Musim kering yang berkepanjangan di Korea Utara mengancam krisis baru di negara tersebut. Sekitar 10 juta jiwa terancam kelaparan.
Di tengah krisis politik yang terjadi di Semenanjung Korea, muncul krisis baru yang tak kalah mengkhawatirkan, yaitu krisis pangan. Program Pangan Dunia PBB (WFP) menyebutkan, musim kering yang berkepanjangan di Korut menyebabkan 10 juta penduduknya terancam kelaparan.
Kekeringan yang dialami sejak awal tahun ini merupakan yang terburuk sejak 1982. Curah hujan di seluruh Korut rata-rata hanya 54,4 milimeter. Dengan curah hujan seperti itu, panen dipastikan akan gagal.
Media lokal menyebutkan, semua warga diinstruksikan untuk memobilisasi pompa-pompa air dan mencari sumber air baru untuk menyelamatkan panen. Korut pernah mengalami krisis pangan yang dahsyat akibat kekeringan pada 1990-an, saat hampir 1 juta penduduknya tewas akibat kelaparan. Dilaporkan, warga Korut harus bertahan hidup dengan memakan rumput dan kulit pohon.
Isyarat akan adanya bencana itu sudah disampaikan bulan lalu oleh Duta Besar Korut di PBB Kim Song yang menyatakan Korut butuh bantuan pangan secepatnya. Otoritas Korut menyebutkan bahwa krisis pangan terjadi akibat cuaca buruk dan sanksi ekonomi internasional terhadap negara itu.
Upaya pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Korut sudah digagas sejak awal 2018 melalui perundingan di antara dua Korea, berlanjut dengan pertemuan puncak antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong Un. Intinya, sanksi ekonomi akan dicabut asalkan Korut melakukan denuklirisasi. Namun, sampai pertemuan kedua Jong Un- Trump di Vietnam, Februari lalu, negosiasi itu buntu.
Situasi diperparah oleh langkah Korut yang kembali melakukan uji coba rudal, pekan lalu, sebagai protes terhadap kebuntuan negosiasi. Kim juga memberikan ultimatum pencabutan sanksi sampai akhir tahun ini. Uji coba rudal sekaligus menjadi isyarat bahwa Pyongyang akan menggunakan caranya sendiri jika negosiasi gagal.
Situasi inilah yang membuat bantuan kemanusiaan sulit disalurkan ke Korut. Bagi Washington, Korut dianggap telah mencederai komitmen dengan tetap melakukan uji coba rudal sehingga Washington bersikap mendua terhadap krisis kemanusiaan ini. Sementara Korsel yang sejak 2017 berniat memberikan bantuan kepada Korut memperoleh tanggapan dingin dari Pyongyang. Selain dianggap sebagai ”boneka AS”, langkah Korsel juga dianggap sebagai propaganda kosong.
Di tengah banyaknya hal yang dipertaruhkan, seyogianya nasib jutaan manusia yang terancam kelaparan menjadi pertimbangan utama bagi semua pihak. Langkah Korsel yang berencana mengirimkan bantuan melalui pihak ketiga, yaitu Program Pangan Dunia PBB, patut diapresiasi. Semoga saja langkah ini mampu mencairkan kebekuan hubungan dua Korea dan menorehkan kembali rasa saling percaya.