Kabinet Ahli atau Politik
Jika gugatan sengketa hasil pemilu presiden yang diajukan tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Joko Widodo akan dilantik kembali sebagai Presiden RI untuk masa jabatan kedua (2019- 2024) pada 20 Oktober 2019.
Apabila para menteri gagal memahami dan mewujudkan visi dan haluan politik Jokowi-Amin melalui kebijakan kementerian teknis terkait, sang presiden bisa dinilai gagal. Pilihan Jokowi atas menteri-menteri negara yang kelak membantu selama periode kedua pemerintahannya, akan sangat menentukan kapasitas dan kualitas kinerja kabinet.
Belajar dari pengalaman presiden-presiden sebelumnya, ada beberapa kriteria yang lazim digunakan presiden terpilih dalam mencari pembantunya. Pertama, kualifikasi terkait keahlian, kompetensi, dan kapabilitas calon menteri hampir pasti jadi kriteria utama. Kedua, integritas moral dan rekam jejak para calon pembantu presiden itu sendiri, apakah sungguh-sungguh bersih dari korupsi dan tak memiliki kasus hukum, serta punya pengalaman dan rekam jejak yang baik. Ketiga, representasi politik kandidat, apakah berasal dari parpol koalisi pengusung dan pendukung capres-cawapres terpilih atau mereka yang memiliki basis politik dan sosial di luar itu.
Namun, boleh jadi faktor penentunya bukanlah tiga kriteria itu melainkan tiga faktor tambahan lainnya. Pertama, apakah calon menteri tersebut seorang yang tegas dan memiliki nyali dalam mengambil keputusan. Saat bertemu jajaran Kamar Dagang dan Industri (Kadin), menurut Jokowi, seorang menteri harus mampu mengeksekusi program yang telah direncanakan pemerintah. Kedua, sejauh mana kandidat memiliki chemistry dengan presiden terpilih. Ini tentu bersifat personal sehingga hanya Jokowi pribadi yang bisa mengukurnya. Ketiga, apakah kandidat punya kapasitas bekerja dalam tim yang bersifat lintas sektor dan terbiasa berada di bawah tekanan, terutama ketika pemerintah harus mengejar target yang sudah ditetapkan.
”Zaken” kabinet
Namun, semua itu sangat tergantung format kabinet yang hendak disusun Presiden Jokowi. Terkait ini, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengusulkan agar Presiden membentuk suatu zaken kabinet atau kabinet ahli pada periode kedua kepresidenan Jokowi. Seperti pernah disampaikan kepada insan media oleh anggota BPIP, Buya Syafii Maarif, zaken kabinet berisi para ahli di bidangnya yang pengusulannya bisa saja berasal dari parpol. Menurut Buya, kabinet ahli diperlukan untuk meningkatkan kualitas kinerja kabinet yang kurang optimal pada periode Kabinet Kerja I (2014-2019). Wacana serupa dilontarkan Saut Situmorang, salah seorang wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu kemudian.
Formasi kabinet yang lebih berbasis keahlian ketimbang politik dianggap sebagai pilihan ideal karena kabinet relatif bisa terhindar dari potensi konflik kepentingan. Dengan demikian, para menteri bisa fokus menerjemahkan dan mengimplementasikan visi dan haluan politik presiden terpilih ke dalam kebijakan publik tanpa harus terganggu oleh benturan kepentingan partai. Akan tetapi, benarkah demikian?
Dalam pengalaman sejarah bangsa kita, kabinet ahli pernah dipraktikkan pada masa Kabinet Ir H Djuanda (1957-1959), tetapi hanya berlangsung sebentar karena Presiden Soekarno selaku formatur kabinet akhirnya mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Kabinet Djuanda yang dibentuk atas dasar UUD Sementara pun dinyatakan bubar. Selanjutnya, pada era Orde Baru, secara umum kabinet yang dibentuk Soeharto lebih bersifat kabinet ahli ketimbang kabinet politik. Sekurang-kurangnya itu tecermin dari keterlibatan para ahli ekonomi dan keuangan lulusan University of California at Berkeley—dijuluki ”Mafia Berkeley”—yang menjadi menteri negara dan tulang punggung pertumbuhan ekonomi era Orde Baru. Selama sekitar tiga dekade para ekonom-teknokrat yang dipimpin Prof Widjojo Nitisastro jadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, meski akhirnya Orde Baru runtuh pada 1998.
Pada era Reformasi, Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden BJ Habibie yang pendek (1998-1999), formasi menteri negara cukup banyak diisi kalangan ahli dan profesional. Namun, sejak Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), kemudian Kabinet Gotong Royong Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Kabinet Indonesia Bersatu Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan Kabinet Kerja Jokowi periode pertama (2014-2019), kalangan politisi parpol pengusung sang presiden kian banyak mengisi jabatan menteri.
Kabinet politik
Selain potensi konflik dan benturan kepentingan partai, jabatan menteri yang diduduki politisi sering kali jadi sumber dana ”haram” atau semacam ATM bagi partai. Pada gilirannya ini berpotensi melembagakan tindak pidana suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan para penyelenggara negara seperti masih marak terjadi dewasa ini. Kekhawatiran seperti ini cukup beralasan karena beberapa pemimpin partai yang menjabat menteri akhirnya jadi ”pasien” KPK dan menghuni hotel prodeo.
Walaupun demikian, sulit dibantah pula, tak sedikit politisi yang memiliki keahlian dan kompetensi pada bidang-bidang tertentu dan tetap profesional serta berintegritas ketika dipercaya sebagai menteri negara. Mereka biasanya para profesional yang ahli di bidangnya yang kemudian direkrut dan bergabung ke parpol, baik atas kemauan sendiri maupun diajak oleh kalangan partai untuk meningkatkan kualitas sumber daya di parpol. Seperti contoh para ekonom-teknokrat pada era Orde Baru, beberapa menteri merupakan pengurus Golkar, dikenal memiliki keahlian dan kompetensi yang diperlukan kementerian teknis yang dipimpinnya.
Jadi, tak ada masalah jika politisi partai menjadi menteri sepanjang penempatannya proporsional. Karena itu, yang menjadi persoalan adalah ketika politisi yang tak memiliki kapasitas, keahlian dan kompetensi dipaksakan memimpin kementerian teknis yang butuh keahlian teknis pula. Bagaimana pun seorang menteri harus memahami portofolio kementerian serta ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya agar tak sekadar menjadi representasi politik belaka bagi partainya.
Apakah Jokowi akan membentuk kabinet ahli atau kabinet politik? Mungkin saja tidak dua-duanya. Pertama, penting digarisbawahi, kabinet ahli dan kabinet politik pada dasarnya tak sepenuhnya bersifat dikotomis. Seperti disinggung di atas, bisa saja ada ahli yang berlatar belakang politisi, atau sebaliknya politisi yang sebelum masuk partai berlatar belakang keahlian atau profesional pada bidang tertentu. Kedua, Presiden Jokowi, saya kira, tak memiliki cukup nyali membentuk kabinet yang semata-mata berbasis keahlian dan menafikan urgensi representasi politik parpol koalisi yang mengusungnya sebagai capres.
Apalagi, seperti sering diakui Jokowi, ”saya bukan ketua umum (partai)”. Secara tak langsung Jokowi ingin mengatakan bahwa sebagai kader PDI Perjuangan (PDI-P) dia harus loyal pada kehendak partai, dalam hal ini Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Ketiga, sulit dibantah bahwa dukungan politik yang diberikan parpol koalisi pengusung Jokowi-Amin jelas tak bersifat gratis. Seperti bunyi ungkapan klasik, tak ada makan siang gratis dalam politik. Itu artinya, parpol yang turut berkeringat dalam mengusung dan memenangkan kembali Jokowi sebagai presiden tentu sangat berharap ada balas jasa politik bagi partai mereka. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bahkan berharap partainya bisa memperoleh jatah 10 menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi jilid II. Suatu harapan yang tentu sah-sah saja, tetapi, menurut saya, kurang etis dikemukakan secara publik karena yang ”berjasa” memenangkan Jokowi bukan semata-mata parpol pengusung, melainkan juga mayoritas rakyat yang memberi mandat politik baru bagi mantan Gubernur Jakarta tersebut.
Kabinet rekonsiliasi?
Tantangan terbesar Jokowi dalam penyusunan formasi baru kabinet adalah bagaimana mengelola harapan ideal publik akan terbentuknya suatu kabinet ahli di satu pihak dan memenuhi aspirasi serta syahwat parpol akan suatu kabinet politik di pihak lain. Sebagai pilihan yang tak bersifat dikotomis, Jokowi ditantang untuk bisa meramu hal itu secara cerdas dan bijak sehingga bisa meminimalkan potensi kekecewaan berbagai pihak yang telah memberikan dukungannya.
Problem lain bagi Jokowi adalah fakta begitu banyak pihak yang merasa turut berkeringat di balik keterpilihan kembali mantan Wali Kota Solo tersebut. Di luar kalangan parpol pengusung, ada pula tim sukses nonpartai. Selain itu, ada berlapis-lapis dan beragam sukarelawan, baik yang benar-benar sukarela membantu maupun mereka yang punya pamrih untuk memperoleh bagian kue kekuasaan. Belum lagi dukungan personal sejumlah figur publik serta dukungan finansial dan logistik dari beragam pihak yang mungkin saja memiliki pamrih serupa.
Dalam perkembangan politik mutakhir, muncul pula wacana tentang kabinet rekonsiliasi, yakni kabinet yang tak semata-mata berbasis parpol pengusung Jokowi, tetapi juga parpol pengusung Prabowo. Silaturahmi beruntun Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Jokowi dan AHY serta Eddy Baskoro Yudhoyono dengan keluarga Megawati saat Idul Fitri bisa dibaca sebagai sinyal kemungkinan masuknya putra sulung Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu ke dalam kabinet Jokowi.
Apakah kabinet ahli, kabinet politik, atau kabinet rekonsiliasi, sangat tergantung kepada Jokowi sendiri. Juga, apakah Jokowi ingin dikenal sebagai presiden yang lembek dan kompromis, atau hendak meninggalkan warisan (legacy) sehingga dikenang sebagai presiden yang sungguh-sungguh peduli pada harapan dan nasib rakyat. Kata kuncinya, sejauh mana Jokowi memiliki keberanian dan nyali politik untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai, kelompok, dan golongan.
Syamsuddin Haris Guru Besar Riset LIPI