Pemilu adalah salah satu instrumen dalam mewujudkan demokrasi. Dengan pemilu, rakyat berkesempatan ”menghukum” atau ”mengapresiasi” rezim.
Jika pemerintahan dinilai berhasil oleh mayoritas rakyat, hasil pemilu akan memberikan kesempatan bagi kubu yang berkuasa untuk melanjutkan kekuasaan. Namun, jika dinilai tak berhasil, bisa jadi mayoritas rakyat memberikan hukuman atau mengalihkan mandat kepada tokoh atau partai lain.
Persoalannya, dalam sejumlah kasus, pemilu diadakan hanya demi memberikan legitimasi yang sesungguhnya semu kepada yang sedang berkuasa. Pemilu didesain tak memberikan ruang bagi kekuatan berbeda untuk memperoleh kekuasaan. Dalam pemilu seperti itu, demokrasi yang pada hakikatnya perwujudan kehendak rakyat menjadi tidak terpenuhi.
Dalam konteks itulah, rasanya sulit untuk tak mengajukan gugatan terhadap pemilu di Thailand. Apakah pemilu yang hasilnya diumumkan beberapa hari silam itu benar-benar menjadi kesempatan bagi rakyat untuk memberi ”penilaian” kepada rezim? Benarkah pemilu yang pemungutan suaranya berlangsung Maret lalu ini mencerminkan aspirasi rakyat?
Pemilu yang digelar pada 24 Maret 2019 itu ditunggu banyak kalangan. Setelah mengudeta PM Yingluck Shinawatra lima tahun lalu, Prayuth Chan-ocha didesak untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Beberapa kali jadwal pelaksanaan pemilu diundur.
Sementara itu, dalam rangka persiapan pemilu, pemerintah menyusun undang-undang yang menetapkan, dari 750 total anggota lembaga legislatif, sebanyak 250 orang, yakni Senat, dipilih penguasa. Sisanya, 500 orang, merupakan anggota majelis rendah yang dipilih lewat pemilu. Dari 500 orang ini, ada 350 yang dipilih dengan sistem distrik (winner take all). Sisanya, 150 kursi, dihitung lewat rumus rumit dengan memasukkan perolehan suara nasional atau popular vote. Penghitungan ini memberikan kesempatan kepada partai-partai kecil untuk mendapat kursi di majelis rendah.
Sesuai undang-undang itu, agar bisa kembali berkuasa sebagai perdana menteri, Prayuth harus mendapat persetujuan 376 anggota legislatif (50 persen plus 1 dari 750 anggota legislatif). Prayuth diuntungkan karena 250 anggota Senat hampir dipastikan mendukungnya.
Sementara di majelis rendah, Partai Palang Pracharat yang pro-penguasa mengantongi 97 kursi berdasarkan sistem distrik dan 18 kursi berdasarkan perhitungan proporsional sehingga total 115 kursi. Dikombinasikan dengan kursi di Senat, partai ini tinggal mencari 11 suara dari partai-partai kecil untuk meraih total 376 suara anggota legislatif. Adapun partai oposisi, Pheu Thai, mendapat 136 kursi berdasarkan sistem distrik dan 1 kursi berdasarkan sistem proporsional di majelis rendah. Mereka hampir dipastikan sulit untuk menguasai Senat.
Ditambah dengan pengumuman hasil pemilu yang sempat ditunda, tak berlebihan kiranya jika oposisi dan pengamat memiliki banyak pertanyaan terhadap pemilu di Thailand.