Pilar China dan Huawei Adalah “Gaige Kaifang” (Bagian III)
Di mata Presiden Donald Trump, tidak ada yang benar soal sepak terjang China. Bagi Trump China tidak benar soal perdagangan. Lebih akut lagi, AS di bawah Trump mencoba mengikutkan negara-negara sekutu lama untuk turut memboikot China.
Ketika China mengkampanyekan soal One Belt One Road (OBOR), program investasi untuk pengembangan infrastruktur global, AS juga mencibir. Wapres AS Mike Pence misalnya menyebutkan program itu hanya semacam pemancing negara berkembang untuk masuk jebakan utang untuk kemudian didikte.
Hal terbaru adalah terkait pengembangan teknologi informasi. China semakin andal soal pengadaan produk-produk teknologi informasi. Hal ini pun dianggap menakutkan.
Kabel bawah laut
Ada satu faktor yang tidak mencuat kehebohannya tetapi juga diributkan. Harian AS, The Wall Street Journal, edisi 12 Maret 2019 menuliskan, “Perang Amerika di Bawah Laut dengan China untuk Mengontrol Jaringan Internet Global”.
Huawei juga gencar mengembangkan sistem kabel bawah laut, jalur hampir semua data internet dunia. Ada 380 kabel bawah laut aktif, berisikan jaringan serat optik yang memanjang di bawah samudera, lintas data dan suara antar-benua.
Huawei Marine Networks Co, milik Huawei Technologies, telah mengerjakan 90 proyek untuk mengembangkan atau meningkatkan kabel bawah laut di seantero dunia. Perusahaan ini telah merampungkan 3.750 mil kabel antara Brazil dan Kamerun pada September 2018. Proyek serupa sejauh 7.500 mil sedang dikerjakan untuk menyambungkan jaringan Eropa, Asia, dan Afrika. Perusahaan ini juga sudah merampungkan jaringan di sekitar Teluk California di Meksiko.
Baca juga: Pilar China dan Huawei adalah ”Gaige Kaifang” (Bagian I)
Para pejabat AS dan sekutunya khawatir jaringan ini menjadi sasaran spionase oleh China. Penguasaan kabel oleh Huawei membuat China bisa mengalihkan atau memonitor arus data, atau dalam situasi konflik, bisa mengganggu jaringan ke seluruh negara. “Kita waspada tingkat tinggi dengan semua ini karena terkait ancaman pada keamanan,” kata William Evanina, Direktur National Counterintelligence and Security Center (AS). “Pengamanan kabel-kabel ini merupakan prioritas utama bagi pemerintah AS dan sekutu.”
Dalam jangka panjang, kabel ini sangat strategis bagi China untuk mendorong pengaruhnya secara global. “Ini adalah vektor lain dimana Huawei bisa masuk ke infrastruktur negara lain,” kata veteran Letjen William Mayville, yang pernah menjabat Wakil Komandan US Cyber Command. “Kegagalan merespons Huawei Marines berarti menyerahkan ruang bagi China. AS dan sekutunya harus bertemu dan bersaing.”
China bukan Rusia
Joe Kelly, jubir Huawei mengatakan, Huawei adalah perusahaan swasta. “Tidak ada pemerintah yang meminta kita melakukan sesuatu yang merusak kepentingan konsumen dan bisnis. Jika ada, kita akan menolak.”
Dengan perekonomian China yang semakin modern, jelas ada kebutuhan untuk pengembangan infrastuktur demi kenyamanan layanan jasa pada masyarakatnya. Ada pertumbuhan transaksi domestik China dan peningkatan relasi dan transaksi internasional.
Baca juga: Pilar China dan Huawei adalah ”Gaige Kaifang” (Bagian II)
Ini menyebabkan kebutuhan tinggi akan jaringan internet dan produk-produk teknologi informasi. Akan tetapi, hal ini juga diterjemahkan sebagai ambisi China untuk menjadi terdepan dan mendominasi dunia kelak, dengan segala akal bulusnya. Meskipun, dari waktu ke waktu China selalu menekankan kolaborasi adalah hal penting. Kerja sama yang setara merupakan keharusan.
Pengusaha China sendiri seperti Ren Zhengfei, hingga Jack Ma pendiri Alibaba, sudah juga menyatakan China membutuhkan Barat dan sebaliknya. Jack Ma sudah menceritakan bahwa dia belajar komputer saat berada di AS. Ren mengatakan Huawei membutuhkan AS dan dunia.
Australia dan Inggris
Seruan dan pernyataan seperti ini tidak cukup untuk meredakan isu soal ketakutan akan China. AS untuk itu bahkan mengajak banyak negara untuk menekan China. Tidak semua negara mau ikut tetapi ada saja yang konyol seperti Australia, yang tiada segan mengikuti keinginan AS.
Pada Juni 2017, Nick Warner saat menjabat Ketua Agen Rahasia Australia, berkunjung ke Kepulauan Salomon. Tujuannya memblokir penggunaan peralatan Huawei dalam jaringan 2.500 mil yang menyambungkan Sydney dan Kepulauan Solomon. Alasannya, alat itu akan membuat China lewat Huawei memantau Australia.
Inggris juga cenderung ikut AS. Penasihat keamanan nasional Inggris, Mark Sedwill, kepada parlemen Inggris pada 2017 mengatakan, serangan pada kabel bawah laut, jika terjadi, akan mirip serangan pada tenaga pembangkit listrik atau serangan ke pelabuhan London.
Kamuflase demi bisnis
Penyebaran isu ini tiada henti. Maka benarlah kalimat Presiden China Xi Jinping bahwa sebagian pihak di Barat seakan kembali ke era Perang Dingin. Akan tetapi, ada juga yang melihat isu yang ditebar AS ini dari sisi lain.
Bjarni Thorvardarson, pimpinan umum operator sebuah televisi kabel Irlandia mengatakan, ada pesan tersembunyi di balik bahaya keamanan yang dicuatkan AS terkait bahaya dari China. “Ini kamuflase untuk mendorong penggunaan teknologi AS,” kata Thorvardarson.
Korporasi AS seperti Apple merasa nyaman saja dalam hubungan bisnisnya dengan China. Isabel ge Mage, Wakil Presiden dan Direktur Pelaksana Apple untuk Wilayah China mengatakan, Apple dan aplikasi buatan China seiring sejalan dalam melayani konsumen. Telepon cerdas Apple yang dipakai warga China menggunakan banyak aplikasi buatan China di App Strore-nya Apple.
Untungnya ada juga pandangan bijak dari sisi AS. Harian The New York Times pada 27 Mei 2019, menuliskan aksi blokir-memblokir perusahaan tidak akan pernah berhasil. Jaringan telekomunikasi tidak seperti tembok perbatasan Jerman Barat dan Jerman Timur di era Perang Dingin.
Sue Gordon, Wakil Direktur Inteijen Nasional AS menyatakan, definisi ancaman harus diperjelas. Demikian pula Ali Wyne, analis kebijakan dari Rand Corporation mengatakan, “Kita tidak berpikir bahwa akan jadi bumerang ketika kita berelasi dengan China, yang lebih independen, lebih besar. Kita harus berhati-hati tentang apa yang kita inginkan,” kata Wyne.
Rob Joyce, seorang mantan koordinator cybersecurity Gedung Putih mengungkapkan perbedaan antara China dan Rusia. Khususnya Rusia, bagi sebagian pihak di AS diyakini telah memasuki sistem komputer negara asing, dalam hal ini AS. “Rusia adalah badai besar yang bisa mengancam aliran tenaga listrik. China sebuah negara dengan iklim sains dan secara bertahap mengubah lingkungan untuk keuntungannya yang membuat dunia tergantung.”
Dengan pemahaman ini, China dilihat sebagai negara yang secara alamiah punya legitimasi untuk berkembang dan mengembangkan dirinya. Ini sebuah pandangan menarik untuk memahami China, ketimbang melulu melabrak negara itu sebagai ancaman semata. China tidak berubah dari keyakinannya pada 1978, reformasi dan keterbukaan (gaige kaifang), dan berkolaborasi dengan dunia. (AP/AFP/REUTERS)