Tidak Ada Logika dalam Taktik Dagang Trump
Tidak ada logika dan strategi. Itulah warna utama dalam perundingan dagang AS di bawah Presiden Donald Trump dengan hampir semua mitra dagang. Trump bernegosiasi dengan latar belakang kehebatan masa lalu AS secara ekonomi.
Perasaan bahwa AS masih hebat memandulkan semua logika dan strategi. Perasaan ini membuat Trump mudah berang. Dia mudah mengucapkan kalimat tanpa dasar sahih serta mudah pula memberikan sanksi pada mitra dagang. Ini tidak berubah sejak masa kampanye hingga selama dua tahun lebih menjabat sebagai Presiden AS.
Kali ini Trump kembali menciptakan kisruh dalam hubungan dagang dengan China. Trump menaikkan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen atas 200 miliar dollar AS impor dari China. Alasan Trump, di akhir perundingan yang berlangsung sekian bulan, China mendadak menolak apa yang dijanjikan pada AS.
Tidak disebutkan secara jelas apa yang ditolak China. Hal yang jelas, AS ingin mengurangi defisit perdagangan dengan China. AS gagal meminta China menghentikan pencurian teknologi, yang tidak pernah bisa dibuktikan. Trump berang karena menilai China tidak bersedia menghentikan program “Made in China 2025”.
Sanksi oleh Trump, yang tentunya mendapatkan balasan keras dari China, dilakukan dengan pemikiran bahwa ekonomi AS berkinerja lebih baik. Amati ucapan Presiden AS Donald Trump berikut ini. “Semenjak saya berkuasa perekonomian AS tumbuh bagus, ekonomi China tidak,” kata Trump.
Faktanya tidak demikian. Perekonomian China tumbuh 6,2 persen dalam empat bulan pertama 2019 didukung konsumsi domestik, demikian pernyataan Biro Nasional Statistik China.
Trump tidak up-date atau dia tidak memedulikan perkembangan terbaru ekonomi global. Dia sibuk dengan ilusi yang menghinggapi dirinya. Trump tidak mau peduli dengan ekonomi AS yang hanya tumbuh 3 persen. Inipun karena ditopang utang negara yang kini sudah mencapai 22 triliun dollar AS disertai penurunan pajak.
Baca juga: AS Mati-matian Menekan Huawei, Asia Bergeming
Trump pun tidak takut jika ada krisis besar menimpa AS kelak karena timbunan utang. “Yeah, tetapi saya tidak akan di sini lagi (jika itu terjadi),” demikian sebuah sumber yang menirukan ucapan Trump saat berlangsung diskusi tentang proyeksi utang AS di masa depan.
Seperti dikatakan mantan Presiden Barack Obama pada 4 Agustus 2018, negara dijalankan tanpa pemikiran matang dan tanpa memikirkan kesinambungan. Politik dijalankan dengan ketakutan dan kebencian.
Sekutu diserang lagi
Trump juga tetap tidak sadar bahwa AS menghadapi defisit dengan dunia karena daya saing produk negaranya yang melemah dalam perdagangan global. Perekonomian AS jelas sedang memudar. Dengan China, AS mengalami defisit perdagangan sebesar 419 miliar dollar AS pada 2018. AS juga mengalami defisit dengan dunia sebesar 819 miliar dollar AS periode serupa.
Tidak ada analisis mendalam oleh Trump tentang mengapa defisit itu membesar dengan dunia bukan hanya dengan China. Defisit malah dijadikan sebagai alat untuk memojokkan negara-negara lain termasuk China dengan alasan bahwa dunia telah bertindak tidak adil terhadap AS. Ini semakin membuyarkan logika dan strategi.
Ini tidak saja terjadi terhadap China. Ketika Trump memutuskan pengenaan tarif terhadap impor baja dan aluminium, salah satu alasannya adalah karena impor itu mengancam keamanan negara. Hingga Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau berpidato untuk menegaskan bahwa Kanada jelas bukan ancaman pada keamanan AS. “Adalah penghinaan jika Kanada dianggap sebagai ancaman,” kata Trudeau.
Kanselir Jerman Angela Merkel pun tidak bisa menahan rasa heran ketika dikatakan impor mobil AS dari Eropa, termasuk Jerman, adalah ancaman bagi keamanan nasional AS.
Hal terbaru adalah serangan pada Toyota Motor Corporation. Ini terkait perintah Trump pada Departemen Perdagangan AS agar menyelidiki risalah impor mobil sejak dekade 1980-an, yang telah menyebabkan pemudaran industri mobil AS. Trump juga menyebutkan impor tersebut telah menjadi ancaman bagi keamanan nasional AS.
Pihak Toyota langsung merespons. “Operasi kami dan juga penyerapan tenaga kerja atas aktivitas pabrik kami di AS memberikan kontribusi signifikan terhadap AS dan tidak memberikan ancaman bagi keamanan nasional AS,” demikian pernyataan Toyota.
Konsumsen AS terbebani
China kembali dibombardir dengan segala tuduhan. Trump berusaha memperluas produk impor asal China yang akan dikenakan tarif. Hal ini juga didukung para pakar AS yang bias terhadap China. Kebencian terhadap China ditambah tuduhan bahwa China telah mencuri teknologi AS menjadi faktor besar dalam menekan China. “Praktik dagang China adalah ancaman bagi perekonomian dan daya saing kita,” kata Myron Brilliant, Kepala Urusan Internasional dari Kamar Dagang AS.
Baca juga: Ancaman Terbaru Trump Tak Berarti Apa-apa
Perusahaan-perusahaan AS yang tidak memiliki relasi bisnis kuat dengan China termasuk pendukung kuat Trump dalam menghadapi China. “Kalangan ini tidak memainkan peran tradisional dengan sikap konstruktif dalam hubungan ekonomi AS-China,” kata Susan Shirk, Wakil Asisten Menlu AS dari era Presiden Bill Clinton.
Akan tetapi serangan dilakukan karena Trump terkena ilusi. Ini tergambar dari ucapan Trump bahwa China telah membayar tarif yang dikenakan AS. Penelitian para ekonom AS sudah dengan jelas memperlihatkan bahwa tarif pada akhirnya ditanggung konsumen AS dan itu sudah diakui sendiri oleh Larry Kudlow, penasihat ekonomi Trump.
Supremasi AS
Akan panjang deratan absurditas dalam pemikiran ekonomi Trump yang lambat atau cepat akan menjerembabkan fondasi ekonomi AS. Hanya saja posisi Trump sebagai Presiden AS di mata pendukungnya tetap tergolong solid. Bahkan mantan penasihatnya, Gary Cohn, menyebut tidak menutup kemungkinan Trump tetap bisa terpilih kembali pada pemilu 2020.
Tentu hal ini ditopang oleh fakta bahwa ekonomi AS di bawah Trump memang tumbuh walau rambu-rambu ekonomi semakin gawat, terutama timbunan utang. Ekonomi yang tumbuh ini membuat posisi Trump tidak goyah sejauh ini meski dia sedang dihebohkan dengan hasil penyelidikan Robert Mueller, soal dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu 2016 yang berpihak pada Trump.
Faktor lain di samping ekonomi yang membuat posisi Trump kukuh adalah persepsi warga, khususnya para pendukung Trump. Bagi mereka ini Trump adalah penegak kejayaan kembali AS. Tidak perduli segala blunder yang melekat dalam kebijakannya, Trump dipandang memenuhi aspirasi yang mendukung supremasi AS di dunia. Aspirasi pendukung ini belum kunjung memudar.
Hal yang membuat Trump tetap percaya diri adalah bahwa dia memiliki pendukung fanatik, yang juga tidak memiliki alur pemikiran logis dalam hubungan internasional. “Saya tidak melihat dia akan menjadi seorang yang meratapi segera,” kata seorang ekonom AS, Stephen Moore. Dengan kata lain belum terlihat pemudaran pamor politik yang kemungkinan membuat Trump meraung-raung.
Warga AS pendukung supremasi kulit putih, yang secara historis memang ada dalam perjalanan bangsa AS, menjadi bagian penting sebagai basis pendukung Trump. Profesor dari Ohio State University Thomas Wood mendukung hal ini. Tekanan dagang pada China menurut Thomas, terkait warna kulit dan ras.
Dukungan kuat ini membuat Trump percaya diri dengan segala kebijakannya. Kolumnis rutin di harian The New York Times, Bryce Covert, juga menukiskan hal ini secara khusus. Agenda ekonomi Trump menggambar agenda supremasi kulih putih, demikian Covert menuliskan.
Bahkan dikatakan Trump pun akan mengabaikan para penasihatnya yang masih berpikiran logis. Supremasi walau tanpa logika adalah keutamaan Trump, yang sudah lama melekat pada dirinya. “Soal China, Trump selalu konsisten dalam 30 tahun terakhir,” kata Lindsey Graham, Senator Republikan dari South Carolina.
Trump dulu juga bersikap demikian saat Jepang bangkit. Trump dikenal sangat keras mengusulkan pengenaan tarif pada impor dari Jepang pada dekade 1980-an. Ini bagian dari tradisi supremasi yang tidak kehilangan akarnya di AS, dan menguat di bawah Trump.
Melawan
Masalahnya dalam konteks perdagangan, supremasi ini hendak ditancapkan saat berhadapan dengan China. AS tiada habisnya menekan China soal perdagangan. AS juga menekan Huawei, sebuah perusahaan telekomunikasi China yang sedang naik daun dan semakin mendunia.
Bahkan tim perunding dagang AS Robert Lightihzer (Kepala Perwakilan Dagang AS) dan Steve Mnuchin (Menkeu AS) mendesak China agar mengubah undang-undang yang dituduh AS telah menjadi sarana bagi China untuk mencuri teknologi AS. Tekanan ini bertujuan menekan program “Made in China 2025”, yang artinya jika AS berhasil akan melanggengkan supremasi dengan menekan China. Mana mungkin sebuah negara ditekan supaya tidak berkembang?
Hal menarik, setelah AS mulus sekian tahun meraih tujuan dengan menekan banyak negara, China yang sekarang sudah sangat berbeda. China melawan dan secara konstan menyatakan siap atas segala apa pun yang dilakukan Trump. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Perdana Menteri China Liu He. China tidak menginginkan perseteruan tetapi siap berhadapan jika itu bertujuan melemahkan ambisi China.
Sikap AS bagi China adalah sikap sepihak, tidak serius dan tidak punya prinsip. “Agar negosiasi dan konsultasi berlangsung masuk akal, harus ada kejujuran,” demikian dikatakan jubir Kementerian Luar Negeri China Liu Kang, Jumat (17/5/2019). China tidak akan bisa menemukan ini dari Trump.
Baca juga: China Akan Menetralkan Tekanan AS
Dalam perekonomian sebenarnya tidak selamanya berlalu istilah kalah menang tetapi saling menguntungkan, sebuah frasa yang selalu didengungkan China. AS misalnya, walau kalah dalam perdagangan, telah menikmati pembelian obligasi oleh pemerintah China. Pasar China jadi lahan bisnis yang menjadi sumber keuntungan besar bagi sejumlah korporasi besar asal AS.
Hanya saja Trump bukan tipe mundur atau mudah menyerah. Masalahnya tidak ada logika dalam strategi dalam kebijakannya. Akhir kata majalah Forbes menuliskan, bahwa soal AS dan China, letak masalahnya adalah soal persaingan menjadi siapa negara terkuat dan berpengaruh serta bisa mendikte dunia.
“Ini terjadi ketika Inggris memudar dan tidak siap menghadapi kejayaan AS. Hal seperti itu tampaknya akan berulang, AS tidak setuju atau tidak siap dengan kebangkitan China.” Oleh sebab itu pertarungan ini akan panjang dan bergelombang. (AFP/AP/REUTERS)