Hari-hari Theresa May sebagai perdana menteri bisa berakhir lebih cepat setelah parlemen mengisyaratkan akan kembali menolak usulan Brexit.
Setelah lebih dari sebulan melakukan perundingan dengan Partai Buruh untuk mencari dukungan terhadap proposal Brexit, Perdana Menteri Theresa May harus menelan pil pahit. Negosiasi dengan kubu oposisi berakhir tanpa kesepakatan. Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn menganggap May tidak memberikan tawaran baru.
May tak mau menyerah. Ia kembali menulis surat kepada Jeremy Corbyn. May menyatakan bahwa dirinya sudah berkompromi, antara lain, dengan membuka peluang referendum kedua untuk bisa divoting di parlemen. May juga memasukkan opsi kerja sama yang lebih erat dengan Uni Eropa di bidang ekonomi dalam proposalnya. Oleh karena itu, ia meminta Partai Buruh untuk juga mau melakukan kompromi.
Namun, saat May membeberkan RUU Brexit di parlemen, Rabu lalu, baik kubu oposisi maupun Partai Konservatif sama-sama mengecam isi proposal itu. Ini pukulan telak bagi May karena hampir semua opsi untuk menyelamatkan kesepakatan Brexit sudah dicobanya. Tiga kali ia mengusulkan proposal Brexit ke parlemen, tiga kali pula ditolak.
Perpecahan di tubuh Partai Konservatif antara pendukung hard Brexit dan kubu pro-Uni Eropa sampai saat ini tidak dapat ia jembatani. Dengan demikian, mustahil May memperoleh dukungan solid dari partainya di parlemen. Harapan untuk meraih dukungan dari oposisi juga kandas.
May juga telah mengeluarkan ”senjata pamungkas”, bahwa ia bersedia mundur jika kesepakatan Brexit disepakati parlemen. Namun, ini pun tidak membuatnya memperoleh dukungan cukup dari partainya. Yang terjadi, May justru diminta mundur lebih cepat agar proses Brexit bisa dilanjutkan oleh pemimpin baru.
May menolak tegas tuntutan mundur itu. Partai Konservatif juga tidak bisa melakukan mosi tidak percaya karena Desember 2018 sudah pernah melakukannya dan May lolos dari proses ini. Mosi baru bisa dilakukan lagi setelah satu tahun atau Desember 2019.
Meski demikian, tekanan terhadap May makin keras setelah pimpinan Konservatif di majelis rendah, Andrea Leadsom, kemarin, mengundurkan diri dengan alasan tak sepakat dengan kebijakan Brexit yang diusulkan May. Sejumlah menteri senior juga mengancam akan melakukan hal serupa.
Untuk sementara, May terselamatkan oleh pemilu parlemen Eropa yang berlangsung di Inggris, Kamis (23/5/2019). Namun, setelah itu, pertanyaan besar yang muncul adalah sampai kapan May bisa bertahan.
Sejumlah kandidat Konservatif secara terbuka telah menyatakan siap untuk menggantikan May. Hanya saja tak ada yang bisa menjamin bahwa pergantian PM bakal menjadi solusi ampuh untuk mendobrak kebuntuan Brexit.