Austria akan melaksanakan percepatan pemilu pada awal September 2019. Skandal video ”Ibiza” mengantar kejatuhan pemerintah.
Ketika pemilu Austria berlangsung pada 2017, gelombang populisme sedang mencapai puncaknya di Eropa. Popularitas partai ekstrem kanan Austria, Partai Kebebasan (FPO), yang anti-imigran dan anti-Eropa, juga melesat. Dalam pemilu itu Partai Kebebasan meraih 26 persen suara, beda tipis dengan partai-partai arus utama yang selama puluhan tahun mendominasi lanskap politik Austria, Partai Rakyat (OVP/31,5 persen) dan Partai Sosial Demokrat (SPO/26,9 persen).
Pemilu kali itu juga istimewa karena Sebastian Kurz dari OVP terpilih sebagai kanselir termuda dalam sejarah. Bukan hanya itu, Kurz juga memutuskan untuk menggandeng FPO sebagai mitra koalisi dan menjadikan pemimpinnya, Heinz- Christian Strache, sebagai wakil kanselir. Keputusan itu mengundang keprihatinan banyak pihak di Eropa yang saat itu sedang berupaya menghadang pengaruh ekstrem kanan.
Pemerintahan yang berlangsung sejak Desember 2017 itu diwarnai aneka friksi, khususnya terkait sejumlah kasus rasisme yang datang dari kubu FPO. Namun, perpecahan itu meledak setelah dua koran Jerman, Der Spiegel dan Sueddeutsche Zeitung, memublikasikan rekaman video Strache yang bertemu dengan perempuan yang ”mewakili orang berkuasa di Rusia” di sebuah vila mewah di Ibiza tiga bulan menjelang pemilu.
Rekaman video itu menggambarkan rencana tak etis kubu FPO untuk memenangi pemilu, termasuk mengakuisisi surat kabar yang berpengaruh di Austria agar kebijakannya bisa dikendalikan, dan menawarkan kontrak-kontrak publik. Seandainya saja Strache saat itu merupakan pejabat publik, tindakannya sudah tergolong kriminal.
Strache mengaku salah dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil kanselir ataupun ketua partai. Namun, krisis politik tidak berhenti di situ. Sebagian rakyat Austria juga menginginkan Kurz bertanggung jawab karena menggandeng partai ekstrem kanan ke pusaran pemerintahan.
Skandal ini terjadi menjelang pemilu legislatif Eropa yang akan berlangsung pekan ini. Tak ayal isu ini langsung dijadikan senjata oleh partai-partai arus utama di Eropa. Terkait itu, sejumlah pemimpin negara, antara lain Kanselir Jerman Angela Merkel, berkampanye agar warga Eropa bersatu untuk tidak memilih kandidat dari partai ekstrem kanan. Partai-partai aliran ”tengah” juga diimbau untuk tidak membangun aliansi dengan kubu ekstrem kanan.
Dengan kata lain, pertarungan antara kubu populis dan kubu demokratis akan kembali menjadi pertaruhan di pemilu Eropa. Saat ini gerakan populis telah mengakar kuat di negara-negara eks Eropa Timur (kubu Visegrad, yaitu Polandia, Ceko, Slowakia, dan Hongaria), serta Italia. Seberapa kuat pendulum akan bergeser ke kanan atau ke tengah akan terlihat setelah akhir pekan ini.