PR Deputi Gubernur Senior BI
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Destry Damayanti, sebagai calon tunggal Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, menggantikan Mirza Adityaswara, segera menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Apa saja pekerjaan rumah (PR) dan tantangan deputi gubernur senior (DGS) ke depan? Sekalipun sudah melepas unsur pengawasan perbankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif per 31 Desember 2013, BI tetap memiliki tugas penting. Katakanlah, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (seperti suku bunga, nilai tukar rupiah, dan inflasi) serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
PR dan tantangan
Lantas, apa saja PR dan tantangan DGS BI? Apa pula langkah strategis untuk mampu menghadapi aneka PR dan tantangan itu? Pertama, walaupun unsur pengawasan perbankan BI sudah beralih ke OJK, BI tetap wajib menjalin koordinasi dengan OJK. Kini, BI dan OJK masing-masing memiliki wewenang menjalankan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Koordinasi mesra dapat melahirkan sektor jasa keuangan yang ramah pasar.
Kedua, tantangan eksternal paling krusial berasal dari bank sentral AS (The Fed). Namun, The Fed menegaskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FFR) pada level 2,25-2,50 persen pada 1 Mei 2019. Mengapa? Gubernur The Fed Jerome Powell menjelaskan, pasar tenaga kerja AS tetap kuat dan aktivitas ekonomi naik pada tingkat yang solid dalam beberapa pekan. Itulah sebabnya The Fed memutuskan mempertahankan FFR.
Namun, sesungguhnya hal itu tak sesuai ekspektasi Presiden Trump. Sebelumnya, Trump telah minta The Fed menurunkan FFR untuk mendorong dan merangsang pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Ekonomi AS tumbuh 3,2 persen, bandingkan dengan Indonesia 5,07 persen per Maret 2019.
Terkait ini, BI hendaknya tetap cermat dalam mengelola setiap perubahan FFR yang dapat memengaruhi suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate/ BI 7 DRRR) yang kini mencapai 6 persen sejak lima bulan lalu, tepatnya 15 November 2018. Perubahan suku bunga acuan akan memengaruhi tingkat suku bunga deposito yang kemudian menyetrum suku bunga kredit.
Sejauh mana laju suku bunga kredit? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) 26 April 2019 menunjukkan bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum naik sangat tipis 7 basis poin (bps) dari 10,51 persen per November 2018 (ketika suku bunga acuan mulai naik dari 5,75 persen menjadi 6 persen) menjadi 10,58 persen per Februari 2019 untuk kredit modal kerja. Sebaliknya, kredit investasi justru turun 15 bps dari 10,51 persen menjadi 10,36 persen dan kredit konsumsi juga turun 12 bps dari 11,80 persen menjadi 11,68 persen pada periode yang sama.
Artinya, bank umum masih mengerem kenaikan suku bunga kredit. Itu sinyal positif untuk merangsang gairah bisnis sektor riil. Namun, risikonya, margin pendapatan bersih (net interest margin/NIM) menjadi menipis dari 5,12 menjadi 4,81 persen. Mengapa? Lantaran kenaikan suku bunga deposito lebih tinggi daripada kenaikan suku bunga kredit. Sayangnya, NIM bank umum itu masih lebih tebal daripada bank-bank di ASEAN yang berkisar 2-3 persen.
Ketiga, ada yang mengatakan suku bunga acuan yang relatif rendah ternyata kurang mampu mengangkat kredit perbankan. Harap disadari, suku bunga acuan itu sejatinya merupakan penawaran (supply side). Hal yang wajib dipertimbangkan kemudian adalah menggenjot sisi permintaan (demand
side), seperti melemahnya daya beli masyarakat. Pelemahan daya beli itu mendorong penurunan permintaan produk (barang dan jasa). Kondisi ini membuat pengusaha (sektor riil) menahan produksi. Ujungnya, kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan) stagnan atau justru makin gendut. SPI yang diterbitkan OJK mencatat bahwa kredit demikian naik 7,94 persen (year on year/yoy) dari Rp 1.473 triliun per Februari 2018 menjadi Rp 1.589 triliun per Februari 2019. Namun, secara bulanan (month to month), kredit ini menurun 0,71 persen dari Rp 1.601 triliun per Januari 2019 menjadi Rp 1.589 triliun per Februari 2019.
Sungguh itu kabar baik sebagai simbol kegairahan sektor riil. Apalagi pemilu sudah paripurna sehingga memberikan kepastian politik bagi sektor riil untuk lebih memperkencang produksi setelah masa wait and see selama hampir 10 bulan. Karena itu, pemerintah segera menggelontorkan bantuan sosial sekitar Rp 96 triliun. Ditambah lagi Rp 40 triliun untuk tunjangan hari raya dan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara. Sudah barang tentu upaya meningkatkan daya beli masyarakat itu plus gairah belanja pada bulan Ramadhan dan Lebaran dilanjutkan Natal dan Tahun Baru dapat menggeber konsumsi rumah tangga yang kemudian memberikan kontribusi tinggi ke PDB.
Keempat, BI juga wajib terus-menerus memompa likuiditas perbankan sekalipun pernah menyatakan likuiditas tidak ketat tetapi tak merata. Artinya, likuiditas terjadi di bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan 2. SPI mencatat bahwa loan to deposit ratio (LDR) BUKU 1 (dengan modal inti hingga Rp 1 triliun), BUKU 2 (Rp 1 triliun-Rp 5 triliun) dan BUKU 4 (di atas Rp 30 triliun) masing- masing 83,81 persen, 90,40 persen, dan 90,41 persen per Februari 2019 di tengah ambang batas 78-92 persen.
Sementara itu, LDR BUKU 3 (di atas Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun) justru mencapai 101,71 persen, di atas ambang batas dan rata-rata industri 94,12 persen. Hal itu menyiratkan BUKU 3 yang terdiri atas bank umum papan tengah ternyata justru mengalami likuiditas ketat.
Untuk menaikkan likuiditas bank umum, BI kembali meluncurkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/5/PADG/2019 tanggal 29 Maret 2019 tentang Perubahan Ketiga atas PADG Nomor 20/11/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). RIM dan RIM Syariah yang semula 80-92 persen diubah menjadi 84-94 persen, berlaku 1 Juli 2019. Tetapi, pengenaan sanksi terkait perubahan batas bawah dan batas atas target RIM dan RIM Syariah berlaku 1 Oktober 2019. Sejatinya RIM merupakan giro wajib minimum-loan to funding ratio (GWM-LFR) sebagai perluasan dari LDR, sedangkan Penyangga Likuiditas Makroprudensial adalah GWM Sekunder. Dengan bahasa lebih lugas, RIM adalah rasio hasil perbandingan antara kredit yang diberikan dalam rupiah dan valas plus surat berharga korporasi dalam rupiah dan valas yang memenuhi persyaratan tertentu terhadap DPK (deposito, giro, tabungan) plus surat berharga (Paul Sutaryono, Kompas 22/4/19).
Kelima, meski BI telah melakukan relaksasi RIM, bank umum terutama BUKU 3 dan 4 tetap wajib berupaya keras untuk mampu memelihara likuiditas. Terlebih ketika dikaitkan dengan kewajiban memiliki rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) minimal 100 persen secara berkelanjutan 30 hari ke depan. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan OJK No 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas bagi Bank Umum efektif 23 Desember 2015. Dengan bahasa lebih bening, BI amat disarankan untuk terus memelihara likuiditas perbankan nasional karena likuiditas tetap akan menjadi isu besar di tahun-tahun mendatang. Bank umum akan terus didorong untuk mengerek modal agar mampu menghadapi aneka potensi risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
Mengendalikan utang luar negeri swasta
Keenam, likuiditas ketat itu akan mendorong kian banyak korporasi untuk memburu pembiayaan di luar perbankan, yakni pasar modal atau utang luar negeri. Untuk itu, BI perlu membentengi sistem keuangan dari berbagai potensi risiko mengingat kecenderungan kenaikan pembiayaan di pasar keuangan dan utang luar negeri swasta. Data BI menunjukkan utang luar negeri swasta naik 10,8 persen per Februari 2019 (yoy). Utang luar negeri swasta bersumber dari empat sektor: (1) pengadaan listrik, gas, dan uap atau air panas naik 26,8 persen; (2) pertambangan dan penggalian naik 26,8 persen; (3) jasa keuangan dan asuransi naik 9,34 persen; serta (4) industri pengolahan naik 0,5 persen (Kontan, 18/4/2019). Itu bukan sekadar data.
Sarinya, suku bunga pinjaman luar negeri relatif lebih rendah daripada dalam negeri dalam rupiah. Namun, di sana tersimpan risiko tersembunyi (inherent risks). Sebut saja ketika nilai tukar rupiah melemah (depresiasi), maka nilai utang luar negeri otomatis akan makin tinggi dalam rupiah terlebih tatkala terjadi risiko gagal bayar (default). Plus manakala terjadi penipisan kinerja ekspor. Untungnya, kini jumlah ekspor naik 11,7 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Februari 2019, menjadi 14,03 miliar dollar AS per Maret 2019.
Ketujuh, itu semua tidak hanya akan membebani swasta sebagai debitor, tetapi juga BI sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Karena itu, BI pun wajib mengendalikan nilai tukar rupiah, terutama terhadap risiko pelemahan ekonomi global. Kini nilai tukar rupiah masih lemas pada level Rp 14.200-Rp 14.300 per dollar AS yang, antara lain, disebabkan oleh keputusan The Fed yang belum akan menurunkan suku bunga acuannya. Namun, pengumuman hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019 akan menjadi salah satu pendorong penguatan nilai tukar rupiah. Hal itu akan menjadi kepastian politik yang selama ini menghantui sektor riil atau dunia usaha.
Berbekal aneka langkah strategis demikian, BI akan kian mampu memelihara sistem keuangan nasional untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI