China Siap Pimpin Dunia dengan ”Mengabaikan” AS
China merasakan efek sangat positif dari globalisasi. Ada bersama dunia membuat negara ini mampu meraih kemakmuran. China kini bahkan menjadi bagian penting dari basis produksi ekonomi global. Hal lain, China memiliki wilayah yang luas. Kemakmuran China dengan demikian akan bergantung pada kemakmuran semua wilayahnya.
Ketimpangan pembangunan wilayah tidak kondusif bagi kelestarian sistem politik China. Mantan Presiden Hu Jintao dan penerusnya, Presiden Xi Jinping, mengingatkan pentingnya pemerataan pembangunan wilayah. Untuk ini, Presiden Hu dikenal karena mencuatkan frasa hexie shehui, paham Confusius tentang masyarakat yang harmonis.
Untuk mendukung misi ini, pemerataan pembangunan wilayah, Presiden Xi juga semakin mendalami paham yang pernah ditonjolkan pendahulunya itu.
Akan tetapi, kemakmuran China juga akan lestari dengan kemajuan di negara-negara tetangga China. Oleh karena itu, China gencar memantapkan dua hal, reformasi domestik dan peningkatan kerja sama bilateral dengan semua negara di perbatasannya.
Kerja sama bilateral merupakan bagian dari dorongan China soal pentingnya kerja sama multilateral. Oleh sebab itu, China beranjak lebih jauh, turut menciptakan bersama negara lain tatanan dunia yang lebih baik demi iklim yang kondusif. Ini penting untuk kemakmuran bersama. Bahkan soal ini, China jika bisa ada di jajaran terdepan.
Baca juga: Presiden Xi dan Trump, Dua Figur Kontras
China melihat fakta empiris bahwa ketertutupan seperti yang terjadi di masa lalu hanya menyebabkan kemunduran sendi-sendi kenegaraan. Oleh karena itu, keterbukaan pada dunia (gaige kaifang) adalah arus yang tidak bisa ditolak lagi. Almarhum Deng Xiaoping adalah yang memicu ini. Pada 1978 dia membuka China untuk dunia dan sebaliknya, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kuomintang.
Hal menarik dari China, pembangunannya relatif berkesinambungan dan konsisten. Pemimpin pendahulu memulai dan para penerus melanjutkan. Ini warisan baik dari Deng. Tentu ini tidak luput dari perseteruan politik besar internal, hanya saja pemimpinnya gigih, kukuh, dan konsisten demi kemakmuran negara.
Mengatasi hambatan
Kini China mendunia dan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara, seperti pernah disebutkan mantan Perdana Menteri Wen Jiabao. Akan tetapi, bagi China ada fakta empiris lain walau ini bukan hal baru. Fakta ini bahkan sudah lama diprediksi akan terjadi, perlawanan dari AS akan kebangkitan China dengan berbagai argumentasinya.
Lepas dari itu, China merasakan kemajuan ekonomi dan kemakmuran juga karena ditopang kerja sama bilateral. Juga dirasakan efek kuat sejak masuknya China ke dalam sistem multilateral. Salah satu contoh paling nyata untuk itu adalah masuknya China ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001.
Akan tetapi, ada pihak di AS yang menyalahkan AS sendiri karena mengizinkan China masuk ke dalam komunitas internasional. Pemerintahan Presiden Donald Trump termasuk yang menyalahkan sejarah penting bagi tonggak perekonomian dan kemakmuran China ini.
Baca juga: Sikap Diam China Mencegah Banyak Negara Terjebak Dilema
Serangan terhadap China bertubi-tubi dan telah lama berlangsung. China begitu lama bersabar dan tidak melawan AS. China terus-menerus menyuarakan kolaborasi dan win-win solution. Sabar, menurut, dan ajakan kolaborasi kepada AS rupanya tak mempan di bawah Presiden Trump. Bahkan bagi China, AS tidak lagi memberi respek. Kedaulatan negara dan program pembangunan China pun jadi sasaran.
China pun kini melawan. Konteks melawan bukan lagi sekadar karena harga diri bangsa yang tertekan. Mereka melawan karena AS bahkan sudah mengobrak-abrik tatanan dunia dengan aksi unilateralnya. Perlawanan ini terefleksi dari ucapan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam kasus pemblokiran Huawei oleh Presiden Trump agar tidak berhubungan dengan korporasi asal AS.
Saat Huawei balik menggugat Pemerintah AS, Menlu Wang mengatakan gugatan ini pertanda korporasi China bukan ”domba yang diam”, tetapi harus menggunakan senjata hukum.
Amat jarang China mengucapkan kalimat seperti ini. Bisa diduga, ini adalah resultante penekanan bertubi-tubi terhadap China yang tidak lagi bisa didiamkan. Bagi China, AS tak lagi menghargai multilateralisme, tetapi menekankan unilateralisme. AS berbicara seakan dunia ada di bawah kuasanya. AS menyerang siapa saja yang dianggap merugikan dan tidak tunduk.
Akhirnya China berkata, cukup adalah cukup. Cukup sudah serangan pada China akibat defisit perdagangan AS, yang ditimpakan pada China. Bagi Trump, China telah merenggut kesempatan kerja AS. Padahal adalah sukarela, bukan paksaan, jika investasi global datang ke China.
Permainan ”power politics”
Akhirnya kesimpulan China adalah ini semua fenomena power politics (politik kekuasaan) yang masih ingin ditancapkan AS. Politik kekuasaan ini merujuk pada penekanan semena-mena pada pihak lain karena kekuatan politik seseorang atau satu negara.
Power politics AS ini juga terlihat dari kesemena-menaan AS yang tidak lagi menghargai multilateralisme. Politik kekuasaan AS ini bagi China telah menjadi alat kekuasaan dan alat memaksa.
Bagi China, seperti diutarakan Presiden Xi Jinping di St Petersburg, Rusia, 8 Juni 2019, ”Politik kekuasaan telah mengacaukan tatanan global.” Ini juga mengacaukan kedaulatan negara-negara mitra AS. China kini melihat AS tidak lagi pantas melakukan itu.
Politik kekuasaan ini telah diterapkan AS pada sektor perdagangan. ”Kami tidak mau perang dagang, tetapi siap melawan jika itu harus terjadi”. Inilah jawaban China sekarang.
Akan tetapi, menghadapi politik kekuasaan, sebuah negara harus memiliki kuda-kuda. China memiliki kuda-kuda itu. Dan sekarang telah dan semakin jelas, China pada dasarnya sudah melawan. Tidak ada satu pun tuntutan AS yang dipenuhi China jika itu diajukan dengan tekanan.
Perlawanan yang nyata
Bagi China, tuduhan AS bahwa China mencuri teknologi tidak sahih. China berhak berinovasi dan memang inovasi adalah pilar sebuah negara demi kesinambungan pembangunan.
Maka ketika Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer menggunakan Super 301 seperti pernah dikenakan pada Jepang, China konstan melawan. Juga ketika AS mengenakan tarif terhadap impor asal China, negara tirai bambu ini membalas.
Perlawanan China tidak berhenti. Apa pun tindakan Trump soal ekonomi selalu mendapatkan balasan. Ketika AS mencoba menempatkan China dalam pantauan sebagai pemanipulasi kurs, ada jawaban untuk itu. ”Bukan urusan AS walaupun ada negara yang memanipulasi kurs,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang seperti diberitakan Reuters, 29 Mei.
Demikian pula ketika AS menghukum Huawei, China telah membalas. Korporasi AS seperti Ford dan Fedex sudah merasakan tindakan AS. China juga sudah memanggil korporasi global, pada umumnya dari AS, untuk dingatkan soal sanksi jika menuruti perintah Trump soal pemutusan relasi bisnis dengan Huawei.
China juga segera mengeluarkan daftar badan dan perusahaan asing jika dianggap mendistorsi pembangunan China. Perusahaan teknologi informasi asal AS diduga akan menjadi sasaran kuat yang berpotensi dikenai sanksi.
Panggilan dunia
Di balik perlawanan ini ada misi berupa pemulusan akan panggilan China, yang merasa perlu untuk turut memakmurkan dunia. Ini tidak disebutkan China secara langsung tetap dengan tepat telah digambarkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long. ”Dunia perlu memahami China yang tidak bisa menunggu lebih lama untuk berperan secara global,” kata PM Lee.
Panggilan ini juga turut diemban korporasi China. Maka tidak heran jika Presiden Xi menyerukan korporasi AS “go global”.
Baca juga: Pilar China dan Huawei adalah ”Gaige Kaifang” (Bagian I)
Bagi China, eksistensinya kini adalah juga panggilan untuk memakmurkan dunia. China ingin eksis dalam perannya di dunia. Maka untuk itu, China bahkan gencar untuk memperkenalkan program One Belt One Road, sebuah program pembangunan infrastruktur global.
Kini China gencar menawarkan teknologi 5G bagi negara berkembang dengan tujuan sharing kemajuan. Ini langsung ditekankan Presiden Xi.
Bagi China, semua ekspansi ekonomi, ekspor, hingga investasi bukan semata-mata murni keuntungan ekonomi. China terpanggil memakmurkan dunia. Untuk itu, China terpanggil merombak tatanan global, seperti perubahan di struktur WTO, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia atau PBB.
Pamer ideologi?
Ada nuansa perang campur pamer ideologi di balik perlawanan China terhadap AS. Tujuan geopolitik dari semua ini pasti ada. China ingin jadi rival AS dalam ideologi, liberal versus sosialis.
China juga ingin membuktikan ideologi sosialis komunis adalah jawaban atau setidaknya alternatif untuk solusi dunia. Ini mengemuka sejak krisis ekonomi AS 2008 yang membuat ideologi liberal dipertanyakan.
Ini hal urgen bagi China yang tidak mau mengubah sistem dan ideologinya. Walaupun bukan untuk tujuan mengekspor ideologi, China ingin agar warganya bangga pada sistem ideologinya. China yang memakmurkan dunia dan investasinya ada di mana-mana otomatis menjadi pembenaran kuat dan logis bagi sistem dan ideologinya.
Apakah China, seperti tuduhan AS dan pihak lain, akan menguasai dunia, menjadi hegemonik? Presiden Xi sudah menekankan China akan tetap menjadi kekuatan damai.
Apakah China akan main sendiri? ”Saya tidak mau membangun tembok...,” demikian kata Presiden Xi. Pilihannya, AS siap berkolaborasi atau ditinggal? Ini saja pilihan bagi AS berdasarkan sikap China sekarang ini. (AP/AFP/REUTERS)