Arti Penting Jawa pada Pilpres 2019
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang telah kita lewati memperlihatkan fenomena pergeseran suara di sejumlah provinsi dan dalam tahap tertentu, perubahan perilaku pemilih yang perlu diperhatikan bagi pemerintah terpilih.
Kemenangan ini dapat dilihat dari jumlah provinsi ataupun kabupaten/kota yang dimenangi oleh Jokowi-Jusuf Kalla.
Lima tahun lalu, eks Gubernur DKI Jakarta ini unggul di 23 dari total 33 provinsi. Di tingkat kabupaten kota, menurut data Kawalpemilu.org, Jokowi memenangi 331 wilayah, berbanding 172 wilayah yang dimenangi Prabowo Subianto atau jika dikonversi dalam persentase suara menjadi 66 persen vs 34 persen.
Sementara pada 2019, menurut penghitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih berlangsung, Jokowi kalah telak di Sumatera. Dia unggul mutlak di Jawa, Kalimantan, Bali, dan Papua.
Sementara di Sulawesi, meskipun hanya kalah di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan, Jokowi unggul di empat provinsi lain. Akan tetapi, dalam hal jumlah kemenangan di kabupaten/kota se-Sulawesi, Jokowi ternyata masih kalah dari Prabowo dengan perbandingan 37 wilayah dan 39 wilayah.
Di Sumatera, jika pada 2014 Jokowi mendominasi dengan menang 54 persen berbanding 46 persen, tahun ini ia terpuruk di angka 37 persen saja. Jokowi hanya menang di 58 daerah, sedangkan Prabowo unggul di 97 daerah. Kemenangan Jokowi di wilayah barat Indonesia juga sangat tipikal.
Dia unggul di provinsi-provinsi yang memiliki demografi etnis Jawa besar, seperti Lampung atau di wilayah-wilayah di mana masyarakat Muslim adalah minoritas, misalnya di banyak daerah Sumatera Utara.
Selain itu, Jokowi juga unggul di wilayah-wilayah kepulauan terluar Sumatera, misalnya di daerah-daerah yang menjadi bagian dari gugus kepulauan Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Bengkulu. Akan tetapi, di bagian dalam Pulau Sumatera, termasuk nyaris semua kota kunci pulau ini, Prabowo unggul mutlak.
Secara keseluruhan, menurut hasil sementara KPU, perbandingan kemenangan Jokowi dan Prabowo di tingkat kabupaten/kota adalah 280 dan 203. Masih ada data dari beberapa wilayah, terutama di Papua, yang belum masuk ke situs KPU hingga tulisan ini dibuat.
Kalau kita hitung berdasarkan persentase, total suara Jokowi dan Prabowo berdasarkan jumlah kemenangan di kabupaten/kota di Pilpres 2019 adalah 58 persen dan 42 persen. Artinya, meskipun secara jumlah Prabowo berhasil memenangi lebih banyak wilayah dibandingkan lima tahun lalu, tetapi jumlah suara yang ia raih lebih sedikit.
Dua alasan
Mengapa hal itu bisa terjadi? Ada setidaknya dua penjelasan.
Pertama, Jokowi diuntungkan karena kemenangan besar yang ia peroleh di dua provinsi kunci, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Per 7 Mei 2019, penghitungan KPU menunjukkan Jokowi–Ma’ruf Amin mendapat 77,4 persen suara di Jawa Tengah, sedangkan Prabowo–Sandiaga Uno 22,6 persen.
Total suara yang masuk 80,3 persen. Sementara di Jawa Timur dengan suara masuk 58 persen, kandidat petahana memperoleh 67 persen. Meski penghitungan masih berjalan, tren perolehan suara diyakini tak akan berubah banyak.
Jika dibandingkan perolehan di Pilpres 2014, Jokowi ketika itu ”hanya” mendapat 66,6 persen di Jawa Tengah. Ini berarti ada lonjakan 10 persen suara yang menguntungkan Jokowi.
Di Jawa Timur, kenaikan suara malah lebih tinggi. Lima tahun lalu mantan wali kota Solo ini memperoleh 53,1 persen suara berbanding 46,1 persen untuk Prabowo. Artinya ada kenaikan sekitar 13 persen suara untuk Jokowi di Jawa Timur.
Selisih dua digit untuk provinsi sebesar Jawa Tengah dan Jawa Timur ini terbilang sangat besar. Total pemilih dari dua provinsi ini sekitar 60 juta. Ini berarti Jokowi memperoleh surplus suara lebih dari enam juta dibandingkan Prabowo hanya dari dua provinsi ini.
Sementara total pemilih se-Sumatera saja jika digabungkan adalah sekitar 38 juta pemilih. Artinya kekalahan mutlak yang dialami Jokowi di Sumatera dapat dikompensasi dengan kemenangan hanya di dua provinsi Pulau Jawa ini.
Penjelasan kedua, yaitu berkaitan dengan stagnasi suara Prabowo–Sandi di Jakarta dan Jawa Barat, dua provinsi besar lain yang dianggap sebagai basis pemilih pasangan ini.
Pada 2014, Prabowo mendapatkan masing-masing 47 persen dan 60 persen di dua provinsi tersebut. Namun, per hari ini, ia hanya memperoleh 48 persen dan 58 persen di Jakarta dan Jawa Barat, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan efek elektoral yang diharapkan.
Padahal, Prabowo layak berharap lebih mengingat dua provinsi ini dalam dua tiga tahun terakhir menunjukkan sinyalemen perilaku politik yang lebih dekat ke kubu Prabowo- Sandi.
Kunci kemenangan
Di Jakarta, misalnya, terpilihnya Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan dukungan Kelompok 212 sebetulnya memperlihatkan momentum politik yang lebih berpihak kepada Prabowo. Demikian pula dengan masyarakat di Jawa Barat, penyuplai massa paling banyak bagi Gerakan 212 tiga tahun silam.
Akan tetapi, momentum itu tak serta-merta berbuah dukungan di kotak suara. Kemenangan telak Anies Baswedan atas Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada 2017, misalnya, ternyata tidak dapat dijadikan pedoman dalam membaca arah dukungan pada Pilpres 2019.
Jakarta tetap menjadi provinsi dengan persaingan ketat, alias battleground province, yang pada tahun ini ternyata kembali dimenangi Jokowi. Sementara di Jawa Barat, suara Prabowo justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Pilpres 2014, meskipun dirinya dan Sandiaga sudah sangat sering menghabiskan waktu berkampanye di provinsi ini.
Stagnasi suara yang dialami Prabowo di dua provinsi ini ditambah dengan kekalahan telak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tak pelak menahbiskan Jawa sebagai daerah kunci bagi kemenangan pada Pilpres 2019.
Noory Okthariza Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS