Maximus, Sang Gladiator
Disaksikan puluhan ribu pasang mata, Maximus Decimus Meridius, jenderal besar yang terpaksa menjadi gladiator, mengakhiri hidup Commodus, kaisar muda yang ambisius, berwatak jahat, dengki, iri, dan penuh dendam kesumat dalam hatinya.
Disaksikan puluhan ribu pasang mata, Maximus Decimus Meridius, jenderal besar yang terpaksa menjadi gladiator, mengakhiri hidup Commodus, kaisar muda yang ambisius, berwatak jahat, dengki, iri, dan penuh dendam kesumat dalam hatinya.
Commodus tewas di tengah amfiteater. Sebilah belati menembus dadanya. Senjata makan tuan. Belati itu milik Commodus yang semula ditusukkan ke arah dada Maximus.
Namun, Maximus yang sarat pengalaman dalam pertarungan mampu menangkap tangan Commodus dan memuntir tangan berbelati itu ke arah dada Commodus. Dan, berakhirlah sudah pertarungan penuh balas dendam dan kebencian itu.
Kematian mengakhiri dendam. Kematian melenyapkan dengki dan iri. Kematian mengalahkan kejahatan. Tetapi, sekaligus, kematian mengantar Maximus ke keabadian, hidup baru bersama istri dan anaknya yang telah dilenyapkan kaki tangan Commodus. Maximus mati karena luka-luka di lambung hasil kecurangan Commodus sebelum pertarungan dimulai.
Tetapi, para penonton pertarungan itu, mayoritas rakyat jelata, memberikan tepuk tangan membahana dan teriakan-teriakan pujian pada Maximus: ”Maximus... Maximus... Maximus...!” Mereka merasa lega bahwa kaisar yang penuh kedengkian itu diakhiri hidupnya.
Tepuk tangan dan teriakan-teriakan itu seakan masih bergema dan tertangkap telinga ketika kami berdiri sekitar 2 meter dari Colosseum di tengah kota Roma, siang itu. Padahal, peristiwa itu sudah terjadi hampir 2.000 tahun silam. Jarak waktu yang demikian jauh itu terasa begitu dekat.
Ketika itu, kisah Maximus hidup lagi. Sudah jamak dalam kehidupan, seperti dikatakan oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821), bahwa ”Sejarah ditulis oleh para pemenang”. Yang kalah? Ya, harus menerima kenyataan, akan dilupakan.
Kemenangan hanya bisa diraih kalau seseorang memiliki ilmu, keterampilan tinggi, visi yang tinggi dan jauh ke depan, keyakinan kuat bahwa yang dicita-citakan akan terwujud, keberanian untuk mewujudkan cita-cita itu, dan mental serta karakter sebagai pemenang. Semua itu dimiliki Maximus.
Baca juga: Nyanyian dari Roma
Sebagai seorang jenderal, ia memiliki ilmu dan keterampilan bertarung. Ia memiliki juga visi jauh ke depan untuk apa menginginkan kemenangan. Maximus mempunyai keyakinan kuat bahwa dengan keterampilan dan pengetahuan, cita-citanya bisa diwujudkan, serta berani menghadapi segala tantangan untuk mewujudkan cita-citanya itu: menyingkirkan Commodus, menjadi manusia bebas.
Dan, Maximus yang sudah malang melintang di medan tempur memiliki mental dan karakter sebagai pemenang. Mental seorang pemenang adalah menjadi pelaku profesional, bukan sekadar menonton untuk merealisasikan cita-citanya. Yang lebih penting lagi, mental seorang pemenang adalah menang tanpa ngasorake. Meskipun menang, tetapi lebih mengutamakan rendah hati dan tidak berlaku sombong, sok adigang, adigung, adiguna, menyombongkan diri karena mempunyai kekuatan, kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian.
Karena itu, Shiv Khera dalam bukunya, You Can Win (1998), menulis ”Winning is an event, and winner is a spirit”. Khera mengajak orang untuk memiliki watak seorang pemenang daripada sekadar memiliki peristiwa kemenangan. Mengapa? Sebab, apabila obsesi terhadap kemenangan itu berlebihan, orang akan terjerumus masuk ke dalam sikap dan bertindak menang-menangan.
Tidak semua orang berani dan memiliki mental sebagai pemenang. Maka itu, Imam al-Ghazali (1058-1111), tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf, mengatakan, keberanian itu termasuk salah satu keutamaan yang menjadi pangkal kebaikan dan kemenangan. Bukankah tidak ada keberhasilan tanpa keberanian? Sebab, keberhasilan hanyalah milik orang-orang yang berani. Tentu, dalam hal ini, yang utama dan pertama adalah keberanian untuk mengambil keputusan dan membela serta mempertahankan yang diyakini sebagai kebenaran, sebesar apa pun risiko yang harus dihadapi.
Kisah gladiator (yang pernah difilmkan pada tahun 2000) itu membuka jendela masa lalu Imperium Romanum, Kekaisaran Romawi. Colosseum juga disebut Amfiteater Flavian karena pembangunannya dimulai oleh Kaisar Vespasian (69-79) yang nama aslinya Titus Flavius Vespasianus. Ia digantikan oleh Kaisar Titus (79-81) yang melanjutkan pembangunan amfiteater dan diselesaikan oleh Kaisar Domitian (82-96).
Colosseum itu menjadi saksi sejarahnya. Sejarah kebesaran Romawi. Sejarah perlakuan tidak manusiawi terjadi. Colosseum bukan sekadar tempat olah raga, bukan sekadar tempat para gladiator diadu dengan binatang atau dengan sesama gladiator, juga bukan sekadar tempat para penjahat dieksekusi. Tetapi, Colosseum adalah wujud dari gerakan politik Kaisar Vespasian.
Baca juga: Gerombolan Serigala
Gerakan politik luar biasa, yang diawali oleh Vespasian itu untuk membangun kembali kebesaran Kekaisaran Romawi setelah kebangkrutan zaman Kaisar Nero, kaisar yang membakar Roma. Setelah Colosseum di Roma, yang menampung 50.000 penonton, dibangun, lalu dibangunlah 250 koloseum atau amfiteater di seluruh Kekaisaran Romawi.
Dan, amfiteater serta pertunjukan yang dilakukan di tempat itu, seperti gladiator, mengadu orang dengan binatang, dan juga eksekusi hukuman terhadap para pelaku tindak kriminal, menjadi simbol klasik budaya Romawi.
Akan tetapi, pertarungan gladiator adalah pertarungan yang, barangkali, paling kejam yang pernah ada di bumi ini. Bahkan ada yang menyebutkan sebagai tontonan paling biadab. Meskipun ada yang menyebutnya sebagai bagian dari budaya Romawi.
Dikatakan paling tak bermoral, paling kejam, dan paling biadab karena pertarungan itu diakhiri setelah ada yang mati. Inilah pertarungan hidup-mati antara manusia dan manusia, antara manusia dan binatang, dan antara orang bebas dan terhukum. Tetapi, ada catatan yang menyebut pertandingan tidak harus diakhiri dengan kematian.
Baca juga: Lelaki Pemabuk di Gare du Nord
Terlepas dari semua itu, adalah tidak mudah dan tidak ringan menjadi gladiator itu. Seorang gladiator harus memiliki determinasi, kebulatan tekad untuk fokus pada segenap usaha dan energi pada misi tertentu. Dia juga harus mengabdikan dirinya sebulat hati demi tercapai serta terwujudnya misi.
Determinasi terjadi apabila ada will power, kekuatan kehendak untuk menuntaskan, menyelesaikan misi sesulit dan seberat apa pun rintangan yang dihadapi. Maximus, misalnya, bisa mengalahkan Commodus karena ia, meskipun harus menjadi gladiator, menjadi orang tidak bebas, tetapi fokus pada usahanya untuk melenyapkan seorang pemimpin tiran, seorang pemimpin yang telah menumpas habis keluarganya, seorang pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Agar menjadi benar-benar hebat, seseorang harus berdiri dengan rakyat, dengan masyarakat, bukan di atas mereka.
Tentu apa yang pernah disampaikan Proximo, si bekas gladiator yang sekaligus menjadi tuannya Maximus, demikian merasuk dalam pikiran dan tindakannya, termasuk di dalam arena Colosseum. Proximo selalu mengatakan, curi hati penonton, win the heart of the crowd, adalah kuncinya. Bagaimana caranya agar publik Roma menyukainya, mencintai, dan mengidolakannya. Ia harus bersikap kesatria, tidak curang, tidak menuduh orang lain curang, tidak menebar fitnah, kalau kalah mengaku kalah.
Barangkali, nasihat Proximo, lelaki berkulit hitam juragan gladiator itu, perlu dicatat siapa pun untuk berhasil dalam usahanya: rebutlah hati rakyat! Sebab, demikian kata Charles de Montesquieu (1689-1755), filsuf dan politikus Perancis, ”Agar menjadi benar-benar hebat, seseorang harus berdiri dengan rakyat, dengan masyarakat, bukan di atas mereka.”
Maximus tidak hanya berpihak pada rakyat, tetapi dia adalah rakyat. Walau sebelumnya adalah seorang jenderal, bagian dari elite kekaisaran, tetapi rela dihinakan, dijadikan budak. Akan tetapi, justru kehinaan itulah yang mengangkat dirinya tinggi-tinggi.
Semua itu hanya terjadi karena Maximus memiliki kekuatan kehendak, determinasi untuk fokus menyelesaikan misinya menyingkirkan penyakit Kekaisaran Romawi, yakni Kaisar Commodus. Demikian juga penyakit negara—radikalisme, fundamentalisme, eksklusivisme, korupsi, nepotisme, kemunafikan, dan sejenisnya—memang harus dilawan dan dibersihkan dengan semangat Maximus, sang gladiator.