Tulisan Arie Afriansyah, ”Batas Wilayah Laut dan Hak Berdaulat” (Kompas, 9/5/2019), menyebut insiden ditabraknya kapal patroli milik TNI KRI Tjiptadi 381 oleh kapal pengawas milik Pemerintah Vietnam, 27 April lalu, terjadi karena sebagian wilayah utara Pulau Natuna masih terdapat Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang belum disepakati antara Indonesia dan Vietnam.
Pendapat ini benar, tetapi belumlah lengkap. Sebab, sesaat sebelum ditabrak, KRI Tjiptadi 381 lebih dahulu melakukan penegakan hukum terhadap kapal pencuri ikan asal Vietnam BD 979. Upaya intimidasi bukan baru kali ini dialami oleh kapal pengawas Indonesia. Data Satgas 115 merinci ada empat insiden kapal ikan Vietnam mengejar dan menabrak kapal pengawas sejak awal 2019, yakni 19 Februari, 24 Februari, 8 April, dan 27 April. Ada juga kapal ikan Malaysia mengintimidasi kapal pengawas perikanan, yakni 3 April dan 9 April, di perairan Selat Malaka (Kompas, 2/5/2019).
Selain itu, data Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengungkap, 276 dari total 488 kapal pencuri ikan yang ditenggelamkan di perairan Indonesia pada periode November 2014 hingga Agustus 2018 berasal dari Vietnam. Karena itu, selain menyelesaikan masalah batas wilayah antara Indonesia dan Vietnam, ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat strategi nasional pemberantasan pencurian ikan—dari sekadar penenggelaman kapal.
Mengapa belum jera?
Ada dua faktor yang menyebabkan kapal ikan asing masih mencuri di perairan Indonesia. Pertama, kenyataan bahwa pemberantasan pencurian ikan baru sebatas ”pekerjaan rumah” Indonesia; belum menjadi komitmen bersama negara- negara di dunia.
Indikasinya terang meski sudah lebih dari empat tahun memberantas pencurian ikan: mulai dari menyiapkan instrumen regulasi, mengalokasikan anggaran penegakan hukum, menangkap, dan bahkan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan—Indonesia belum juga mendapatkan insentif ekonomi dari pasar dunia.
Ekspor produk perikanan asal Indonesia ke Uni Eropa, misalnya, masih dikenai bea impor lebih tinggi dari Vietnam. Alhasil, meski sudah hampir 300 kapal pencuri ikan asal Vietnam ditenggelamkan di perairan Indonesia, kinerja
ekspor perikanan Vietnam belum juga melemah. Laporan FAO (2018) masih menempatkan Vietnam pada peringkat ketiga eksportir ikan terbesar di dunia setelah China dan Norwegia.
Yang lebih menyedihkan faktor kedua, semakin rendahnya partisipasi armada perikanan Indonesia, baik di perairan ZEEI maupun internasional. Dari total 2.057 kapal Indonesia yang tercatat beroperasi di perairan internasional (RFMOs) pada 2014, tersisa sekitar 20 persennya saja menjadi 475 kapal per 14 Mei 2019. Hal serupa terjadi terhadap kapal-kapal Indonesia yang beroperasi di ZEEI.
Mulai muncul fenomena nelayan skala besar yang bersiasat mencari kenyamanan atau kemudahan berusaha dengan mengganti ukuran kapalnya menjadi lebih kecil (Kompas, 16/4/2019). Jika fenomena ini terus meluas, pengelolaan perikanan Indonesia semakin tidak optimal.
Nelayan kecil akan semakin jauh dari sejahtera, sejalan dengan semakin ketatnya perebutan sumber daya ikan antara nelayan kecil dan nelayan ”terpaksa” kecil di perairan kurang dari 12 mil laut (22,224 kilometer). Di sisi lain, kapal-kapal ikan asing akan semakin agresif mencuri ikan di perairan ZEEI; atau bahkan, memanfaatkan kuota penangkapan ikan Indonesia yang teralokasi di Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs).
Penguatan
Strategi pemberantasan pencurian ikan dengan cara ”penenggelaman kapal” terbukti belum memberikan efek jera kepada kapal-kapal pencuri ikan. Ke depan, perlu penguatan dengan dua strategi. Pertama, memperkuat diplomasi ekonomi perikanan Indonesia, khususnya di negara-negara tujuan utama ekspor, seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah, dan negara-negara ASEAN.
Para diplomat Indonesia yang bertugas di negara-negara tersebut harus mampu ”menukar” keberhasilan Indonesia memerangi pencurian ikan di Tanah Air dengan prestasi perdagangan di pasar dunia: baik berupa perluasan akses pasar maupun penurunan bea impor, termasuk mengajak negara-negara tersebut memberikan sanksi kepada negara-negara yang kapal ikannya masih mencuri di perairan Indonesia. Kedua, menambah jumlah armada perikanan Indonesia untuk beroperasi di ZEE dan perairan internasional.
Strategi ini dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu memperbaiki sistem perizinan agar lebih cepat dan akurat serta memberikan insentif permodalan kepada nelayan-nelayan Indonesia yang ingin membangun kapal baru dan beroperasi di ZEEI ataupun perairan internasional. Percayalah, tanpa diikuti dengan prestasi memenangi perdagangan ikan di pasar dunia, tindakan tegas Indonesia menenggelamkan kapal pencuri ikan tidak akan pernah menghasilkan efek jera.
M Riza Damanik M Riza Damanik Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia