Para menteri keuangan G-20 gagal memanfaatkan momentum pertemuan di Fukuoka, Jepang, guna mencegah tergelincirnya ekonomi dunia ke dalam krisis, akibat eskalasi perang dagang.
Di tengah tekanan Amerika Serikat (AS) dan atmosfer ketegangan yang mewarnai pertemuan dua hari di Fukuoka, akhir pekan lalu, para menteri keuangan (menkeu) itu sepakat menghilangkan kalimat penegasan tentang mendesaknya segera diakhiri perang dagang—isu krusial yang disebut Dana Moneter Internasional (IMF), sebagai ancaman terbesar ekonomi global—dari komunike yang mereka keluarkan pada akhir pertemuan.
Dalam komunike, mereka sepakat menggunakan bahasa lebih lunak. Mengakui terjadinya eskalasi perang dagang dan menegaskan lagi konsensus pada pertemuan di Buenos Aires sebelumnya untuk mendorong perdagangan global dan investasi dan mengambil langkah lebih jauh jika diperlukan.
Di satu sisi, memaksakan isu perang dagang akan membuat pertemuan para menkeu dan gubernur bank sentral selama dua hari itu dihadapkan pada kebuntuan di tengah kerasnya sikap AS-China. Di sisi lain, melunaknya pernyataan sikap G-20 terkait perang dagang yang berlarut-larut memberikan sinyal ketidakberdayaan mereka menghadapi manuver dua adidaya.
Hasil pertemuan para menkeu dan gubernur bank sentral G-20 bisa menjadi masukan bagi para pemimpin negara G-20 yang akan melangsungkan pertemuan puncak (KTT) di Jepang akhir Juni. Namun, mengingat masih kerasnya sikap AS dan China, tampaknya tak mudah menggantungkan harapan pada KTT para pemimpin negara G-20 itu untuk bisa menekan kedua adidaya guna mengakhiri perang dagang yang membahayakan ekonomi global.
Memanasnya perang dagang akan memukul perekonomian global, termasuk Indonesia. Direktur Pelaksana IMF mengingatkan bahaya naiknya tensi perang dagang dan membengkaknya utang negara maju bagi ekonomi dunia. Menkeu Perancis bahkan mengingatkan ancaman nyata memburuknya pelambatan ekonomi menjadi krisis ekonomi global. Kekhawatiran senada disuarakan para menkeu G-20 lainnya,
Namun, Menkeu AS Steven Mnuchin menampik kekhawatiran ini. Pelambatan ekonomi di Eropa, China, dan berbagai negara lain, menurut dia, tak ada kaitannya dengan perang dagang. Perang dagang justru membuka peluang baru ekonomi bagi banyak negara. Menkeu Jepang Taro Aso mengungkapkan ketakpastian pemulihan ekonomi di paruh kedua 2019 dan kian memburuknya sentimen pasar pasca-buntunya negosiasi AS-China bulan lalu.
Tak ada tanda-tanda kedua pihak melunak. Trump akan memutuskan pengenaan tarif terhadap produk impor senilai 300 miliar dollar AS dari China setelah bertemu Presiden Xi Jinping akhir Juni. Sebelumnya, 10 Mei lalu, AS menaikkan tarif dari 10 ke 25 persen terhadap produk impor senilai 200 miliar dollar AS dari China. China membalas dengan menaikkan tarif terhadap produk senilai 60 miliar dollar AS dari AS. Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen menuding AS sebagai pihak yang bertanggung jawab atas buntunya negosiasi. Hal senada disuarakan Menteri Pertahanan Wei Fenghe. ”Jika AS ingin berunding, kami tetap membuka pintu. Jika mereka mau perang, kami akan layani sampai akhir,” ujarnya.