Korupsi Kalangan Elite
Sinyalemen harian Kompas bahwa Indonesia berada dalam kedaruratan korupsi makin nyata. Di antaranya yang mencolok adalah ditangkapnya sejumlah tokoh politik, anggota DPR/DPRD, dan kepala daerah. Bahkan, pejabat tinggi BUMN sudah masuk pusaran calon tersangka.
Seberapa jauh kesungguhan pemerintah mendukung pemberantasan korupsi ini? KPK seperti berjalan sendiri, the lone ranger. Karena itu, hal ini menjadi salah satu pekerjaan rumah presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024: Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Mengacu pada berita 27 April dan Tajuk Rencana Kompas, 29 April 2019, daya tahan negara yang meskipun dinilai meningkat menurut Indeks Negara Rentan, mungkin melewatkan fakta korupsi sistemik dan dampak yang terjadi sebagai faktor yang bermakna. Padahal, korupsi melibatkan lingkaran elite pengambil keputusan.
Korupsi, seperti yang ditulis di Tajuk Rencana, menghilangkan akses masyarakat pada sumber daya ekonomi secara adil. Ketidakadilan ini, jika dipersepsi secara luas oleh masyarakat, melemahkan daya tahan negara.
Domenec Mele, kajiannya saya ulang kembali karena sangat mengena dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Tata nilai masyarakat di dalam menyikapi korupsi dapat dinilai dari Indeks Persepsi Korupsi yang setiap tahun diterbitkan oleh Transparency International. Mele (2014) mempertanyakan mengapa tidak semata-mata Indeks Persepsi Korupsi yang meningkat, tetapi kasus aktual korupsi juga meningkat? Hal ini terjadi di Indonesia.
Banyak faktor pemicu korupsi kita lihat sehari-hari di Indonesia: turunnya etika personal, tidak adanya tanggung jawab pengabdian di lembaga publik ataupun swasta, tiadanya kesadaran mencela perilaku koruptif, budaya yang mengelu-elukan korupsi dan koruptor, tidak adanya transparansi, proses hukum yang lambat, hukuman ringan, dan promosi tanpa kriteria moral.
Oleh karena itu, pendekatan terstruktur dan sistematik serta komitmen yang kuat dari penguasa yang berintegritas sangat diperlukan untuk memberantas korupsi sampai ke akar. Tidak cukup sekadar percikan-percikan sensasional, seperti OTT.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Setiabudi, Jakarta Selatan
Pembaca Setia
Surat pembaca Bapak Hapsoro Siswopranoto, ”Acara Ngeteh di Kompas” (Kompas, 27/4/2019), membuat saya ingin berbagi pengalaman sebagai pembaca setia sejak 18 September 1978. Saya termasuk salah seorang peserta diskusi acara ngeteh atau ”Bincang-bincang Bersama Sahabat Kompas” itu.
Memang unik dan bisa lucu menyimak curhat pembaca setia. Kita tak rela koran yang puluhan tahun dibaca bermasalah, meski mungkin saja terjadi. Saat Kompas diberedel era Orde Baru, kami pembaca setia merasa kehilangan.
Halaman koran berkurang lebih dari 50 persen, pembaca setia khawatir dan sedih. Luas kolom surat pembaca menciut, pembaca setia keberatan. Kolom surat pembaca sewaktu-waktu ”diberangus” iklan besar satu halaman, pembaca setia hanya ketar-ketir.
Pembaca setia diam saat penyesuaian harga agar kebutuhan informasi terpenuhi. Begitu seterusnya setiap Kompas ulang tahun, pembaca setia diam menyaksikan.
Bagaimana Kompas mengenali pembaca setia yang jumlahnya satu juta lebih? Kalau diam atau bungkam agaknya lebih tepat disebut sebagai pembaca setia pasif. Sudah tentu siapa yang berupaya mengungkapkan suatu hal untuk
kemajuan Kompas lewat surat pembaca adalah pembaca setia aktif. Akan lebih dimungkinkan tentunya untuk diajak ”Acara Ngeteh di Kompas” pada hari mendatang.
Menurut pandangan saya, Kompas mengambil kriteria pembaca setia aktif yang mudah dikenali.
M KASIR SIHOTANG
Jl Wibawa Mukti IV,
Jatimekar, Jatiasih, Bekasi