Dini Hari di Soekarno-Hatta
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng masih kurang fasilitas pelayanannya bagi para penumpang yang tiba lewat tengah malam.
Pengalaman pada 19/20 April 2019 menjadi bukti belum sempurnanya Soekarno-Hatta sebagai bandara internasional, akibat keterlambatan jadwal penerbangan Nam Air IN-2231 dari Bandara A Yani, Semarang. Jadwal boarding seharusnya pukul 19.50, ternyata baru terbang pukul 00.50. Para penumpang menunggu lebih dari empat jam dengan kompensasi hanya nasi kotak dan ayam goreng.
Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada dini hari 20 April, dengan ketiadaan kendaraan angkutan umum dari Cengkareng. Menurut informasi, bus hanya beroperasi sampai pukul 22.00. Hal ini amat merugikan penumpang yang tidak cukup uang untuk naik taksi.
Celakanya, angkutan taksi dari bandara pada dini hari menarik ongkos secara borongan atau tidak menggunakan argometer. Ada pemandangan memprihatinkan saat seorang perempuan—saya duga warga negara asing—kebingungan karena ternyata pengemudi taksi menolaknya. Alasannya, calon penumpang tersebut hanya mau bayar dengan kartu kredit, sementara pengemudi minta bayaran tunai yang besarnya ditentukan secara sepihak.
Sementara untuk memesan taksi menggunakan aplikasi daring, ternyata tidak mudah. Kemungkinan sinyal telekomunikasi diacak atau masalah lainnya, saya tidak tahu. Artinya, jangan harap bisa mendapat layanan taksi daring. Oleh sebab itu, tiada pilihan lain kecuali menggunakan taksi dengan ongkos borongan sehingga penumpang harus membayar jauh lebih mahal.
Dari pengalaman itu, yang bisa saya sarankan kepada pengelola Bandara Soekarno-Hatta adalah menempatkan petugas resmi, yang bisa menjadi sumber informasi sekaligus memberikan arahan kepada penumpang yang baru tiba untuk memilih moda transportasi sesuai kebutuhan: taksi, bus umum, atau lainnya.
Sebagai bandara kelas internasional, tidak seharusnya ada penumpang maskapai penerbangan yang kebingungan dan bahkan menjadi kesal setiba di bandara ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
A RISTANTO
Jatimakmur, Pondokgede,
Kota Bekasi, Jawa Barat
Debat di Televisi
Menjelang dan seusai pemilu serentak 17 April 2019, diskusi dan perdebatan politik hangat terjadi di mana-mana. Tak hanya di media sosial yang panas—bahkan tanpa kontrol sama sekali—tetapi juga di media televisi. Sebut saja ILC, Mata Najwa, dan lain-lain.
Televisi memiliki misi yang sangat beragam. Tak hanya sekadar hiburan, bisnis, informasi, dan berita, tetapi juga mempunyai fungsi edukasi yang tak kalah penting.
Sejauh pengamatan saya, acara-acara debat politik di stasiun televisi selalu mengambil waktu utama, pukul 19.30-21.30. Bisa jadi pertimbangannya rating dan bisnis, yang membuat acara debat ditempatkan pada prime time.
Debat selalu mengetengahkan tema-tema politik aktual, dengan menghadirkan tokoh politik yang tak hanya terkenal, tetapi juga kontroversial. Tanpa disadari, acara ini tak hanya ditonton kalangan dewasa yang relatif melek politik, tetapi juga anak-anak yang masih awam.
Debat antartokoh politik pun kerap dibumbui ucapan dan pernyataan keras yang cenderung kurang santun sehingga kurang pas ditayangkan pada jam-jam ketika anak-anak masih beraktivitas. Apalagi, kita tahu anak-anak mudah sekali meniru apa yang dilihat dan didengar.
Saran saya, jam tayang acara debat digeser agak malam, minimal setelah pukul 21.00. Alangkah baiknya dicantumkan label BO (Bimbingan Orangtua) agar acara ini tak hanya sekadar tontonan, tetapi juga bernilai edukasi.
Budi Sartono
Graha Bukit Raya, Cilame,
Kabupaten Bandung Barat