Nawacita, Hukum, dan Masyarakat
Peristiwa 22 Mei adalah jendela yang menjelas- kan keretakan kohesi sosial mendalam, berkelindannya persoalan politik, hukum, dan masyarakat. Rusaknya kohesi sosial ini menjadi salah satu tantangan program kerja presiden mendatang dalam Nawacita II.
Membangun sumber daya manusia berarti memastikan masyarakat yang melek hukum, mampu berpolitik santun, dan berkarakter. Suatu persyaratan untuk bisa melaju membangun manusia Indonesia yang berilmu, berteknologi sekaligus berbudaya, suatu modal besar untuk masa depan Indonesia.
Apa saja yang harus dilakukan?
Ketidakpercayaan
Kerusuhan 22 Mei tidak steril dari serangkaian peristiwa lain, khususnya pemilu, yang dikapitalisasi sehingga membesar oleh para aktor dan faksi. Mereka tidak hanya politisi, tetapi juga akademisi yang alih-alih menjadi suluh penerang bagi masyarakat, malah ikut berpolitik praktis. Debat sesudahnya berpusat pada ketegangan antara penegakan rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).
Sebenarnya penyebab yang tak terkatakan adalah akumulasi ketidakpercayaan (distrust) sebagai akibat melekatnya polisi pada kekuasaan di masa lalu. Semestinya ketidakpercayaan ini dapat diatasi dengan memahami bahwa setiap peristiwa ada konteksnya, tidak hitam putih. Bagaimanapun institusi Polri sudah mengalami reformasi, terefleksi dari berbagai kebijakan dan programnya. Apabila ada ketidaksempurnaan, baiknya dibuka ruang dialog kondusif.
Ketika polisi menangkap orang, di mana ”batas pagar” HAM antara kebebasan berpendapat dan siar kebencian atau makar? Mana yang boleh dan mana yang dipandang kriminal? Keragaman interpretasi hukum ini penting dijernihkan karena menentukan penerapan pasal serta berpotensi berdampak keributan politik dan sosial di masyarakat. Bagaimanapun tujuan kita bernegara adalah sama, mewujudkan mandat konstitusi dalam setiap sendi kehidupan bangsa.
Pembangunan hukum dan masyarakat
Belajar dari kegagalan pembangunan hukum masa lalu dan merefleksi kerusuhan 22 Mei, pembangunan dalam bidang apa pun, termasuk pembangunan sumber daya manusia (SDM), tidak akan berhasil tanpa disertai pembangunan hukum. Kegagalan pembangunan hukum masa lalu disebabkan desain program dibuat tanpa partisipasi masyarakat. Tuntutan pembangunan hukum hari ini adalah akses keadilan bagi masyarakat (terutama kelompok marjinal).
Terdapat setidaknya empat indikator yang relevan bagi Indonesia untuk mewujudkan akses keadilan, yaitu akses terhadap (1) tersedianya hukum yang baik, yang mengakomodasi realitas dan pengalaman masyarakat; (2) literasi (melek) hukum agar rakyat mengerti bahwa hak-hak dasarnya dijamin hukum; (3) identitas hukum (KTP, surat lahir, surat kawin), yang adalah bagian dari HAM dan legalitas untuk mengakses program pemerintah; serta (4) bantuan hukum, terutama bagi kelompok miskin ketika haknya terlanggar.
Manusia Indonesia seutuhnya
Diwujudkannya akses keadilan adalah prasyarat melakukan pembangunan SDM. Di sini penting untuk merumuskan manusia seperti apakah yang ingin dihasilkan Nawacita II? Pepatah yang menganjurkan untuk belajar sampai ke negeri China tetap aktual hari ini karena China akan menjadi the giant of Asia pada Abad Keemasan Asia tahun 2050. Ekonomi China menguasai dunia karena berhasil membangun kualitas SDM.
Visi mereka adalah membangun manusia yang berkarakter melalui dua hal. Pertama, meningkatkan pembangunan SDM melalui pendidikan. Kedua, mengubah secara mendasar konsep pendidikan. Intelektualitas dianggap bukan satu-satunya faktor penting menuju sukses, melainkan juga kemampuan bekerja sama dalam tim, memotivasi diri sendiri, kemampuan mengatasi keadaan darurat dan cara berpikir (Li Lanqing, 2005). Dengan modal dasar manusia berkarakter, maka China berhasil mendominasi sains, teknologi, dan dengan sendirinya ekonomi dunia.
Di Indonesia sudah sering dikumandangkan pendidikan karakter, tetapi belum terdengar kebijakan untuk mereformasi sistem pendidikan agar mampu menghasilkan manusia Indonesia berkarakter itu. Mengingat demografi kependudukan yang (akan) didominasi usia produktif, tampaknya karakter yang harus dimiliki generasi muda kita adalah: kemampuan bekerja sama dan berbela rasa, berintegritas, dan berkeadaban; yang pada prinsipnya adalah mencintai Tanah Air dan kemanusiaan. Karakter ini akan jadi landasan kokoh bagi penguasaan sains dan teknologi. Melipatgandakan beasiswa atau meningkatkan intelektualitas tak cukup tanpa dibarengi pendidikan karakter.
Beberapa hal penting jika reformasi sistem pendidikan akan dilakukan. Pertama, menjembatani gap berdasarkan kewilayahan dan kelas sosial. Revolusi Industri 4.0 baru bisa diaktualisasi oleh mereka yang melek digital dan berkemampuan mengaplikasikannya dalam aktivitas keilmuan dan ekonomi seperti bisnis daring. Sementara di banyak wilayah masih banyak masyarakat yang penguasaan teknologinya terbatas pada budaya meramu dan berpikir sederhana untuk memenuhi kebutuhan hari itu saja. Situasi ini dapat ditemukan di antaranya pada masyarakat pengelola sumber daya hutan, kebun, pertanian, dan perajin. Mereka belum berpikir tentang pentingnya menghasilkan komoditas berkualitas agar bisa mendapatkan sertifikasi internasional dan memiliki nilai tambah berlipat ganda serta meningkatkan taraf kesejahteraan.
Kedua, membangun karakter berkeadaban menjadi keharusan. Keretakan kohesi sosial telah menghasilkan manusia tanpa adab. Banyak orang menggunakan kata-kata paling kasar, kotor, dan kejam di medsos terhadap orang yang berbeda pilihan politik tanpa kendali.
Ketiga, mendorong terciptanya keterhubungan antara universitas dengan pemerintah, industri dan masyarakat, yang saat ini sangat lemah. Tampaknya universitas berjalan sendiri, korporasi membuat universitasnya sendiri; dan pemerintah membuat penelitiannya sendiri. Universitas terlihat lambat merespons perubahan yang dituntut masyarakat. Padahal, secara filosofis kehadiran universitas harus dirasakan semua warga dari segala umur, setidaknya di wilayah sekitar universitas. Di samping itu, penting membersihkan universitas dari gerakan radikalisme dan intoleran yang selama puluhan tahun dibiarkan serta menumbuhkan budaya toleransi sebagai gantinya.
Presiden punya kesempatan emas di periode kedua guna meletakkan dasar pembangunan SDM untuk jangka amat panjang ke depan, melalui pembangunan hukum dan reformasi pendidikan. Dalam Nawacita II perlu dirumuskan jelas visi tentang manusia Indonesia seutuhnya. Tampaknya membangun manusia Indonesia yang berkarakter adalah keharusan untuk bisa menjadi manusia berilmu, berteknologi, dan berkeadaban. Peran Indonesia untuk kemajuan Asia sangat dinantikan, terlebih dalam menyongsong Abad Asia 2050. Apabila kita gagal membangun manusia Indonesia seutuhnya, kita akan menjadi bangsa medioker, biasa-biasa saja.
Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI