Hati Sumber Kesejatian Diri
Memahami isi hati kita sebagai manusia—bagian dari bangsa Indonesia yang beragam, semesta yang luas— akan membawa kita kepada pengenalan diri.
Minggu, 19 Mei, umat Buddha seluruh Indonesia merayakan hari Waisak 2563 BE (Buddhist Era/kalender Buddha). Kalender dimulai tahun 544 SM (Sebelum Masehi), dihitung sejak Paranibbana, yaitu tahun wafatnya Sang Buddha.
Kata Waisak berasal dari bahasa Pali, yaitu Vesakha yang dalam bahasa Sanskerta disebut Vaisakha. Hari Waisak ini dalam kalender Buddhis biasanya jatuh bulan Mei. Namun, terkadang Waisak juga bisa jatuh bulan April atau awal Juni.
Waisak merupakan momen untuk mengenang tiga peristiwa suci yang terjadi pada satu hari purnama sidi, yang dialami penyebar ajaran Buddha, Siddhartha Gautama, selama masa hidupnya. Waisak juga sering disebut Trisuci Waisak.
Tiga peristiwa penting yang dimaksud ialah kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama pada 623 SM, tercapainya pencerahan sempurna oleh Siddhartha Gautama pada 588 SM, dan mangkatnya Sang Buddha Gautama pada 543 SM. Waisak memperingati hari kelahiran Pangeran Siddhartha, putra dari pemimpin Kerajaan Kapilavastu, Raja Sudhodana, dan istrinya, Ratu Mahamaya, di Taman Lumbini, India (sekarang masuk wilayah Nepal).
Pada bulan yang sama ini, Siddhartha yang sudah beranjak dewasa memutuskan untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan menjadi pertapa, yang pada akhirnya mencapai penerangan sempurna.
Setelah 40 tahun menyebarkan ajaran, Siddhartha mangkat atau Parinibbana di Kusinara. Pada bulan yang sama pula, di malam suci pada bulan Visakha. Semua makhluk dan para dewa serta anggota Sangha bersujud sebagai tanda penghormatan terakhir kepada Sang Buddha.
Pemeluk agama Buddha diyakini berjumlah lebih dari 520 juta pengikut atau lebih dari 7 persen penduduk dunia. Mereka mempraktikkan filosofi Sang Buddha.
Memahami hati
Kesadaran (consciousness) pada hakikatnya memiliki arti atau definisi yang sama dengan mawas diri (awareness). Kesadaran menjadi hal terpenting dalam kehidupan manusia karena kesadaran berkaitan erat dengan pemikiran yang terpusat dan memahami hati.
Sigmund Freud (1856-1939), bapak dari teori psikoanalisis, membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkat kesadaran: sadar, bawah sadar, dan tak sadar. Setiap level ini sesuai dengan ide-ide Freud tentang id (Das Es), ego (Das Ich), dan superego (Das Uerber Ich).
Tingkat kesadaran terdiri dari semua hal yang kita ketahui, termasuk hal-hal tentang diri kita dan lingkungan kita. Pikiran bawah sadar terdiri dari hal-hal yang dapat kita perhatikan secara sadar jika kita menginginkannya, dan di mana banyak kenangan disimpan.
Freud melihat alam bawah sadar terdiri atas pikiran yang tidak sadar pada saat tertentu yang dipertanyakan, tetapi itu tidak ditekan dan karena itu tersedia untuk diingat dan dengan mudah mampu menjadi sadar (misalnya, efek hampir mengingat atau disebut tip-of-the-tongue).
Banyak dari apa yang disimpan di bawah sadar dianggap tidak menyenangkan atau bertentangan; misalnya, dorongan libido yang dianggap tidak dapat diterima. Elemen-elemen ini, meski disimpan dari kesadaran kita, tetap dianggap memengaruhi perilaku.
Tiga puluh tahun sebelum Freud menyusun teori, tepatnya 1869, Von Hartmann menerbitkan buku Philosophy of the Unconscious. Dalam buku tersebut, ia menjelaskan filsafat Schopenhauer, bahwa Schopenhauer pun secara eksplisit mengambil konsep dari khazanah mistik Timur: Buddha dan Upanishad.
Di bawah kesadaran individu terletak kesadaran kosmis, yang pada sebagian besar orang masih dalam bentuk ketidaksadaran, yang bisa dibangkitkan. Mengubah ketidaksadaran menjadi sadar, membuat seseorang menjadi sosok hebat.
Kesejatian berbangsa
Indonesia adalah sebuah negara dan bangsa yang heterogen dengan kehidupan bermasyarakat yang beragam serta kompleks. Perbedaan suku, budaya, dan bahasa yang menuntut diwujudkannya keselarasan dan keseimbangan, baik suku, agama, ras, dan antargolongan.
Indonesia memiliki 17.000 pulau, 516 kabupaten/kota, 34 provinsi, dan 716 suku yang berbicara dalam sedikitnya 1.100 bahasa daerah. Kesadaran akan keberagaman dan perbedaan-perbedaan ini perlu didukung dengan semangat toleransi, semangat yang diwujudkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) kita saat bersidang merumuskan dasar negara Indonesia.
Konsesi bersama para peserta sidang BPUPK ini menunjukkan purnanya pemikiran para pendiri bangsa akan negara dan bangsa yang sejati. Tidak ada yang lebih hebat dari yang lain, mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati mayoritas. Dengan demikian mayoritas dan minoritas bisa saling jaga.
Umat Buddha mengenal Catur Paramita atau empat sifat ketuhanan, segala sumber dari perbuatan baik (kusalakamma) yang tercetus pada pikiran, ucapan, dan badan. Karena itu kita harus mengembangkan sifat ketuhanan demi kebahagiaan, ketenangan, dan kegembiraan hidup. Empat sifat ketuhanan itu ialah metta, karuna, mudhita, dan upekkha.
Metta adalah cinta kasih universal yang menjadi akar perbuatan baik (kusalakamma). Dosa berkembang (kebencian), metta akan tertekan. Karuna adalah kasih sayang karena melihat suatu kesengsaraan. Jika ini yang berkembang, loba (keserakahan) akan tertekan.
Mudhita ialah perasaan bahagia universal karena melihat makhluk lain bergembira. Jika ini berkembang issa (iri hati) akan tertekan. Upekkha ialah pertimbangan yang lurus, adil, tidak berat sebelah sebagai hasil melaksanakan metta. Jika dikembangkan, moha (kegelisahan) akan tertekan.
Kesadaran delusi yang lahir karena buatan atau rekayasa manusia maupun pemerintah hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal sehingga kita perlu memahami hati kita yang diperoleh dari pencarian ke dalam diri, agar kita menemukan kesejatian diri.
Menjadi penting bagi kita bukan hanya sebagai warga negara Indonesia, melainkan juga individu manusia untuk menyadari bahwa perbedaan adalah kekuatan yang merekatkan dalam menjalankan roda berbangsa dan bernegara.
Jandi Mukianto Wakil Ketua Harian DPP Walubi