Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, yang berani mengambil kebijakan untuk menghapuskan perbudakan di negerinya, berujar dalam sebuah orasi politik yang menggetarkan, ”A house divided against itself cannot stand (Sebuah rumah/negeri yang terbelah melawan dirinya tidak akan dapat bertahan).”
Seperti diutarakan ekonom dunia progresif Joseph E Stiglitz (2019) dalam karyanya, People, Power and Profits: Progressive Capitalism for An Age of Discontent, ada dua hal yang menjadi tolok ukur penilaian apakah tatanan ekonomi-politik sebuah negara itu sehat atau sakit, berkeadilan atau timpang. Faktor itu adalah wealth creation (penciptaan kemakmuran bersama) yang memakmurkan kehidupan warganya, dan kedua, wealth grabbing (penjarahan kemakmuran) yang mendorong pembelahan dan ketimpangan sosial.
Mencipta kemakmuran
Masa depan sebuah negeri akan jadi lebih baik ketika tata kelola pemerintahan berhasil mendayagunakan segenap sumber daya bagi penciptaan kemakmuran bersama. Sebuah tatanan sosial yang di dalamnya memiliki kapasitas untuk memberikan kesejahteraan dan standar hidup yang tinggi kepada rakyat, dengan merawat kerja produktif yang berpijak pada inovasi, investasi pada sains dan teknologi, infrastruktur publik, serta terjaminnya kesempatan sosial bagi setiap warga untuk memperbaiki kehidupan ekonominya melalui jaminan atas pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang sehat.
Sebaliknya, tatanan sosial sebuah negeri berada pada kondisi sakit ketika segenap kemakmuran suatu negeri hanya dapat diserap oleh segelintir elite dominan terkaya, menghabiskan bagian kemakmuran yang menjadi jatah dari mayoritas warga.
Dalam kondisi demikian, mayoritas warga negara tidak memiliki akses kepada berbagai inovasi, capaian sains, teknologi, ataupun infrastruktur. Hak-hak dasar yang memungkinkan warga mencapai kesejahteraan: layanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, dan lingkungan yang sehat tidak diberikan oleh negara.
Indonesia selama hampir lima tahun terakhir bertarung keras di antara warisan sistem Orde Baru yang bercorak penjarahan kemakmuran menuju pada perjuangan menatap penciptaan kemakmuran bagi kepentingan warganya.
Sementara itu, di balik gambaran kuatnya corak sistemik penjarahan kemakmuran yang berlangsung di negeri ini, bekerja sistem kekuasaan tatanan politik yang memberikan ruang besar bagi segelintir aliansi bisnis politik untuk menikmati sumber daya negara dan meninggalkan mayoritas lainnya.
Pertarungan antara penjarahan kemakmuran dan penciptaan kemakmuran bukanlah hal yang mudah. Data dari Oxfam Februari 2017 tentang realitas ketimpangan sosial ini menjadi bukti betapa kuatnya tembok tebal dari praktik penjarahan kemakmuran yang masih berlangsung. Satu persen orang terkaya di Indonesia (2,6 juta orang) menguasai sekitar 49 persen dari seluruh kemakmuran berbanding 40 persen orang termiskin (100 juta jiwa), memperebutkan 1,4 persen dari total kekayaan negeri ini.
Empat orang terkaya di Indonesia yang memiliki aset kekayaan sebesar 25 miliar dollar AS dari jumlah yang dimiliki 100 juta warga termiskin di Indonesia (24 miliar dollar AS). Semua berlangsung dalam tatanan ekonomi-politik yang koruptif dan bertumpu pada sektor ekonomi ekstraktif.
Langkah kolektif untuk mendorong penciptaan kemakmuran bersama masih menyisakan persoalan besar. Apabila human capital menjadi tolok ukur bagi upaya menciptakan kemakmuran bersama, seperti diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja, pekerja Indonesia didominasi oleh pekerja dengan minim keterampilan sebesar 60,24 persen dari total pekerja (lulusan SD dan SMP).
Berkebalikan dengan mayoritas tenaga kerja minim keterampilan, angka tingkat pengangguran terbuka kita paling banyak adalah lulusan SMK (11,24 persen). Pekerja terampil dengan lulusan sarjana hanya 11.65 juta pekerja (Kompas.com, 5 November 2018; BPS 2018). Data ini menunjukkan apabila pengetahuan, inovasi, dan sains menjadi garda depan bagi penciptaan kemakmuran yang berkeadilan, maka pekerjaan rumah yang dihadapi negeri kita masih cukup besar.
Hampir lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo bukan tidak berjuang untuk mendorong penciptaan kemakmuran dan menahan penjarahan kemakmuran. Tahun 2018, misalnya, Indonesia naik satu peringkat ke peringkat ke-85 dalam catatan Indeks Inovasi Global meskipun dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia berada pada peringkat ke-14 dari 15 negara lainnya (kemendagri.go.id; liputan6.com).
Berbagai rangkaian kebijakan, seperti kebijakan percepatan pembangunan desa, perbaikan infrastruktur publik, pemajuan kebudayaan, maupun reforma agraria, perlu diapresiasi sebagai jalan untuk membuka ruang-ruang pemberdayaan sumber daya negeri untuk menciptakan kemakmuran.
Kehendak memberi
Dalam sapuan ekonomi-politik makro, langkah-langkah kebijakan yang diambil selama ini memang sangat besar kemungkinan untuk dibelokkan ataupun diganjal oleh sistem kekuasaan yang masih dikuasai aliansi sosial oligarki. Meski demikian, dalam politik menata negara sebuah harapan hanya dapat dikawal oleh dua kekayaan moral publik, yakni kesabaran dan kehendak untuk memberi. Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada tahun 2010 merevisi slogannya dari ”Yes we can” menjadi ”Yes we can, but it’s not going to happen overnight” (Iya kita bisa, tapi itu tidak berlangsung dalam semalam). Kesabaran adalah kunci.
Sementara Ir Soekarno pada 1927 di usia 26 tahun dalam karyanya, ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, berujar di akhir tulisannya, ”Kita harus bisa menerima, tetapi kita juga harus bisa memberi. Persatuan tidak bisa terjadi kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula”. Setiap tekad menuju kemajuan membutuhkan kolaborasi dalam solidaritas, aksi kolektif untuk saling memberi.
Dengan harapan, kesabaran dan saling memberi kita bisa kembali menyatukan segenap energi kita untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan bersama. Sudahilah pertikaian politik ini!
Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Direktur The Initiative Institute