Puasa Ramadhan merupakan salah satu ritus keagamaan yang diwajibkan bagi umat Islam. Kewajiban ini ditegaskan dalam sebuah teks Al Quran. Namun, dalam praktiknya, ibadah puasa mengalami eksplorasi dan apropriasi penghayatan yang beragam. Antara satu tempat dan tempat lain memiliki cara dan pendekatan berbeda-beda dalam mengekspresikan hal ihwal ibadah puasa yang dijalankan. Baik pada tataran penyambutan ibadah puasa maupun pelaksanaannya.
Secara antropologis, puasa Ramadhan menjalin tiga dimensi yang saling berkaitan. Pertama, faith (kepercayaan spiritual). Ruang ini ditandai oleh kegiatan peribadatan yang dilakukan dalam bentuk ibadah mahdlah, seperti Tarawih, tadarus, iktikaf, pembagian zakat, dan aneka rupa peribadatan lain ataupun ibadah non-mahdlah, seperti yang tampak dalam berbagai kegiatan penyambutan ibadah puasa, misalnya nyadran dan semacamnya.
Dalam mengekspresikan dan melakoni ibadah mahdlah, setiap orang ataupun kelompok tak sama dalam menentukan cara shalat Tarawih yang menjadi bagian monumental dalam ritus puasa Ramadhan. Ada yang menjalankan 23 rakaat dan 11 rakaat. Bahkan, dalam lipatan shalat Tarawih-nya, ada yang menentukan beberapa aturan main bagaimana mengukur kekhusyukan dan ketenangan dalam beribadah.
Di samping itu, dalam konteks ibadah puasa non-mahdlah ada juga komunitas yang mencoba mengapropriasi berbagai kewajiban ibadah dengan ritual lain yang bersentuhan dengan aneka macam tradisi yang berjalin kelindan dengan napas keagamaan lainnya. Hal ini dilakukan berbagai komunitas Muslim di daerah, seperti munggahan di Sunda, megibung di Bali, padusan di Jawa, malamang di Minangkabau, meugang di Aceh, suro’baca di Makassar. Semua itu dilakukan baik menjelang puasa maupun saat puasa Ramadhan sebagai bentuk pengayaan ekspresi yang dipraktikkan oleh sebagian umat Islam.
Berbagai cara dan pendekatan yang dilakukan umat Islam dalam mengekspresikan kepercayaan spiritualnya (faith) tak lepas dari apa yang dipelajari dan dipahami tentang tata cara menyambut dan melaksanakan ibadah puasa. Secara sosiologis, keberagaman ini menjadi penanda ada perjalinan yang saling bersimetri antara interpretive resources and practices—meminjam istilah R Bowen dalam buku New Antrophology of Islam—yang dikaji dan kebiasaan (’adah) yang dialami dalam pergaulan ataupun interaksi sosial keberagamannya.
Spiritualisasi makanan
Kedua, food. Ruang ini ditandai oleh semarak penjajaan makanan untuk kegiatan takjilan. Sajian makanan yang digelar dalam takjil punya lokus dan fokus berbeda-beda. Antara venue dan menu beririsan dengan kelas sosial ataupun identitas yang melekat pada posisi dan profesi seseorang. Sekelompok orang yang mapan dan berada tak segan menyatukan rasa dengan rekan sejawat dan kerabatnya di tempat yang mewah.
Hasrat semacam ini akan menjadi pintu masuk bagi hotel, restoran, kafe, dan tempat kelas atas lain untuk berlomba-lomba menyajikan layanan takjil yang nyaman. Namun, mereka yang ekonominya pas-pasan tentu memilih jalan kebahagiaan bertakjil yang berbeda dengan venue dan menu apa adanya. Biasanya masjid menjadi tempat yang paling diminati karena setiap orang bisa menikmati takjil dengan gratis.
Meskipun di satu sisi venue dan menu menjadi sarana bertakjil yang membedakan antar-setiap kelompok begitu masif menggejala dalam masyarakat—terutama kalangan urban—pada bulan Ramadhan, bukan berarti tak ada celah lain bagi sekelompok orang yang mapan, baik sosial maupun ekonomi, untuk melakukan cross cutting empathic—meminjam istilah Peter M Blau—bersama kelompok sosial lainnya.
Banyak pula dermawan tajir yang berlomba-lomba mengundang kaum papa dan anak yatim untuk turut merasakan takjil di tempat-tempat elite. Dengan cara ini, mereka ingin berbagi kesenangan dan kebahagiaan sekaligus ”ngalap berkah puasa” dalam suasana yang egaliter. Tindakan luhur semacam ini tentu menjadi fenomena lumrah yang hampir dilakukan kaum berada karena dilandasi kesadaran empatik. Cara ini sekaligus menjadi peneguhan identitas kemusliman seseorang yang terpanggil untuk memanfaatkan puasa Ramadhan sebagai bulan berbagi.
Dalam konteks ini, makanan (food) tak lagi jadi pembatas identitas yang membedakan kelas sosial. Makanan yang disajikan dalam takjil bersama menjadi ruang spiritualisasi yang dibangun atas dasar semangat kosmopolitan. Suasana keterlibatan yang inklusif ini menjadi sebuah modalitas sosial yang kian meneguhkan bahwa betapapun manusia terjebak egoisme dirinya, sesungguhnya momen tertentu, seperti Ramadhan, dapat menggerakkan hatinya untuk berbagi venue dan menu seperti yang biasa dilakukan bersama para kolega dan teman sejawatnya.
Label islami
Ketiga, fashion. Ruang ini ditandai aneka busana yang ditampilkan secara ekspresi berpakaian yang dilabelisasi islami. Meski pakaian koko memiliki akar kesejarahan busana dari peradaban China, dalam perkembangan waktu, pemahaman masyarakat mengalami discontinuity antara sejarah sosial yang membentuk awal mula baju koko dan realitas kebiasaan yang telanjur mendaku baju koko dengan label islami. Klaim pembenaran macam ini melestari kuat dan membentuk sebuah afirmasi, konfirmasi, dan keyakinan bahwa baju koko adalah cara berbusana yang dianggap paling etis dalam menjalankan setiap rangkaian ibadah mahdlah dalam bulan puasa.
Bahkan, untuk meneguhkan label islami pada tata busana yang lazim dikenakan umat Islam, banyak mal dan lapak pinggiran jalan menjajakan pakaian koko. Seakan semua pihak saling terlibat bagaimana menyepakati sebuah tata busana yang jadi tolok ukur utama untuk menutupi tubuh dan aurat dengan pakaian koko. Tak jarang para desainer mengkreasi berbagai artikel kain menjadi busana koko yang fashionable.
Secara sosiologis, label islami meminjam cara berpikir Russell T McCutheon dalam buku Manufacturing Religion: The Discourse on Sui Generis Religion and the Politics of Nostalgia akan menjadi sesuatu yang sui-generis untuk digunakan sebagai strategi pemasaran meraih sistem kapital yang paling menguntungkan. Setiap pihak yang berkepentingan mengoptimalisasi pendapatan ekonominya saling menghadirkan slogan-slogan keagamaan.
Bahkan, untuk lebih meyakinkan bahwa busananya adalah yang paling layak digunakan dan dikonsumsi, dicari legitimasi dari pihak-pihak terkait yang memiliki otoritas keagamaan sebagai pandu keabsahan. Semisal menjadikan selebritas sebagai peng-endorse untuk mendongkrak penjualan baju koko dan gamis. Inilah sisi lain dari potret antropologi puasa Ramadhan. Semoga, semua ini tidak mengurangi khidmat dan kekhusyukan kita dalam menjalankan segala ketentuan yang diwajibkan ataupun disunahkan dalam puasa Ramadhan.
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta