Selain masalah kesejahteraan dan kualitas guru, persoalan lain menyangkut guru serta mendesak untuk dibenahi adalah masalah persebaran guru yang tak merata.
Dari segi kuantitas, jumlah guru yang mencapai 3,1 juta orang sebenarnya sudah memadai berdasarkan standar internasional rasio antara guru dan murid. Meski demikian, persebaran yang tidak merata menjadi persoalan tersendiri.
Terdapat sekitar 270 kabupaten, terutama yang berada di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, mengeluh kekurangan guru sekolah dasar (SD). Sebaliknya, sekitar 50 kota melaporkan kelebihan guru SD, terutama SD-SD yang berada di pusat perkotaan. Kasus yang sama terjadi di jenjang SMP dan SMA. Banyak kabupaten/kota yang kekurangan guru, sebaliknya lebih dari 200 kabupaten/kota kelebihan guru sehingga guru tidak bisa memenuhi kewajiban jam mengajar.
Pertanyaannya, mengapa terjadi persebaran guru yang tidak merata? Salah satu sebabnya, antara lain, kuatnya otonomi daerah. Desentralisasi di bidang pendidikan menyebabkan guru tidak bisa dipindah antarkabupaten atau kota, bahkan yang bertetangga sekalipun.
Karena itu, tidak heran jika Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyampaikan perlunya dilakukan transformasi tata kelola guru secara efisien. Pernyataannya itu disampaikan saat pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Senin (24/6/2019).
Kita sepakat dengan pernyataan itu karena desentralisasi pendidikan yang dilakukan sejak era reformasi memiliki beberapa kelemahan. Selain tidak bisa dimutasi antarkabupaten/kota, guru juga sering ditarik-tarik dalam kegiatan politik praktis oleh elite politik lokal.
Misalnya saja, karena menyadari kuatnya pengaruh guru di tengah masyarakat, guru sering diminta oleh elite politik lokal menjadi anggota tim sukses saat pemilihan kepala daerah. Meski sebenarnya tidak boleh, guru tak bisa mengelak karena sering terjadi guru yang menolak kemudian dimutasi ke daerah pinggiran. Sebaliknya, jika calon kepala daerah terpilih, guru yang menjadi anggota tim sukses diangkat menjadi pejabat struktural daerah yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan bidang pendidikan.
Modus seperti ini tentu saja harus dihentikan. Karena itu, sudah saatnya jika dilakukan evaluasi terhadap desentralisasi pendidikan. Bukan untuk menghapus desentralisasi pendidikan, melainkan mengatasi kelemahan yang ada.
Desentralisasi pendidikan saat ini berdasarkan jenjang pendidikan, yakni SD dan SMP ditangani pemerintah kabupaten/kota, sedangkan jenjang SMA/SMK ditangani pemerintah provinsi. Ke depan, bisa saja pembagian kewenangan berdasarkan fungsi manajemen. Misalnya saja, pemeliharaan sarana prasarana pendidikan ditangani kabupaten/kota, sedangkan perekrutan, mutasi, dan peningkatan kualitas guru menjadi kewenangan pemerintah pusat. Transformasi tata kelola guru ini tujuannya semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan.