Bias Kematian
Pemilu kali ini menyisakan rasa khawatir bahwa Indonesia bisa mengikuti Venezuela.
Bahkan, bisa jadi risiko itu lebih besar karena ada sekelompok orang tidak menginginkan negara ini menjadi negara maju. Posisi Indonesia yang hampir lolos dari middle income trap menjadi lahan subur penyebaran berbagai isu SARA dan kecurigaan.
Untuk itu, ketika tersebar berita banyak kematian anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), isu kematian diracun untuk mendukung argumen ”kecurangan”, menjadi mudah dilahap dan tersebar melalui media sosial.
Sebagian besar anak bangsa yang berpendidikan rendah dan berpenghasilan belum memadai serta sudah banyak mengonsumsi ”isu SARA dan kecurangan” menyambar dan menyebarkan isu tersebut bagai minyak menyiram bara api. Cukup mengherankan bahwa sebagian kaum intelektual juga ikut meniup bara api tersebut.
Banyak? Itu relatif. Banyak orang tidak sadar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa setiap hari 618 orang meninggal akibat konsumsi rokok. Akan tetapi, tidak banyak orang yang menghujat atau menuntut pemerintah untuk mencari fakta atas kematian yang ditimbulkan faktor risiko merokok tersebut.
Bahkan, banyak pejabat dan tokoh masyarakat serta tokoh agama tidak peduli dengan jumlah kematian akibat merokok. Itulah bias angka. Pemberitaan masif, yang kadang-kadang tidak proporsional, memudahkan penyebaran isu hoaks kematian yang penuh dengan bias tersebut.
Bias angka
Jumlah TPS tahun 2019 mencapai 810.329 buah. Jika diambil rata-rata ada lima petugas per TPS, jumlah populasi anggota panitia adalah 4.051.645 orang. Angka kematian petugas KPPS yang mencapai 469 orang, jika disetahunkan akan menjadi (365/23) x 469 = 7.443 orang per tahun. Jika dianalogikan menjadi panitia KPPS sebagai faktor risiko seperti hamil dan melahirkan, angka kematian pada petugas KPPS adalah (7.443/4.051.645) x 1.000 = 1,8 orang per 1.000 petugas sukses melaksanakan tugas pemilu.
Mari kita bandingkan angka kematian tersebut dengan angka kematian ibu yang pada 2015 adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup atau 3 orang ibu per 1.000 kelahiran hidup. Jelas, angka kematian ibu jauh lebih tinggi daripada angka kematian petugas KPPS. Namun, tidak ada banyak terdengar tuntutan otopsi atau cari fakta angka kematian ibu.
Terjadi pemahaman bias terhadap angka kematian petugas KPPS karena diinisiasi dari pemikiran adanya kecurangan atau kecurigaan terhadap proses pemilu yang tidak sehat.
Sangat disayangkan, bahkan banyak akademisi yang terjebak dengan berita jumlah yang meninggal dan langsung menuding ada yang salah. Apakah orang bisa meninggal hanya karena lelah? Lelah karena bekerja melampaui jumlah jam rata-rata orang normal meningkatkan risiko kematian karena penyakit-penyakit yang telah dideritanya.
Orang meninggal disebabkan oleh banyak faktor. Yang jelas, jika fungsi otak, fungsi jantung, fungsi paru-paru, atau fungsi ginjal rusak orang akan meninggal. Fungsi organ tersebut dipengaruhi faktor risiko, seperti kelelahan (kasus pada TPPS), merokok, atau kehamilan, yang menimbulkan dan meningkatkan kerusakan pada organ-organ itu. Namun, meskipun Menteri Kesehatan sudah menjelaskan tentang 13 kelompok besar penyebab kematian, beberapa pihak masih ngotot minta otopsi.
Perlukah otopsi?
Otopsi adalah suatu proses pembuktian kematian seseorang yang tidak dilakukan untuk semua kematian. Jika ada dugaan kematian tidak wajar seperti keracunan sehingga perlu pembuktian.
Bisa saja suatu racun menyebabkan kegagalan fungsi jantung, paru, atau otak. Harus dibuktikan adanya racun dalam tubuh. Dalam kasus kematian anggota KPPS, indikasi orang tersebut diracun—dari laporan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan—tidak tampak.
Masalah utama adalah trust. Orang yang sudah paranoid adanya tindak kriminal peracunan sulit percaya bahwa kematian tersebut adalah wajar. Apakah masih perlu dilaksanakan otopsi mayat dengan menggali lagi kuburan? Siapa yang harus mendanai?
Jika indikasinya hanya karena ada orang-orang paranoid, dana rakyat (uang negara) tidak boleh digunakan hanya untuk memuaskan orang-orang yang paranoidini. Untuk itu, harus ada indikasi kuat adanya tindak kriminal.
Tampaknya pemerintah, Kemenkes, merespons baik sekali atas kecurigaan tersebut dengan berupaya melakukan otopsi verbal dan otopsi rekam medik. Kini dengan hampir 85 persen penduduk sudah menjadi peserta JKN, tentu sebagian besar anggota KPPS yang meninggal adalah peserta JKN.
Peserta JKN memiliki dokter umum, baik di puskesmas maupun klinik swasta, tempat mereka berobat pertama jika ada keluhan. Selain data rekam medik di RS, ketika petugas dibawa ke RS sebelum meninggal, data rekam medik di puskesmas/klinik juga dapat ditelusuri untuk melihat penyakit yang sudah diderita petugas sebelumnya.
Apakah surat keterangan sehat tidak cukup? Di sini kita harus memahami situasi dan kondisi lingkungan perilaku bangsa yang tinggi tingkat korupsinya. Tidak semua surat keterangan sehat dibuat atas dasar pemeriksaan lengkap dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi karena mahal. Karena itu, banyak surat keterangan sehat dibuat atas dasar anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Surat keterangan macam itu tidak cukup informatif untuk mengetahui tingkat keseriusan (severity) penyakit yang telah diderita petugas.
Meskipun kemungkinan besar angka kematian yang disesuaikan dengan usia (age specific death rate) dan kondisi penyakit (case fatality rate) para petugas masih dalam batas normal, banyak pelajaran untuk pemilu yang akan datang.
Perubahan UU dan peraturan pelaksanaan pemilu tidak saja didasari pada kasus kematian, tetapi juga atas dasar evaluasi proses kerja dan hal-hal teknis lainnya.
Yang jelas, kita telah membuktikan kepada dunia bahwa negeri Bhinneka Tunggal Ika ini telah mampu menjadi salah satu negara demokrasi terbaik. Kita panjatkan doa dan penghargaan tinggi kepada para pahlawan demokrasi tersebut.
Hasbullah Thabrany Pengamat Masalah Kesehatan Masyarakat; Mantan Guru Besar Universitas Indonesia