Mereduksi ”Pauperis” JKN
Sejak dirilis pada 2014, kondisi Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan masih kembang kempis. Tahun lalu, lembaga pengelola Jaminan Kesehatan Nasional tersebut masih menyisakan lubang fiskal Rp 10,98 triliun.
Pemerintah turun tangan menyiapkan dua solusi, yaitu menaikkan iuran penerima bantuan iuran (PBI) dan menambah angka kepesertaan PBI menjadi 100 juta jiwa. Jelas terlihat pemerintah gelagapan menghadapi krisis BPJS Kesehatan sehingga memunculkan solusi cepat tetapi rapuh dari sisi keberlanjutan.
Di sisi lain, hal serupa terjadi pada kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU). Sejak 2014, rasio klaim manfaat PBPU mencapai 1300 persen dengan hanya 54 persen yang rutin membayar iuran (Laksono, 2018).
Dalam Memoir On Pauperism (1835), filsuf Alexander de Tocqueville melabeli dua kelompok tersebut sebagai pauperis. Ia mendefinisikannya sebagai individu-individu yang menerima manfaat lebih banyak ketimbang yang ia berikan. Pada konteks JKN, pauperis mendapatkan manfaat dari celah sistem ”pooling of risks” yang mengambil dana orang sehat guna membiayai si sakit.
Kasus perokok, misalnya, negara terus saja membiayai perawatan mereka tanpa intervensi kesehatan masyarakat (promotif dan preventif) sejak awal.
Hal yang sama berlaku pada PBPU yang baru membayar tunggakan iuran mereka saat jatuh sakit dan butuh perawatan. BPJS Watch mencatat, jumlah tunggakan mereka mencapai Rp 3,4 triliun pada tahun 2018 (CNBC, 9/8/2018).
Disparitas yang ditimbulkan sistem tersebut bisa mencederai rasa keadilan kelompok lain yang setia membayar iuran JKN secara teratur. Sebelum menaikkan iuran PBI, pemerintah sebaiknya terlebih dulu menutup celah pauperisme tersebut.
Menutup celah
Guna menekan jumlah pauperis perokok, penulis mengusulkan penerapan skema cost sharing (tanggung renteng biaya/TRB) yang terbukti sukses di China dan Perancis.
China mewajibkan pasien membayar TRB berkisar 20-80 persen masing-masing untuk rawat jalan dan rawat inap (Young Choi et al, 2015). Sementara pasien di Perancis membayar TRB 30 persen untuk kasus rawat inap dan 20 persen untuk rawat jalan (Kaiser Report, 2009). Berdasarkan sebuah riset di Perancis, TRB berhasil mengedukasi pasien akan nilai kesehatan dan pentingnya tanggung jawab individu dalam menjaga kesehatannya (Zalesky, 2008).
Walau Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah menyinggung adverse selection (skrining kelayakan), tetapi masih bersifat parsial dan kasuistik. Padahal, ia berguna menutup celah bagi pauperis PBPU dengan cara meminimalisasi pemberian pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan kelas risiko calon peserta.
Penerapannya berbentuk pemberlakuan nominal premi yang berbeda-beda sesuai keekonomian riwayat penyakit yang diderita oleh pasien (Louberg, 2013).
Pemberlakuan prinsip equity ketimbang equality agar tak terulang kasus seseorang yang baru tiga bulan menjadi peserta kelas III BPJS Kesehatan mendapat layanan operasi dengan nilai total Rp 17 juta.
Alternatif pembiayaan
Jika tak mencari sumbersumber lain, program jaminan sosial yang mengandalkan model pembiayaan berbasis iuran akan kolaps. Di Amerika Serikat, program Medicare (serupa JKN tetapi diperuntukkan bagi warga lanjut usia) diramal akan runtuh pada 2026 (Chicago Tribune, 5/6/2018). Oleh karena itu, pemerintah harus mencari metode pembiayaan selain dari cukai rokok.
Salah satunya adalah perluasan cakupan pemanfaatan cukai pada produk-produk lain yang juga mengakibatkan penyakit katastrofik. Telah banyak literatur medis yang mengungkap korelasi antara konsumsi gula dengan penyakit jantung dan diabetes mellitus.
Kisah sukses terkait penerapan pajak gula (sugar tax) telah mencuat di banyak negara. Meksiko, misalnya, berhasil menurunkan konsumsi minuman ringan sarat gula sebesar 9,7 persen hanya dalam dua tahun. Dampak akhirnya, prevalensi diabetes berkurang 30 persen di negeri berpenduduk 122 juta tersebut (The Guardian, 22/2/2017).
Skema subsidi
Opsi terakhir adalah skema subsidi BPJS Ketenagakerjaan terhadap BPJS Kesehatan. Hal ini telah dilaksanakan parsial sejak dua tahun terakhir, BPJS Ketenagakerjaan menanggung penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Namun, BPJS Ketenagakerjaan tak dapat membantu defisit BPJS Kesehatan secara maksimal karena terhambat aturan yang ada (Pasal 49 UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004).
Selaku kepala pemerintahan, Presiden Joko Widodo berwenang meneken peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang memerintahkan BPJS Ketenagakerjaan membantu kondisi finansial BPJS Kesehatan.
Meminjam analogi esai Tragedy of Commons yang ditulis Garrett Hardin (1968), tindakan pemerintah menaikkan iuran PBI laiknya menambah rumput tanpa menghiraukan perbandingan jumlah ternak dengan sumber daya terbatas dan tak terbarukan (nonrenewable resources). Padahal, kita seharusnya berupaya menekan jumlah ternak sembari mencari lapangan-lapangan rumput baru agar JKN dapat terus menjaga kesehatan segenap warga negara tercinta.
Muhammad Hatta Anggota Perhimpunan Alumni AS Alpha-I, Dokter BNN