Berani Malu
Maaf
Kalau saya ditanyai hal itu, jawabnya adalah saya tak akan memaafkan kalau saya tak salah. Buat saya, tindakan menyakiti itu adalah bentuk sebuah pembelajaran. Terus kalau ditanya apakah saya berani memaafkan? Kalau saya memiliki alasan yang tepat untuk merasa benar, saya bahkan berani
tak akan memaafkan selamanya.
Saat saya menulis artikel ini, Ramadhan hari pertama baru saja dimulai. Beberapa hari sebelumnya, teman-teman saya yang menjalankan ibadah puasa mengirimkan pesan-pesan mohon dimaafkan kesalahan mereka. Membaca pesan-pesan itu, saya langsung membalas satu per satu dengan kalimat yang sama. Saya juga mohon dimaafkan.
Tetapi, namanya nurani itu memang tak bisa didustai. Meski ia bersuara sangat lirih, saya tetap bisa mendengar dengan jelas kalau ia mengatakan saya sangat berani malu untuk berbohong dalam memaafkan. Suara nurani yang menampar itu membawa saya kepada begitu banyak peristiwa di mana saya berani malu menjadi orang yang berbohong dalam memaafkan.
Karena berani malu, saya sering jadi berbohong sehingga mengucapkan kata mohon maaf itu ringan sekali. Asal keluar dari mulut semata dan sama sekali tak saya maknai. Karena setelah lidah tak bertulang itu menyuarakan kata maaf, hati saya yang sama-sama tak bertulang itu tetap tidak memaafkan.
Sejujurnya tidak memaafkan itu seperti sebuah perjalanan membuat es batu. Membuat es batu itu dari air yang kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin untuk kemudian menjadi es batu yang keras. Hati saya awalnya seperti air biasa, tetapi karena banyak kali tersakiti, saya melakukan aksi balas dendam.
Aksi balas dendam bukan membunuh, bukan melukai secara fisik, melainkan memaafkan dalam kemunafikan. Jadi kelihatannya memaafkan, sejujurnya sama sekali jauh dari keinginan memaafkan. Nah, pengalaman saya memperlihatkan bahwa hati saya yang dulu bak air yang cair bisa menjadi keras seperti es batu itu karena melakukan terus-menerus kebohongan dalam memaafkan.
Sesungguhnya tidak memaafkan atau berani malu untuk berbohong dalam memaafkan itu bukan sesuatu yang wajar. Berbohong itu bukan hal yang wajar, itu adalah agen perusak hati, dari semula cair menjadi beku seperti es batu atau keras seperti jaringan parut.
Mati rasa
Kalau sudah mengeras akan susah memaafkan. Saya mengalami itu. Hati itu kalau sudah keras, menjadi tidak peka. Karena tidak peka, saya kemudian seperti mati rasa. Kalau hati sudah mati rasa, tidak memaafkan menjadi hal yang tidak apa-apa.
Mengapa tidak apa-apa? Karena orang kalau sudah mati rasa, ya enggak berasa apa-apa, bukan? Mati dari rasa sakit, mati dari rasa malu, mati dari rasa bersalah. Nah, kalau sudah tidak bisa merasakan apa-apa, seseorang akan berani malu untuk ngomong ngawur soal apa saja.
Bikin hoaks pun juga menjadi enggak masalah. Saya bisa mencaci maki orang, bermusuhan dengan mereka, tetapi suatu hari ketika saya perlu, saya dengan keberanian untuk malu datang dan berteman kembali. Waktu itu terjadi, saya malah merasa seperti jagoan, bukan malah merasa malu.
Orang akan melihat saya sebagai seorang yang berbesar hati. Kalau dulu mencaci maki, sekarang memaafkan dan mau berteman kembali. Namun, jauh di lubuk hati, saya tahu kalau saya ini berbohong dalam berbesar hati untuk memaafkan hanya karena saya memerlukan sesuatu.
Mati dari rasa malu itu membuat saya seperti mampu melakukan apa saja tanpa merasa bersalah. Apa akibatnya? Saya tak bisa merasakan lagi kalau saya ini dilahirkan memiliki nilai-nilai yang baik sebagai manusia.
Mati rasa itu membuat saya mampu mempermalukan diri saya sendiri, keluarga saya, dan terutama orang yang melahirkan saya, yang saya yakini berharap saya menjadi manusia yang punya nilai yang baik.
Dan kalau orang sudah mati rasa dari segala rasa, maka seperti saya katakan di atas, ia akan merasa tak punya masalah dan tak merasa bersalah. Maka dengan tak punya rasa bersalah, ia akan melakukan perbuatan itu dengan hati yang ringan, berulang-ulang kali sampai bisa jadi ia akan berpikir bahwa mati rasa adalah jalan kebenaran.
Memaafkan dengan tulus itu memerlukan keberanian yang sangat. Memaafkan itu memang buat seorang pemberani. Sampai hari ini pun, saya belum dapat memaafkan dengan tulus. Tiba-tiba saya kepikiran. Kalau saya ini seorang pengecut karena tak berani memaafkan dengan tulus, apa sebaiknya saya ini mati rasa saja?
Bukankah kalau sudah mati rasa, terutama mati rasa malu dan rasa gengsi, memaafkan akan menjadi begitu mudahnya?
”Kamu memang benar-benar pengecut.” Demikian nurani bawel itu bersuara.