Dari Berbagai Kalkulasi, Dasar Serangan ke Iran Tidak Valid
Oleh
Simon Saragih
·2 menit baca
Tidak ada dasar kuat bagi Amerika Serikat untuk menyerang Iran. Serangan ini tidak layak dari sisi pembiayaan dan juga tidak layak dari kekompakan domestik AS. Dunia internasional pun tidak akan mendukung serangan yang tidak perlu ini. Iran pun sudah menyatakan tidak menginginkan perang, hanya menginginkan penghargaan pada kedaulatan Iran.
Dari sisi biaya, ekonomi AS tidak kuat menanggung biaya perang dengan Iran. Invasi AS ke Irak pada 2003 merupakan keputusan yang telah membebani ekonomi AS hingga sekarang. Ada 1,7 triliun dollar AS uang negara AS yang dikeluarkan untuk invasi Irak, menurut kantor berita Reuters pada 25 Oktober 2007 mengutip Kantor Anggaran Kongres AS (CBO).
Biaya itu cukup besar untuk menopang kebangkitan ekonomi AS ketimbang membuang uang untuk perang. Iran tentu lebih besar, lebih hebat, dan lebih solid daripada Irak.
”Saya sudah mendalami kemampuan Iran, saya tidak melihat opsi militer dengan biaya perang rendah,” demikian Max Boot, peneliti dari Council on Foreign Relations serta pakar untuk CNN.
Biaya ekonomi tak langsung pun jauh lebih besar. Asumsikan AS jadi menyerang Iran, yang terletak tidak jauh dari Selat Hormuz dengan luas 21 mil itu. Selat ini merupakan jalur bagi 18,5 juta barel minyak per hari dan jalur bagi 20 persen pasokan gas dunia. Tidak heran jika US Energy Information Administration menyebut Hormuz jalur paling penting bagi migas dunia.
Jalur ini amat berguna bagi Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Iran, Irak, dan Uni Emirat Arab. Maka, konflik Selat Hormuz akan menjadi malapetaka dengan konsekuensi besar bagi dunia. Pandangan ini disampaikan oleh Ariel Cohen, peneliti dari Atlantic Council.
Krisis besar di AS pada dekade 1970 akibat embargo ekspor oleh Arab telah menaikkan harga minyak dunia. Hal ini menyebabkan resesi dan AS dihinggapi stagflasi, akronim bagi stagnasi disertai inflasi. Ekonom AS, AW Phillips, menemukan pengangguran, tetapi juga diiringi kenaikan harga pada dekade itu. Salah satu penyebabnya adalah resesi disertai inflasi akibat kenaikan harga minyak.
Ekonomi global sudah cukup lelah dengan ulah Presiden AS Donald Trump. Dia terlalu percaya diri dengan taktik perang dagang dan proteksionisme yang dibenci seluruh dunia. Maka, benarlah jika Trump sendiri mengatakan bahwa AS tidak berniat memulai perang dengan Iran.
”Saya harap tidak,” kata Trump ketika ditanyakan apakah berniat menyerang Iran.
Kepada penjabat Menhan AS Patrick Shanahan, Trump sudah mengatakan juga bahwa dia tidak ingin berperang dengan Iran.
Tidak ada sekutu
Memang tidak ada alasan berperang dengan Iran. Amati sejarah ini. Sebelum menyerang Irak pada 19 Maret 2003, AS setengah mati membujuk sekutu Uni Eropa untuk mendukung. Ajakan ini ditolak Eropa. Masih terkenang kuat ajakan Menhan AS Donald Rumsfeld yang berdarah Jerman ditolak mentah-mentah oleh Menlu Jerman saat itu, Joschka Fischer. Menlu Jerman ini pada 2003 menegaskan kepada Rumsfled bahwa dia tidak yakin dengan argumentasi AS yang diusung Rumsfeld agar Jerman mendukung perang Irak.
”Saya tidak yakin dengan argumentasi Anda soal perang,” demikian lebih kurang dikatakan Fischer yang juga dikutip harian Inggris, The Telegraph.
Hal serupa dialami Menlu AS Mike Pompeo saat berkeliling Eropa pada April lalu untuk menggalang dukungan serangan AS ke Iran. Pompeo ditanggapi dingin. Federica Mogherini, Ketua Komisi Luar Negeri Uni Eropa (UE), menyerukan sikap menahan diri setelah Pompeo mencoba meyakinkan bahwa Iran melakukan provokasi terhadap AS.
Hal senada disampaikan Mayjen Chris Ghika dari pasukan Inggris, yang juga merupakan wakil komando dari sebuah koalisi pimpinan AS dalam perang menghadapi negara-negara yang diduga sarang teroris. Ghika mengatakan, pihaknya juga memonitor dengan saksama dan tidak menemukan provokasi yang kuat dari Iran untuk AS.
Reputasi buruk Bolton
Adalah Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, dikenal sebagai orang dekat Israel di Washington yang hawkish. Dia ini dikatakan sebagai pendorong utama serangan AS ke Iran. Bolton dan intelijen Israel sama-sama memberikan informasi bahwa Iran sedang merancang kemungkinan serangan ke pasukan AS di Teluk.
Ketika itu Bolton menjabat Asisten Menlu AS. Dia gencar mendengungkan bahwa Irak merupakan ancaman karena memiliki senjata pemusnah massal. Hal itu terbukti kemudian merupakan sebuah kebohongan besar. Setelah AS memasuki Irak, tidak ditemukan senjata pemusnah massal.
Dalam kasus terbaru, Bolton menyerukan kepada Pentagon agar mengerahkan pasukan untuk menyerang Iran dengan alasan Iran adalah ancaman. Ketika John Mattis menjabat Menhan AS, dia dan sejumlah petinggi militer AS menolak ajakan Bolton. Alasannya, serangan ke Iran tidak signifikan. Mattis berkomentar sehubungan dengan isu serangan ke Iran yang makin gencar akhir-akhir ini bahwa diplomasi dengan Iran merupakan opsi terbaik.
Reaksi Iran
Akhirnya dari Iran sendiri sudah menegaskan seperti disampaikan Menlu Iran Mohammad Javad Zarif. Dia tidak yakin akan ada perang di kawasan karena Iran tidak menginginkan hal itu. Akan tetapi, AS, terutama para hawkish, tetap mencoba mendorong serangan yang berisiko besar itu. Maka, tidak heran jika Direktur Urusan Luar Negeri Parlemen Iran Hossein Amir-Abdollahian kepada CNN mengatakan ini adalah sebuah kegilaan dari Presiden AS.
Jika pada akhirnya terjadi serangan, sementara segala kalkulasi tidak mendukung, lobi Israel diduga sebagai satu faktor di balik isu ini. Dalam diri Trump, PM Israel Benyamin Netanyahu menemukan ”alat” yang tidak didapatkan selama pemerintahan Presiden Barack Obama. (AP/AFP/REUTERS)
Editor:
Sri Rejeki
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.