiawan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden