Filter Melawan Hoaks
Kebijakan pemerintah membatasi layanan berbagi gambar dan video di media FB, IG, dan WA sepanjang 22-25 Mei 2019 untuk meredam menjalarnya kerusuhan melalui sebaran hoaks merupakan kebijakan yang tidak nyaman tetapi sangat tepat dan perlu diacungi jempol. Hasilnya luar biasa, kerusuhan dapat dilokalisasi di seputar Jakarta saja.
Tidak bisa dibayangkan jika para pihak yang tidak bertanggung jawab berhasil membuat viral hoaks melalui media sosial, emosi bisa tersulut di pelbagai wilayah Tanah Air, padahal belum tentu kebenarannya.
Untuk menjaga agar pengguna media sosial tidak kewalahan menerima banjir data, ada tiga filter sederhana yang harus diedukasikan kepada anak-anak kita: 1) Berita bagus dan berguna dapat disimpan (save). 2) Berita menyenangkan dapat diteruskan (forward). 3) Berita yang membuat marah atau tidak suka dihapus (delete).
Melalui pendidikan dini, karakter dan sifat-sifat luhur bangsa Indonesia dapat senantiasa dijaga.
FX Wibisono
Jalan Kumudasmoro Utara, Semarang, 50148
Negarawan
Ungkapan Manuel L Quezon yang disitir John F Kennedy, My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins, mungkin dapat dicirikan sebagai sikap dasar seorang negarawan.
Saat hitung cepat pemilihan umum di Australia, lawan politik tidak menunggu sampai hitungan resmi, langsung mengucapkan selamat kepada Scott Morrison, petahana yang unggul dalam hitungan itu.
Hillary Clinton mengucapkan selamat kepada Donald Trump tanpa menyembunyikan kekecewaannya. Namun, ia menekankan pentingnya satu sikap yang sama dalam perbedaan: mencintai Tanah Air.
Kedua peristiwa itu menunjukkan sikap kenegarawanan meski mereka berasal dari dua benua yang berjauhan.
Berlarut-larutnya peresmian pengakuan pemenang Pilpres 2019 di Indonesia memperlihatkan kondisi sebaliknya. Dalam tulisan ”Runtuhnya Reputasi Politik” (Kompas, 9/4/2019) Trias Kuncahyono mengemukakan bahwa Cicero sepakat dengan Aristoteles: Kebajikan tertinggi manusia terletak pada kepemilikan dan penggunaan pengetahuan dalam urusan praktis.
Menyedihkan bahwa kebijakan para pemikir pada abad sebelum Masehi itu tidak dihayati oleh manusia yang mengaku modern dan dalam kesehariannya menggunakan hasil pengetahuan modern.
Cuplikan lain dari tulisan Kuncahyono adalah pendapat Iyer: Politik bukan melulu soal kekuasaan, tetapi jauh lebih dalam lagi. Politik berkaitan dengan moralitas, impian, harapan, ketakutan, bahkan cara hidup manusia.
Kuncahyono dengan tepat menggambarkan yang terjadi di Indonesia saat ini: Politik lebih diartikan sebagai cara mencari kekuasaan dengan mementingkan diri sendiri.
Machiavellisme menghalalkan segala cara sehingga menumbuhkan hoaks, fitnah, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, pemelintiran berita, hingga merekayasa dan memanipulasi video demi terealisasinya kepentingan diri, kelompok, golongan, partai, agama, dan kaumnya sendiri.
Jelas yang dirugikan adalah rakyat banyak. Dirugikan, baik secara materi maupun secara pembinaan akhlak. Yang seharusnya bisa mencapai sesuatu yang luhur menjadi sebaliknya.
Manuel L Quezon yang disitir oleh John F Kennedy: My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins sama sekali tidak tecermin pada kontestan pemilihan umum. Kontestan yang dinyatakan kalah seharusnya menerima dengan lapang dada hasil penghitungan suara oleh lembaga non-pemerintah yang kredibel dalam hitung cepat ataupun KPU sebagai badan resmi penyelenggara pemilu.
Bila ada niat tulus ingin mencerdaskan bangsa dan menumbuhkan akhlak yang luhur, seharusnya hasil pemilihan sudah selesai tanpa ada protes—meskipun dibenarkan oleh undang-undang—apalagi dengan membuat huru-hara yang berdampak kerusakan dan korban yang sia-sia.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman,
Pasar Manggis, Setiabudi,
Jakarta Selatan, 12970