Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (2)
Pencegahan kepemilikan senjata nuklir oleh Iran, itulah misi utama dunia. Iran pun sadar hal itu dan siap kehilangan kedaulatan akan kepemilikan senjata nuklir. Iran tidak sendirian soal ini dengan adanya Traktat Non-Proliferasi Nuklir atau NPT di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Masalah bagi Iran adalah apakah Timur Tengah bebas kepemilikan senjata nuklir? Isu ini dibahas Amerika Serikat dan dunia. Iran relatif menerima kenyataan ini. ”Iran tidak akan pernah mengejar kepemilikan senjata nuklir,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Mohammad Javad Zarif, seperti diberitakan kantor berita IRIB dan dikutip Reuters, 25 Juni 2019.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak percaya. Mengapa lari ke Netanyahu? Iran kini satu-satunya negara yang paling independen dari pengaruh AS di kawasan Timur Tengah. Netanyahu gelisah dengan hal ini dan sepak terjang Iran di kawasan.
Serang-menyerang antara Netanyahu dan Zarif pun terjadi. Ini bukan saja soal isu kepemilikan senjata nuklir yang ditiupkan telah dimiliki Iran, padahal tidak demikian adanya. Hal ini juga melebar hingga ke tuduhan Israel bahwa Iran membiayai kelompok-kelompok perlawanan di Timur Tengah.
Zarif menantang dan bertanya, apa bukti bahwa Iran adalah penyebab krisis di kawasan? Hal ini juga dia munculkan saat kunjungan Menlu Jerman Heiko Maas ke Teheran pada 10 Juni lalu untuk bertemu dengan Zarif.
Membuka kotak pandora
Itulah bagian dari perseteruan dua negara ini, yang akarnya jauh ke belakang dan melebar ke banyak aspek. Intinya adalah kemelut bilateral Iran dan Israel. AS ada di belakang Israel.
Inilah juga bagian dari alasan mengapa ada perjanjian Kesepakatan Nuklir 2015 (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) di antara beberapa negara kuat di dunia yang bertujuan meredam ambisi nuklir Iran. Presiden AS Barack Obama waktu itu meyakinkan Israel bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Hanya saja Obama memberi imbalan kepada Iran, yaitu pencabutan sanksi ekonomi. Iran setuju pada perjanjian JCPOA. Ini merupakan hasil kerja sama AS, Inggris, Perancis, China, Rusia, dan Jerman.
Baca juga: Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Pertanyaannya, mengapa Presiden AS Donald Trump mendadak mundur dari perjanjian itu pada 2018? Mengapa AS melanjutkan langkah itu dengan menuduh Iran memburu senjata nuklir? Jika misinya hanya sekadar meredam ambisi Iran soal senjata nuklir, mengapa AS keluar dari JCPOA?
Hal lebih jauh, mengapa AS memunculkan ide untuk menyerang Iran dengan kecurigaan bahwa Iran memburu senjata nuklir? Mengapa ada serangan terhadap enam tanker di Selat Homuz? Mengapa AS gencar menyudutkan Iran sebagai penyerang tanker-tanker itu walaupun Iran membantah?
Semua kejadian ini berlangsung cepat dan memunculkan potensi krisis global. Akhirnya Presiden Trump menyatakan perjanjian 2015 itu dianggap tidak cukup kuat untuk menekan Iran soal senjata nuklir. Apa buktinya Iran ingkar soal pengembangan nuklir?
Ide ”tim B”
Pada 24 Juni, kantor berita Reuters, mengutip Zarif, mengatakan bahwa ada ”tim B”, antara lain melibatkan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Netanyahu, yang mendorong Presiden Trump berkonflik dengan Iran. Konflik ini termasuk melalui opsi serangan militer dengan tujuan perubahan rezim di Iran.
Baca juga: Provokasi Murahan AS di Iran Ketahuan
Misi perubahan rezim tidak akan memadai hanya lewat pengenaan sanksi ekonomi. Misi ini juga tidak memadai lewat kerja sama internasional soal pembatasan nuklir Iran. Namun, Bolton membantah perubahan rezim adalah tujuan dari kemelut terbaru Iran-AS.
Akan tetapi, media Perancis menyajikan beberapa kronologi tentang niat dan ucapan Bolton soal perubahan rezim di Iran. Pembawa acara Fox News, Tucker Carlson, juga menyajikan ucapan Bolton soal perubahan rezim di Iran.
Obama peka
Isu perubahan rezim di Iran ini adalah isu lama. Presiden Obama pernah mengatakan, dunia hanya ingin Iran bebas dari kepemilikan senjata nuklir. Dunia tidak tertarik soal isu perubahan rezim di Iran. Banyak pihak di Israel muncul dengan ide negosiasi soal Iran.
Inilah sekarang letak perbedaan antara AS dan dunia soal Iran. Tim B tidak hanya berniat meredam ambisi nuklir Iran, tetapi lebih dari itu. Oleh karena itu, Menlu China Wang Yi menyerukan kepada semua pihak jangan membuka kotak pandora.
Intinya, batasi persoalan pada pencegahan kepemilikan senjata nuklir oleh Iran, jangan lari dari situ. Wang Yi juga mengingatkan Iran agar tidak mengejar kepemilikan senjata nuklir.
Uni Eropa, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab pun meminta semua pihak menahan diri. Masalahnya adalah apakah pemerintahan Trump mau mendengar?
Serangan militer berisiko
Mau atau tidak mau mendengar, pilihan bagi AS adalah mengejar perdamaian dengan Iran melalui jalur diplomasi. Misi perdamaian ini terbatas hanya pada pencegahan kepemilikan senjata nuklir Iran. AS tidak perlu beranjak lebih jauh, yaitu perubahan rezim di Iran. Ini memiliki syarat, misi perdamaian minus perubahan rezim, harus melalui kolaborasi dengan dunia internasional.
Apakah AS mau melepas misi tambahan, yaitu angan akan perubahan rezim di Iran? Inilah memang letak persoalannya. Niat ini ada, hanya saja tidak memadai untuk dicapai lewat jalur diplomasi. Perubahan rezim tidak bisa cepat diraih lewat jalur diplomasi. Iran merupakan negara kohesif.
Namun, untunglah, secara alamiah AS tidak memiliki opsi serangan militer ke Iran. Ini bukan soal kualitas senjata AS yang tentu saja jauh lebih canggih, tetapi karena memiliki beban berat di luar isu perang. Serangan militer AS ke Iran tidak mudah. Eks intelijen Israel, Yakov Kedmi, di situs Russia Insight edisi 26 Mei 2019, menyebutkan, AS memiliki beban berat untuk melakukan serangan ke Iran. Serangan militer sangat mahal dari segi biaya, korban manusia, dan potensi dunia terseret ke dalam masalah lebih besar dan menyejarah.
AS secara umum juga tidak menginginkan serangan. Opsi ini muncul hanya dari segelintir pihak. Mereka ini adalah para hawkish yang menginginkan serangan, yaitu John Bolton, Menlu AS Mike Pompeo, dan Senator Lindsey Graham (Republikan). Tiga figur ini bukan arus utama di AS. Sepak terjang trio ini merajalela setelah James Mattis mundur sebagai Menteri Pertahanan AS.
Kongres menolak serangan
Ketua DPR AS Nancy Pelosi sudah menyatakan serangan militer ke Iran tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan Kongres AS. Para hawkish hampir menjerembabkan Presiden Trump untuk melakukan serangan tanpa izin Kongres AS. Untungnya hal ini buru-buru disadari Trump, yang mendadak membatalkan serangan.
Senator AS Rand Paul (Republikan) merupakan salah satu yang mengkritik para hawkish. Ada banyak pihak di AS yang menolak tekanan kepada Iran. Warga AS juga setuju pembatalan serangan militer ke Iran.
Baca juga: Dari Berbagai Kalkulasi, Dasar Serangan ke Iran Tidak Valid
Faktor harga minyak yang pasti naik tinggi jika serangan terjadi, adalah faktor alamiah lain yang memustahilkan serangan ini. Perekonomian AS pun ”terbakar” jika harga bahan bakar minyak global melonjak naik. Mantan Menteri Energi AS di era Obama, Ernest Moniz, mengatakan, tekanan AS terhadap Iran adalah kesalahan strategis. Moniz menyatakan, kolaborasi internasional soal Iran mutlak diperlukan.
Sanksi tidak efektif
Opsi sanksi ekonomi pun mustahil. Pengumuman sanksi oleh Trump pada hari Senin (24/6/2019) hanya merupakan upaya penyelamatan wajah AS. Sanksi ekonomi tidak akan efektif karena Rusia dan China, dan pada tingkat tertentu, serta Uni Eropa menolak tekanan ini.
Pakar dari PWC, Daniel Tannenbaum, menegaskan, sanksi ekonomi tidak mungkin. Ini membutuhkan kolaborasi dunia yang tidak mudah didapatkan. Ronald Alvandi dari London School of Economics kepada televisi CNN pada 24 Juni lalu menyatakan, China dan Rusia akan menjadi sumber keuangan Iran jika AS menekan elite Iran soal jaringan keuangan.
Iran pun bersikap jelas dan telah melawan sanksi terbaru AS. Logikanya, Iran sudah mau melepaskan kepemilikan senjata nuklir, tetapi mengapa pula harus menerima sanksi baru ekonomi?
Iran merasakan kekacauan pada pola berpikir AS. Sanksi oleh AS merupakan pilihan tidak manusiawi. Derita ekonomi bukan dirasakan oleh elite Iran, melainkan oleh rakyat Iran. Negara ini juga memiliki kelompok moderat.
Peran China dan Rusia
Dari semua kasus ini, jalur diplomasi menjadi pilihan satu-satunya bagi AS untuk berurusan dengan Iran. Jalur ini juga hanya bertujuan mencegah kepemilikan senjata nuklir Iran, bukan opsi lain di luar itu.
Presiden Trump dan Menlu AS Mike Pompeo menyatakan siap bernegosiasi dengan Iran tanpa syarat. Untuk jalur ini, AS telah mencoba melakukan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan seluruh jaringan yang ada, seperti Oman, Perancis, dan Inggris. Pihak Iran pun sudah lama meminta AS agar kembali ke perjanjian yang disepakati pada 2015.
Hanya saja jalur diplomasi ini menjadi pilihan yang berkembang ke arah lebih pelik. Trump mendadak mengenakan sanksi terbaru, termasuk upaya pemblokiran jalur keuangan untuk Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei. Iran sangat marah dengan sanksi terbaru AS ini.
Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan negosiasi dengan AS sudah tertutup. ”Anda menginginkan negosiasi, tetapi mengapa muncul sanksi?” demikian Presiden Rouhani.
Di sinilah letak kesalahan AS, menekan lewat sanksi untuk membuat Iran merasa tertekan sehingga mau berunding. Ajakan berunding dengan penerapan sanksi bukan hasil pemikiran saksama.
Akan tetapi, jalur diplomasi tetap terbuka lebar. Iran segera bertemu dengan pihak Rusia, China, dan juga Uni Eropa. Iran lebih nyaman dengan opsi tanpa AS ini. Iran lebih percaya kepada Rusia dan China ketimbang kepada Uni Eropa yang dianggap lebih mendengar AS.
China kebetulan menolak tekanan sepihak AS terhadap Iran. Rusia pun demikian, menyatakan sanksi ekonomi AS terhadap Iran adalah sesuatu yang ilegal. Akan tetapi, opsi pelibatan AS tetap dimungkinkan. Presiden Barack Obama sudah melakukan hal itu dan berhasil. Keterlibatan AS terbuka lebar. Syaratnya, AS harus melepaskan diri dari jerat para hawkish. Kampanye publik di AS tentang bahaya dari eksistensi para hawkish menjadi penting.
Akhirnya seperti kata Presiden Obama, dunia ini tidak hanya diisi oleh AS sendirian. AS tidak lagi sekuat di era Presiden Ronald Reagan hingga Presiden Bill Clinton. Hadangan Rusia dan China, jika AS bertindak unilateral, adalah faktor lain yang tidak memungkinkan AS bermain sendiri soal Iran. AS tidak memiliki pilihan lain selain mutlak memilih jalur diplomasi dengan bantuan Rusia dan China. Obama telah membuktikan hal ini. (REUTERS/AP/AFP)