Peristiwa politik terkait pemilu serentak 2019 membetot perhatian publik akhir-akhir ini. Alhasil, Hari Lanjut Usia Nasional tanggal 29 Mei kemarin terlewat dari perhatian publik. Padahal, lansia layak mendapat perhatian seiring jumlahnya yang makin meningkat di Indonesia. Jumlah penduduk usia di atas 60 tahun di Indonesia saat ini mencapai 24 juta jiwa dan akan naik menjadi 39 juta jiwa pada 2030 dan 61,8 juta jiwa pada 2050.
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk usia produktif akan mencapai sekitar 64 persen dari total populasi. Berarti ”Jendela Kesempatan” demografis ini akan menutup kembali pada akhir dekade mendatang . Setelah itu, jumlah penduduk lansia meningkat pesat. Sebuah tantangan berat jika tidak diantisipasi mulai saat ini.
Perspektifkenisbian budaya
James Bond sudah mulai menua sehingga harus diuji ulang apakah masih layak menjadi agen. Bond nyaris tidak lolos. Itulah gambaran film Skyfall dan juga terjadi dengan para Avengers yang mulai menua dan meninggalkan gelanggang. Para jagoan itu dianggap sudah tidak produktif.
Agak berbeda dengan film silat kita, film silat Tiongkok, banyak pendekar sepuh berambut putih sakti mandraguna yang masih malang-melintang di dunia persilatan. Epik Mahabarata dan pewayangan juga banyak menampilkan tokoh tua sakti.
Ini menggambarkan persepsi budaya tentang sesepuh, yang di banyak negara Asia sangat dihormati. Dalam tradisi Konfusius terdapat penghormatan kepada sesepuh (filial piety). Ini berbeda dengan konsep yang bersandar pada umur biologis dan ”manfaat” ekonomi semata.
Lansia di Asia bernasib lebih mujur dari rekannya di dunia Barat. Mereka mendapat peran sosial terhormat, bahkan tatkala mereka secara ekonomi dianggap sudah tidak produktif dan sebenarnya justru menjadi beban ekonomi. Ketika dalam kondisi renta, jarang anak-anak mereka berpikir untuk membantarkan orangtuanya di panti jompo. Mereka, yang secara ekonomi mungkin tidak menghasilkan, dirawat dengan baik, bahkan ketika biaya perawatan memberatkan anaknya.
Masih banyak anak mereka, terutama perempuan, yang mengorbankan karier demi untuk tidak meninggalkan orangtua yang telah renta. Kewajiban sosial untuk merawat orangtua ini merupakan modal sosial, yang merupakan implementasi dari tata nilai dan norma sosial.
Dalam konteks budaya ini pula, istilah ”lansia” (lanjut usia), walaupun sudah mengalami ameliorasi dari istilah ”manula” (manusia usia lanjut), tetap saja ahistoris dengan kultur penghormatan yang tinggi terhadap orangtua. Di Barat sudah ada yang memakai istilah warga senior, dan kosakata ini tampak lebih sesuai dengan kultur kita.
Pengungkit modal sosial
Dalam mengantisipasi penuaan populasi(population ageing), tercetus ide tentang bonus demografi kedua. Intinya adalah pemberdayaan warga senior agar mempunyai peran aktif untuk menopang produktivitas saat bonus demografi pertama berlalu. Pertanyaannya mengapa kita harus menunggu berakhirnya bonus demografi pertama? Bukankah lebih baik dimulai saat ini? Dengan demikian, bonus demografi ini berjalan paralel, antara bonus demografi usia produktif (15-64 tahun) dan bonus demografi warga senior.
Tampilnya kembali Mahathir Mohamad merupakan contoh peran warga senior. Tatkala negara dilanda krisis karena penyalahgunaan pengelolaan negara, tingkat kepercayaan menurun, dan integrasi bangsa terancam, tampillah warga senior untuk mengembalikan modal sosial bangsa. Di negara kita, para warga senior juga dapat dimanfaatkan tatkala modal sosial kita berada dalam titik yang terendah untuk menyelesaikan konflik dan mengatasi integrasi sosial.
Modal sosial memang tidak merujuk kepada manfaat ekonomi secara langsung, tetapi bangsa yang memiliki modal sosial tinggi seperti Jepang lebih produktif dan lebih mudah berbagai kesulitan yang dihadapi, masalah ekonomi atau masalah lain. Modal sosial berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat dan berkontribusi terhadap integrasi sosial.
Secara kultural warga senior mempunyai peran sebagai penasihat, mediator, dan spiritual. Dalam tradisi di Nusantara, warga senior memang diharapkan mempunyai peran yang sifatnya bukan mencari materi.
Fungsi lain modal sosial adalah membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan dan membangun partisipasi masyarakat. Peran ini sangat sesuai dengan peran sosial warga senior dalam konteks budaya kita. Produktivitas warga senior akan sangat bermakna jika berlandaskan filantropis, terutama untuk kalangan kurang beruntung (disadvantage).
Secara psikososial, menurut Erikson, warga senior sebagai seorang individu sedang di simpang jalan tahap terakhir kehidupannya, di antara integritas dan keputusasaan. Pada masa ini, mereka menekuri perjalanan hidupnya. Jika merasa melakukan sesuatu yang baik dalam hidupnya, mereka telah merasa menjadi manusia yang utuh.
Sebaliknya jika memandang perjalanan hidupnya secara negatif akan merasa kecewa dan merasa bersalah, keputusasaan akan membayanginya. Kegiatan filantropis dapat memberi makna baginya. Seorang mantan preman yang merasa bersalah terhadap masa lalunya dapat dilibatkan dengan kegiatan pengentasan pencandu narkoba atau pembinaan anak jalanan.
Bonus demografi kedua
Banyak kegiatan dalam dunia pendidikan dan sosial yang membutuhkan relawan, yang dapat melibatkan warga senior. Pelibatan ini memberikan rasa bermakna bagi warga senior, dan menjadikan mereka produktif tanpa mengambil lapangan pekerjaan usia produktif.
Upaya menjadikan warga senior agar produktif yang menjangkau 24 juta jiwa di negara kita tidak dapat dilakukan secara sporadis. Harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan yang dituangkan dalam cetak biru, yang merumuskan strateginya, institusi yang menjadi ”kendaraan” dalam mengimplementasikan strategi dalam program-program nyata yang terukur dan berkelanjutan dalam skala nasional dan berjenjang sampai ke daerah sebagai ujung tombaknya.
Dirumuskan indikator keberhasilannya, peta jalan (roadmap),serta perangkat monitor dan evaluasinya. Sebuah upaya agar warga senior (lansia) menjadi penggerak potensi (leading sector) dan sebagai bonus demografi bagi Indonesia.
AB Susanto Pendiri National Institute of Ageing, Indonesia; Chairman of The Jakarta Consulting Group