Setahun setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura, Pyongyang masih dikenai sanksi.
Dari sisi historis, pertemuan pertama dua pemimpin itu pada 12 Juni 2018 cukup bernilai. Pertama kalinya presiden aktif AS bertemu Pemimpin Korut. Apa yang terjadi di Singapura kian menarik karena didahului pada 2017 dengan perang kata-kata antara Trump dan Kim. Pyongyang pada 2017 juga menggelar sejumlah uji coba peluncuran rudal balistik. Di Singapura, tanpa detail sama sekali, kedua pihak bersepakat untuk mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Pembicaraan kedua mereka digelar di Hanoi, Vietnam, pada Februari 2019. Kegagalan terjadi dalam pertemuan itu. Tak ada kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak.
Di Singapura, tanpa detail sama sekali, kedua pihak bersepakat untuk mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Di Vietnam, Washington sama sekali enggan mencabut sanksi, sementara Pyongyang bersikeras telah melakukan sejumlah langkah menuju denuklirisasi sehingga merasa berhak mendapat keringanan. Kebuntuan pun tak terhindarkan.
Banyak pihak mempertanyakan, bagaimanakah kelanjutan nasib kesepakatan denuklirisasi Semenanjung Korea yang dicapai AS bersama Korut di Singapura?
Sampai kini, AS tetap bersikeras Korut belum melakukan langkah yang bisa membuatnya mencabut sanksi. Washington ingin Korut menyerahkan dulu seluruh program nuklirnya sehingga sama sekali tak dapat dihidupkan lagi (irreversible). Setelah itu, barulah sanksi dicabut.
Dalam perkembangan terakhir, AS malah menuduh Korut melanggar sanksi mengenai batasan impor minyak. Mereka memindahkan minyak di tengah laut ke kapal Korut sehingga secara riil Pyongyang membeli minyak melampaui batas yang diizinkan sanksi.
Namun, di sisi lain, Presiden Trump beberapa kali memberikan sinyal positif mengenai hubungannya dengan Kim. Trump, misalnya, menyebut dirinya menerima surat yang indah dari Pemimpin Korut. Pada lain kesempatan, ia juga menyatakan berharap berlangsung pertemuan ketiga antara dirinya dan Kim. Korut juga diyakini Trump akan berupaya mewujudkan kesepakatan dengan AS. Bahkan, setelah Penasihat Keamanan Nasional AS menyebut Korut telah melakukan pelanggaran dengan menggelar uji rudal jarak pendek, Trump menegasikannya. Korut, menurut Trump, tetap setia tidak menggelar uji nuklir dan rudal balistik jarak jauh.
Jadi, kelanjutan kesepakatan di Singapura tampak masih tidak jelas. Kedua pihak tetap berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Setahun setelah pertemuan di Singapura, hubungan AS-Korut juga sebenarnya nyaris tak berubah. Mereka masih saling berhadapan. Yang tersisa adalah pertanyaan: apakah sinyal positif yang didengung-dengungkan Trump sesuai dengan realitas dan mengantarkan pada terwujudnya denuklirisasi di Semenanjung Korea?