Kekuatan perekonomian Jepang dan China menopang pamor besar Asia dalam pertemuan G-20 pada 2019. Penyelenggaraan apik pertemuan G-20 di Osaka, Jepang, 28 dan 29 Juni, mendasari sukses pertemuan puncak pimpinan 20 negara dan kawasan.
Oleh
Simon Saragih
·3 menit baca
Kekuatan perekonomian Jepang dan China menopang pamor besar Asia dalam pertemuan G-20 pada 2019. Penyelenggaraan apik pertemuan G-20 di Osaka, Jepang, pada Jumat dan Sabtu, 28 dan 29 Juni, mendasari sukses pertemuan puncak pimpinan 20 negara dan kawasan. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengesankan dengan kesabarannya dan kemampuan mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Salah satu penopang pamor kedua negara adalah kekuatan ekonominya. Setelah AS, China dan Jepang pemilik ekonomi terbesar di dunia. Secara umum Asia ada pada masa keemasan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Di luar China dan Jepang, ada India dan Korea Selatan yang juga kuat secara ekonomi. Mewakili ASEAN yang turut menggelinding secara perekonomian, ada Indonesia. Harapan besar dunia ada pada Presiden Joko Widodo. Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham menyatakan, dengan menyebut hasil pemilu Indonesia, Asia kini memberi kepastian jika kawasan membahas kerja sama ekonomi gaya Uni Eropa.
Menuju militer kuat
Asia juga menuju kawasan yang kuat secara militer. Sie vis pacem para bellum atau jika ingin damai siaplah berperang. Asia saat bersamaan sedang meningkatkan persenjataannya. Kuat secara ekonomi, kelak mungkin juga kuat secara militer.
”Siapa yang ikut, makmur. Siapa yang menolak, hancur,” demikian kata juru bicara Kementerian Pertahanan China, Kolonel Senior Ren Guoqiang. Ini merujuk pada kritik balik Ren terhadap AS yang selalu curiga secara militer pada China. Ini pertanda Asia, khususnya China, memadukan kekuatan ekonomi dengan militer. Kekuatan itu bahkan sudah tergambar dari ucapan Ren.
Namun, jangan khawatir. China cukup matang belajar, termasuk kiat menghindari ”Jebakan Thucydides”. Salah satu postulat Thucydides, sejarawan Yunani, bahwa pemunculan kekuatan baru (China) membuat kekuatan lama (AS) terancam. Atau kekuatan baru cenderung ingin mendominasi.
Penelitian profesor dari Universitas Harvard, Graham T Allison, menunjukkan, Jebakan Thucydides ini menghasilkan sejumlah perang secara historis (Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap?). Allison mengatakan, China dan AS bisa mencegah perang. Diplomasi adalah salah satu kiat untuk itu sebab perang tidak diinginkan dan merugikan semuanya.
Pada G-20 Osaka, Presiden Xi Jinping berbicara dengan menekankan, ”Tidak seharusnya ada konflik.” Ini jelas merujuk AS. Di berbagai lokasi, Presiden Xi menekankan dialog, saling menguntungkan. Ini mirip dengan saran Allison, yang kerap berkunjung ke China.
Tatanan dunia kacau
Uraian di atas menunjukkan Asia yang kuat ekonomi dan militer kelak. G-20 bukan soal AS versus China. Ini soal Asia secara keseluruhan yang membuat G-20 Osaka begitu terasa bergengsi. Selanjutnya, ini soal G-20, yang diharapkan menjadi pelengkap dan alternatif untuk memperkuat tatanan internasional.
Seperti dituliskan mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright dan mantan Menlu Argentina Susana Malcorra, dunia kini sedang kehilangan forum resmi untuk membahas kerja sama dunia. Kelompok G-20 menjadi sarana yang pas untuk membahas multilateralisme yang terpukul kacau karena kebijakan ”America First”, termasuk keluarga AS, dari banyak perjanjian internasional.
Meski demikian, G-20 sebenarnya sedang kacau di antara para anggotanya dalam hal relasi. Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang liberalisme, sindiran bagi Uni Eropa dan AS. Ini membuat marah Presiden Uni Eropa Jean Claude-Juncker dan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Hubungan Rusia dan UE memang tak mesra.
Presiden Donald Trump menyerang Uni Eropa dan Jepang soal perdagangan. Trump bertemu Kim Jong Un atas bantuan China seusai pertemuan G-20. Ini sebuah keprihatinan. ”Presiden (Trump) engkau adalah untuk otokrasi,” demikian harian The Washington Post.
G-20 selamat karena perdamaian dagang antara Presiden Xi dan Trump. Komunike G-20 aman karena deklarasi tentang iklim global walau tanpa kesediaan AS dalam hal itu. G-20 tetap mampu menorehkan seruan soal multilateralisme tanpa memihak Trump yang proteksionis.
Relasi di antara Asia relatif aman menjelang G-20, tidak saling serang. Pada April 2019, pejabat China, Jepang, dan Korea Selatan bertemu membahas liberalisasi ekonomi. Seusai G-20 Osaka, Presiden Xi diundang Jepang untuk berkunjung. Dua negara ini bersepakat melupakan warisan Perang Dunia II yang menyakitkan.
Ekonomi, itulah pilar utama dan pertama kebesaran Asia. Hingga Yennie Lindgren, peneliti dari Norwegian Institute of International Affairs yang bermarkas di Tokyo, berkata, Asia menjadi harapan soal pembahasan berbagai isu internasional.
”Quo vadis” Indonesia
Intinya, pamor G-20 ada karena ekonomi Asia yang menggelinding. Asia menjadi pemimpin soal multilateralisme lewat G-20. Presiden Xi terdepan soal ini. Dunia memerlukan ini ketimbang arah menuju perang.
Lalu di mana posisi Indonesia? Ucapan selamat dari para pemimpin dunia tertuju pada Presiden Jokowi yang kembali terpilih untuk jabatan periode kedua dan itu beruntun datang menjelang G-20 Osaka.
ASEAN adalah bagian dari Asia yang paling dinamis secara ekonomi menurut Dana Moneter Internasional (IMF). Indonesia bagian penting dari ASEAN.
Indonesia beruntung karena Paris Club, sebuah kerja sama internasional, pernah memberi banyak bantuan investasi. Indonesia selamat dari Perang Asia Raya karena sekutu. Intinya, Indonesia tidak luput dari perkembangan baik dunia internasional yang turut memajukannya.
Ke depan, Indonesia adalah bagian dari superpower. Turut menguatkan Asia dengan demikian menjadi panggilan juga bagi Indonesia. Menjadi besar secara ekonomi adalah langkah pertama yang harus dikejar.
China dan Jepang adalah raksasa ekonomi Asia yang sedang menuju penuaan dan sudah menua. Indonesia dan India menua lebih lambat. Eropa dan AS sudah berada pada kategori negara asing (tua).
Sangat jelas, harapan pada Asia setelah China dan Jepang ada pada India dan Indonesia. Asia dikenal sebagai kawasan yang getol dengan kerja sama global. Kantor berita China, Xinhua, mengutip Presiden Jokowi soal seruan tentang kerja sama multilateralisme. Ini senada dengan garisan utama China.
Sekali lagi, menjadi besar secara ekonomi, inilah prioritas pertama bagi Indonesia. Ini syarat utama dan awal seperti dijalani China dan Jepang. Lembaga internasional, seperti McKinsey, meramalkan hal ini bisa dikejar Indonesia seperti dituliskan Siwage Dharma Negara dari ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Kesadaran Indonesia amat diperlukan untuk ini. Resonansi panggilan internasional bagi Indonesia begitu jelas. Ini sesuai dengan kebijakan luar negerinya yang bebas dan aktif. Ini tugas logis Indonesia sebagai pemimpin de facto di ASEAN.