Teroris Amatir yang Berbahaya
Apresiasi tinggi layak diberikan kepada Densus 88 atas keberhasilan mereka menggagalkan rangkaian rencana aksi teror pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang saling terkait di Sibolga, Lampung, Sumatera Utara, dan Bekasi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya: siapakah para pendukung NIIS ini di Indonesia? Begitu tingginyakah komitmen mereka sehingga mereka terus bergerak? Sebagai bangsa, langkah apa saja yang perlu kita lakukan menyikapi fenomena ini?
Menurut hemat penulis, para pendukung NIIS di Indonesia ini adalah para ”teroris amatir”. Meskipun amatir, mereka ini tetaplah berbahaya. Ada dua alasan utama atas argumentasi ini. Pertama, jika dibandingkan dengan para pelaku aksi teror jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi ke Al Qaeda, jelas kemampuan militer kelompok ini sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada teroris generasi awal, terutama era Noordin M Top dan Dr Azhari Husein, rata-rata pernah mengikuti pelatihan militer di Afghanistan tahun 1980-an atau Filipina selatan tahun 2000-an.
Minimal mereka pernah terlibat dalam konflik komunal setelah reformasi di Ambon atau Poso. Oleh karena itu, teroris lama ini lebih lincah dan serangan mereka lebih mematikan. Dalam kelompok baru ini, nyaris tidak ada yang pernah mengikuti pelatihan militer di tingkat global, regional, atau bahkan lokal. Kalaupun mereka melakukan pelatihan militer, latihan dilakukan di Indonesia dan senjata yang mereka pakai itu sangat sederhana, seperti soft gun atau senapan angin.
Saking minimnya senjata yang mereka miliki, di Lamongan, ada seorang ”teroris amatir” yang memakai ketapel untuk menyerang pos polisi. Meski amatir, mereka ini dapat membahayakan para aparat karena kenekatan mereka, terutama jika dikumpulkan bersama dalam satu tempat. Misalnya adalah mantan penjual roti keliling di Palembang, Wawan Kurniawan, yang mendadak menjadi ”ustaz” dalam kelompok ini dan melakukan live streaming di media sosial dalam kerusuhan di Mako Brimob. Dalam aksi itu, teroris amatir ini membunuh aparat dengan keji.
Kedua, karena pernah menjadi ”mujahid”—sebutan bagi mereka yang pernah berjihad atau bertempur di wilayah konflik dalam kelompok ini—teroris lama mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan para anggota biasa yang tidak pernah atau belum ber-”jihad”.
Mereka hidup dalam sebuah jaringan sosial yang sulit disusupi oleh aparat. Karena demikian kuatnya jaringan sosial teroris lama ini, Noordin M Top yang waktu itu menjadi buronan polisi kelas wahid masih sempat menikah lebih dari satu kali dan mempunyai keturunan. Ini artinya, meski secara formal JI menolak aksi Noordin M Top dalam rapat-rapat organisasi, tidak sedikit dari jaringan sosial JI yang siap membantu kelancaran aksi teror kelompok lama.
Pada kelompok baru, jaringan sosial ini dikembangkan melalui cara online dan offline. Secara online, mereka menggunakan hampir semua platform media sosial, terutama Facebook, Whatsapp, dan Telegram. Barangkali karena diikat dalam sebuah ”solidaritas yang dibayangkan” antarsesama pendukung NIIS, meski mereka tidak pernah bertatap muka secara fisik, mereka seolah-olah bersaudara dan saling percaya.
Contoh yang paling mutakhir dari pola ini adalah terbentuknya jaringan Abu Hamzah (33) yang berada di Sibolga. Sebelum tertangkapnya Rinta Sugianto alias Putra di Lampung, aparat keamanan luput mendeteksi sosok Abu Hamzah. Padahal, ia telah secara rutin belanja bahan peledak melalui platform jual-beli online dan secara intensif mempelajari secara online propaganda ISIS sejak awal 2016 bersama sang istri, Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah. Biasanya, setelah jaringan sosial ini terbentuk secara online, mereka akan melakukan verifikasi secara offline dengan melakukan pertemuan di sebuah tempat yang disepakati bersama. Biasanya, perekrutan online berjalan dengan baik jika telah ada hubungan offline terlebih dahulu. Jadi, ada relasi yang berkelindan antara online dan offline.
Hal ini terlihat jelas dalam kasus terbentuknya jaringan teror di Batam pimpinan Gigih Rahmat Dewa dan Bahrun Naim (BN) di Suriah. Menurut Gigih, ia telah kenal dengan Bahrun Naim ketika terlibat dalam kegiatan rohis di salah satu sekolah menengah negeri di Solo. ”Tidak ada pembicaraan istimewa antara saya dan BN waktu itu. BN hanya menjadi salah satu pemateri dalam diskusi,” kata Gigih dalam wawancara dengan penulis.
Hubungan offline yang ”biasa-biasa” saja itu ternyata bisa menjadi pemantik keterlibatan Gigih dalam jaringan NIIS di Indonesia. Ketika di Batam, Gigih ingin menjadi suami dan bapak yang baik. Karena itu, ia mulai belajar agama. Akibat kesibukan bekerja di sebuah perusahaan Jepang di Batam dan menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, Gigih memilih belajar agama online.
Ia tidak belajar Islam di kajian-kajian agama yang ramai di masjid Batam. Baginya, belajar agama online adalah jalan yang paling cepat dan mudah. Ironisnya, di dunia online, kelompok radikal jauh lebih kreatif dalam menyajikan informasi tentang Islam.
Dengan dorongan sistem algoritma, maka secara perlahan keinginan Gigih menjadi bapak yang baik dengan belajar agama online ini menjadikan bumerang bagi dirinya. ”Ini Mas Gigih yang berambut hijau itu, ya?” tanya Bahrun Naim dalam sebuah percakapan Facebook. Gigih heran dari mana avatar asing dalam Facebook ini bisa mengenal dirinya pernah mengecat hijau rambutnya? Memang Gigih pernah menjadi ateis dan mengecat rambutnya dengan warna hijau sebelum ikut kajian rohis di sekolah menengahnya. Dari percakapan yang ringan tapi mampu membangkitkan memori Gigih ketika bersekolah menengah di Solo itulah kemudian Bahrun Naim merekrut Gigih menjadi bagian dari pendukung NIIS.
Melalui Facebook pulalah Gigih membangun semua jaringan Katibah Gonggong Rebus (KGR) di Batam.
Radikalisasi daring
Fenomena radikalisasi daring (online) pada teroris amatir ini, menurut hemat penulis, karena dua hal.
Pertama, adanya teknologi informasi yang ditandai dengan kecepatan akses internet, maraknya media sosial, dan terjangkaunya harga telepon pintar (smart phone). Pada era teroris lama, sebaran radikalisme itu hanya berkutat pada wilayah tertentu, terutama wilayah konflik, seperti Afghanistan, Filipina selatan, Poso, dan Ambon. Juga diperlukan waktu tahunan bagi seseorang terlibat menjadi teroris. Namun, para teroris amatir ini hidup dalam dunia informasi yang anarkistis. Artinya, nyaris tidak ada aturan di dalam dunia ini.
Kedua, lemahnya ilmu agama para pendukung NIIS ini. Misalnya, mereka gemar sekali memangkas QS Al Baqarah 256 yang hanya difokuskan pada pentingnya ”memusuhi para tagut (musuh Islam)”. Doktrin mereka pun maut: ”Iman kamu tidak sempurna sebelum bisa mengingkari tagut. Di mana bentuk pengingkaran yang paling tinggi adalah memeranginya”.
Doktrin seperti ini, jika bertemu dengan orang-orang kriminal yang baru bertobat dan belajar Islam, atau mereka yang punya masalah keluarga, ekonomi, depresi, dan lain-lain bisa langsung diikuti. Apalagi, bagi mereka, ”mati ketika memerangi tagut adalah mati yang paling mulia.” Akhirnya, berbuat teror menjadi jalan menyempurnakan agama.
Setelah melihat adanya pergeseran pola ini, kira-kira apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa?
Pertama, ideologi bukanlah menjadi pendorong utama para teroris amatir ini bergerak. Namun, tampak jelas bahwa dari sisi pemahaman agama, para teroris amatir ini berpemahaman agama yang dangkal. Mereka adalah orang-orang yang sedang belajar Islam. Itu pun mereka mengambil bukan dari sumber yang jelas sanad (silsilah) keilmuannya. Situs web; Youtube; serta media sosial, seperti Facebook, Whatsapp, dan Telegram, menjadi rujukan informasi mereka tentang Islam. Akibatnya, mereka hidup dalam echo-chamber (ruang gema) yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan cara pandang baru dalam melihat agama.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk tidak hanya belajar agama dari satu sumber dan fanatik pada satu guru agama saja.
Kedua, teroris amatir ini berbahaya karena mereka selalu sibuk mencari musuh. Para anak muda yang galau, para warga negara kita yang sedang di luar negeri dan haus akan ilmu agama, serta orang-orang yang ingin bertobat lewat jalan agama, ironisnya sering kali justru menjadi target perekrutan kelompok ini. Bagi teroris amatir, mereka ini adalah orang-orang yang sedang mencari sesuatu karena ada yang hilang dalam hidup mereka. Oleh karena itu, para orangtua haruslah memastikan anak-anak mereka memahami internet secara cerdas (digital literacy). Pada saat yang sama, media sosial haruslah dipenuhi informasi yang positif. Kaum moderat Islam harus bergerak jika tidak ingin melihat Indonesia terus menjadi permainan para teroris amatir ini.
Terakhir, para pembuat konten materi agama di internet harus diimbau oleh negara agar menyarankan para pembacanya berkonsultasi dengan ustaz mumpuni yang ada di dekatnya. Sebab, pengetahuan Islam tidak boleh ditafsirkan sesuai kemampuan akal orang yang baru belajar itu. Akibatnya bisa menjadi pengikut paham radikal. Ketika orang-orang yang ingin belajar Islam lalu dimudahkan dengan internet dan algoritma mesin pencari, dan kemudian ketemu paham-paham seperti NIIS, lalu tidak dicek ulang ke ustaz yang berkompeten dan cenderung dicerna sendiri sesuai kemampuan akal dan kondisi psikologis yang bersangkutan, maka yang demikian ini akan berpotensi melahirkan secara instan orang-orang seperti Gigih di Batam atau pelaku serangan ketapel di Lamongan.
Noor Huda Ismail Visiting Fellow RSIS, NTU, Singapura