Imajinasi Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) dituding sebagai biang atas kerumitan Pemilu 2019 yang menyebabkan pemilih bingung dan ratusan petugas tempat pemungutan suara (TPS) meninggal dunia. Pangkalnya adalah Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 24 Januari 2014, yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada Pemilu 2019.
Putusan tersebut merupakan jawaban atas gugatan Effendi Gazali. Sebagai warga negara, dia merasa dirugikan hak politiknya karena harus datang dua kali ke TPS akibat pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
Honor petugas
Hakim konstitusi menggunakan logika linier untuk menghemat dana pemilu: satukan dua event pemilu, maka separuh anggaran berkurang. Misalnya, honor petugas pemilu (yang mencapai 65 persen dari seluruh anggaran) bisa dihemat signifikan sebab petugas dibayar per event: dua kali pemilu dibayar dua kali, satu kali pemilu dibayar satu kali. Benarkah?
Mari kita hitung. Pada Pemilu Legislatif 2014 terdapat 545.803 TPS dan pada Pemilu Presiden 2014 terdapat 478.339 TPS. Saat itu, honor ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Rp 400.000 dan honor enam anggota KPPS masing-masing Rp 350.000 sehingga anggaran KPPS sebesar Rp 2,56 triliun. Bandingkan dengan Pemilu 2019 yang memiliki 810.329 TPS di mana ketua KPPS mendapat honor Rp 550.000 dan enam anggota KPPS masing-masing mendapat honor Rp 500.000 sehingga anggaran KPPS Rp 2,868 triliun.
Dengan memasukkan laju inflasi, KPPS Pemilu 2019 dibayar lebih mahal daripada lima tahun sebelumnya. Maka, angka-angka itu menunjukkan bahwa penggabungan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada Pemilu 2019 sesungguhnya tidak menghemat anggaran. Mengapa? Karena jumlah TPS membengkak dari 546.000 (pemilu legislatif) dan 478.000 (pemilu presiden) pada 2014 menjadi 810.000 pada pemilu serentak tahun ini.
Pembengkakan jumlah TPS terjadi karena pada Pemilu 2019 di setiap TPS terdapat maksimal 300 pemilih, sedangkan pada Pemilu Legislatif 2014 maksimal 500 pemilih dan Pemilu Presiden 2014 maksimal 800 pemilih. Penurunan jumlah maksimal pemilih per TPS pada Pemilu 2019 dilakukan demi menjamin kenyamanan pemilih saat memberikan suara mengingat pemungutan suara hanya berlangsung enam jam (07.00-13.00)
Inilah yang luput dari perhatian hakim konstitusi sehingga mereka mengira penggabungan pemilu legislatif dan pemilu presiden dapat menghemat anggaran. Namun, kenyataannya sebaliknya, apalagi jika dihitung kerugian imaterial yang harus ditanggung pemilih (bingung menghadapi banyak calon) serta kematian dan penderitaan yang ditanggung para anggota KPPS.
Efektivitas pemerintahan daerah
Menurut putusan MK No 14/PUU-XI/2013, penyerentakan pemilu legislatif dan
pemilu presiden dapat memperkuat sistem presidensial. Pada pemilu ini partai-partai politik membangun koalisi strategis saat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sehingga kelak pemerintahan efektif karena mendapat dukungan partai politik di DPR. Hal ini berbeda jika pemilu legislatif dipisahkan dari pemilu presiden, di mana koalisi terbentuk bersifat taktis, karena presiden dan wakil presiden terpilih terpaksa melakukan tawar-menawar untuk mendapatkan dukungan partai politik di DPR.
Dalam bahasa ilmu politik, pemilu serentak legislatif dan pemilu presiden memungkinkan terciptanya pemerintahan kongruen di mana kemenangan presiden terpilih cenderung diikuti oleh kemenangan partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden terpilih. Setidaknya, teori coattail effect atau efek menarik jas itu terbukti pada Pemilu 2019. Kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin diikuti oleh penguasaan mayoritas kursi DPR oleh partai-partai politik pendukungnya.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana dengan pemerintahan daerah yang efektivitasnya juga ditentukan oleh hubungan antara kepala daerah dan partai-partai politik di DPRD? Ingat, kita juga memakai sistem presidensial di pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di mana gubernur dan bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Jika penyerentakan pemilu legislatif (dalam hal ini pemilu DPR) dan pemilu presiden berhasil menciptakan pemerintahan kongruen, logika yang sama semestinya berlaku juga untuk pemilihan kepala daerah dan pemilu DPRD. Sayangnya, MK tidak menyinggung soal ini dalam pertimbangan putusannya. MK masih dibayangi oleh Putusan MK No 97/PUU-XI/2013 tanggal 9 Mei 2014 yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukan pemilu meskipun putusan tersebut juga berbeda dengan putusan sebelumnya, yaitu putusan MK No 72-73/PUU-I/2004 tanggal 22 Maret 2005, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah adalah pemilu.
Inilah tantangan hakim konstitusi dalam membuat putusan: komprehensif dan konsisten. Apabila pemikiran dan cara pandang hakim konstitusi tidak komprehensif, putusannya cenderung tidak konsisten. Akibatnya, putusan MK justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pilihan sistem
Pertimbangan ketiga yang meyakinkan MK untuk penyerentakan pemilu legislatif dan presiden adalah original intent dan penafsiran sistematik. Di sini MK mengambil keterangan Slamet Effendy Yusuf, anggota panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan draf perubahan UUD 1945. Dia menyatakan, para anggota MPR yang membahas perubahan UUD 1945 sepakat bahwa, ”...yang dimaksud pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu.”
Di hadapan hakim konstitusi, Slamet menerangkan, teknis pelaksanaan pemilu terdapat lima kotak, yaitu ”... Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.” Keterangan ini tertera dalam Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 5 November 2001.
Benar bahwa para perumus perubahan konstitusi bermaksud menyelenggarakan pemilu serentak lima kotak untuk memilih: DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bahkan, para perumus perubahan konstitusi waktu itu juga sempat melakukan simulasi pemungutan suara untuk pemilu lima kotak.
Namun, yang dibayangkan dan disimulasikan pemilu lima kota saat itu adalah pemilih mencoblos gambar partai politik untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dari risalah rapat sidang-sidang MPR, tidak ditemukan satu pun catatan yang membicarakan kemungkinan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka di mana pemilih tidak memilih partai politik tetapi memilih calon.
Jadi, pada saat merumuskan pemilu lima kotak (Sidang MPR 2001), tidak ada satu pun perumus perubahan konstitusi yang berimajinasi bahwa pemilu-pemilu mendatang akan menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Yang mereka bayangkan adalah pemilu proporsional daftar tertutup di mana pemilih hanya mencoblos gambar partai politik.
Kenyataannya, sejak Pemilu Legislatif 2014, pemilu menggunakan sistem proporsional daftar terbuka sehingga pemilih harus menghadapi lebih dari 400 calon untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sehingga pemilih tak mampu bersikap rasional. Kebingungan pemilih ini juga tak terbayangkan oleh perumus perubahan konstitusi. Demikian juga dengan beban berat yang harus ditanggung penyelenggara karena harus mengerjakan pekerjaan yang unmanageable.
Jika memang demikian, mengapa hakim konstitusi mengabaikan masalah yang dihadapi pemilih dan penyelenggara tersebut meskipun hal itu sudah terjadi sejak Pemilu Legislatif 2014? Jawaban hakim konstitusi standar: tentang teknis pelaksanaan putusan bukan lagi urusan hakim konstitusi. Jawaban yang seakan-akan benar, tetapi sesungguhnya menyiratkan sikap tidak bertanggung jawab.
Sebab, sama dengan pembuat undang-undang, hakim konstitusi sebagai korektor undang-undang juga harus mempertimbangkan segala macam implikasi atas putusannya.
Haruskah hakim konstitusi berpegang pada original intent? Jika kali ini MK berpegang pada dalil originat intent sehingga pemilu legislatif dan pemilu presiden harus disatukan, mengapa MK membolehkan pemilu proporsional daftar terbuka, padahal original intet-nya proporsional daftar tertutup. Ingat melalui putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, MK membolehkan penggunaan sistem proporsional daftar terbuka.
Akhirnya, dalam ilmu hukum tata negara dikenal konsep living constitution di mana konstitusi bisa ditafsirkan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Konsep ini mengharuskan hakim konstitusi tidak hanya mencermati norma yang tertulis dalam naskah konstitusi dan memahami bagaimana konstitusi disusun, tetapi juga menyelami kehidupan masyarakat agar mengetahui kebutuhan hukumnya. Lebih jauh lagi, hakim konstitusi harus mampu berimajinasi tentang bangunan tatanan masyarakat pada masa depan.
Didik Supriyanto Peminat Ilmu Kepemiluan