Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Aksi saling serang lewat kata-kata sedang berlangsung antara AS dan Iran. Intinya AS mencurigai Iran mengembangkan senjata nuklir. Iran tidak bisa mendiamkan tuduhan AS yang tidak berdasar. Namun, di balik perang verbal ini, kedua negara sangat tidak layak terjebak perang militer.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Aksi saling serang lewat kata-kata sedang berlangsung antara AS dan Iran. Intinya AS mencurigai Iran mengembangkan senjata nuklir. Iran tidak bisa mendiamkan tuduhan AS yang tidak berdasar. Namun, di balik perang verbal ini, kedua negara sangat tidak layak terjebak perang militer. Ada esensi kuat, Iran dan AS sama-sama ingin bernegosiasi. Hanya saja AS wajib bersikap lebih saksama soal relasi internasional, jangan mengandalkan opini segelintir elite AS yang memang berambisi perang. Berikut ulasannya.
Mengakhiri perang jauh lebih sulit ketimbang memulainya. Dalam kasus Iran, bayangan menakutkan muncul jika serangan militer AS terjadi. “Serangan bisa dipastikan akan memicu eskalasi. Anda bisa mengontrol jika itu terjadi?” demikian pernyataan mantan Menlu Swedia, Carl Bildt, seperti dikutip harian The New York Times edisi 21 Juni.
Pembawa acara Fox News, Tucker Carlson, menyebutkan Iran adalah negara yang kompleks. “Iran bukan Suriah, bukan pula Irak,” katanya.
Iran negara dengan warisan peradaban kuno. Jika Irak terkait dengan kisah “Seribu Satu Malam”, Iran melekat dengan estetika dan filosofi bersejarah. Iran negara dengan eksistensi Zoroaster di zaman kuno. Penyiar hebat abad pertengahan lahir di negara ini seperti Ferdowsi, Hafez, Omar Khayyam, Nezami Ganjavi, dan Saadi Shirazi. Literatur Iran menginspirasi para penulis seperti Johann Wolfgang von Goethe. Warna musik Indonesia pun turut dipengaruhi melodi Parsi.
Presiden AS Donald Trump sendiri menyebutkan banyak relasinya asal Iran yang begitu hebat di New York. Maka ketika Presiden Trump membatalkan opsi serangan militer ke Iran pada 20 Juni lalu, jelas ini keputusan berharga. Salah satu alasan, Trump tidak mau ada korban jatuh. “Aku adalah juga orang yang berpikir seperti orang pada umumnya,” kata Trump.
Putusan ini layak diapresiasi walau Iran telah menembak jatuh pesawat pengintai tak berawak milik AS di wilayahnya, walau AS mengklaim drone itu ada di wilayah internasional. Putusan Trump yang dipuji banyak pihak ini, walau dikritik juga memiliki dasar kuat.
Tragedi Irak
AS tidak bisa mengakhiri Perang Vietnam pada 1975 tanpa tragedi kemanusiaan yang luar biasa. AS telah mengharu biru kemanusiaan di Libya, kini hal serupa sedang terjadi di Suriah. Hal paling melekat adalah Perang Irak II di tahun 2003. Artefak-artefak historis dijarah atau luluh lantak. Fabrikasi sosial Kurdi, Irak kacau akibat serangan.
Lebih dari itu, sekitar 2 juta warga Irak jadi pengungsi. Jumlah korban tewas begitu banyak, termasuk 4.410 korban dari pihak tentara AS. Perang Irak yang berlangsung 7 tahun lima bulan itu menelan biaya setidaknya 1,01 triliun dollar AS.
Lima tahun sejak invasi Irak itu, AS terjebak resesi besar pada 2008. Keuangan negara AS bangkrut dan kini mengandalkan utang yang sudah di atas 20 triliun dollar AS. Jepang dan China pemasok terbesar utang untuk AS.
Korban sipil Irak menurut Iraq Body Count periode Maret 2003–Maret 2005 mencapai 24.865 orang akibat serangan militer koalisi inggris-AS maupun akibat kekacauan, derivatif dari perang yang dipicu AS.
Maka sekali lagi, syukurlah serangan ke Iran dibatalkan oleh Presiden Trump. Potensi tragedi besar terhindarkan. “Keputusan Trump menyelamatkan hari,” kata Crispin Blunt, anggota parlemen dari Partai Konservatif, yang pernah mengetuai Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris.
John Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari University of Chicago menuliskan, jika tujuan serangan negara kuat pada satu negara adalah perubahan rezim secara paksa, faktanya hal itu sering tidak mudah. Ada unsur nasionalisme, kultur, dan agama termasuk di dalamnya, sebagai penyebab kegagalan invasi atau serangan. (“The Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities, oleh Mearsheimer” edisi 25 September 2018). Serangan sering tidak mengubah apapun bahkan hanya menciptakan tragedi.
Takut kehilangan muka?
Iran bukan rezim yang terlalu sangar untuk didekati juga. Dubes Iran untuk PBB Majid Takht-Ravanchi dengan jelas mengungkapkan upaya Iran untuk mencari solusi bersama Uni Eropa. Iran tidak juga terlalu memercayai Uni Eropa tetapi tetap mau berunding.
Mungkin kekhawatiran bagi sebagian kalangan kini adalah soal gengsi. AS yang kuat, kini rupanya telah menjadi lembek. Atau bisa juga ada kekhawatiran, Iran akan semakin meningkatkan tantangannya terhadap AS yang membatalkan serangan.
Pihak Iran sendiri sudah menegaskan, tidak akan mendorong perang terhadap negara manapun. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presiden Iran Hassan Rouhani, bahwa Iran tidak ingin ada konflik.
Tentu wajar jika Iran membanggakan dirinya. Presiden Rouhani misalnya menambahkan, semua keinginan AS untuk mengucilkan Iran dari dunia tidak akan berhasil. Dan memang tidak sepenuhnya benar jika AS konstan mengucilkan Iran dari relasi internasional.
Iran itu penurut
Presiden Barack Obama pada 2015 mencabut sanksi ekonomi dan mengikat Iran untuk tidak memiliki program pengembangan senjata nuklir. Ini dilakukan lewat kerja sama internasional, melibatkan Uni Eropa, Rusia dan China yang melahirkan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Perjanjian di era Obama ini tidak sia-sia bahkan begitu berguna walau Trump mengkritiknya. Obama dengan saksama menyebutkan manfaat kedamaian lewat diplomasi ketimbang perang dengan Iran.
Obama memastikan pilihan ini sebagai yang terbaik setelah berdiskusi dengan pihak sekutu, Rusia, China, dan Iran hingga para pihak di Israel walau Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu tidak setuju. Namun Israel bukan hanya soal opini Netanyahu.
Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert bahkan menanyakan, mengapa ada pembahasan soal Iran setiap hari di Israel. Olmert memuji langkah Trump yang mendekati Korea Utara dengan pertemuan dari sebelumnya berbicara soal serangan.
Dengan Iran pun demikian, Olmert memilih jalur diplomasi. Dia mengatakan seringkali ada pemunculan isu bahwa Iran segera memiliki senjata nuklir. Ini sesuatu yang dinyatakan berlebihan dan tidak terjadi sampai sekarang, menurut Olmert.
Opini seperti ini memiliki bukti. Untuk mengawasi program persenjatan nuklir Iran, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang dipimpin Yukiya Amano (asal Jepang) leluasa melakukan tugasnya. Pada 31 Maret 2019, badan ini meluncurkan laporannya soal perkembangan program nuklir Iran, hasilnya adalah Iran itu menuruti perjanjian.
Iran tidak memiliki senjata nuklir walau mengalami pertambahan uranium. Akan tetapi jumlah uranium Iran tetap dalam batasan yang diperbolehkan IAEA. (AP/AFP/REUTERS)